Memisahkan NU dengan PKB = Menjadikannya Tanah Tak Bertuan & Membingungkan Nahdliyin

Memisahkan NU dengan PKB
KH. Imam Jazuli, Lc. MA
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.idPilihan elite Nahdliyin untuk menjauhkan NU dari politik kekuasaan, walaupun “bener” tetapi tetap tidak “pener”. Dua diksi ini (bener dan pener) sudah mafhum di lingkungan Nahdliyin berkebudayaan Jawa. Tetapi, “bener dan pener” penting dijelaskan lebih jauh karena NU adalah milik semua putra bangsa.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Orang Jawa mengartikan “bener” serupa dengan “benar” dalam kosakata bahasa Indonesia. Sedangkan “pener” lebih dekat pada kosakata “arif-bijaksana”. Jadi, jika sesuatu disebut “bener tapi tidak pener” berarti sesuatu itu sudah benar dalam pertimbangan akal rasional tetapi tidak arif bijaksana karena menyisakan sesuatu yang mengganjal di hati.

Menjauhkan NU dari politik kekuasaan memang benar, tetapi tidak bijaksana. Politik kebangsaan adalah utopia kalangan elite Nahdliyin, yang pada gilirannya akan merugikan warga Nahdliyin akar rumput (grassroots). Pengalaman menunjukkan warga Nahdliyin dimobilisir pada setiap pesta demokrasi, dengan janji-janji manis berbalut ideologis.

Perhatikan pada pengalaman Pilpres 2019, pada masa-masa kampanye, Cawapres Ma’ruf Amin sempat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas tuduhan black-campaign/kampanye hitam. Saat itu Ma’ruf Amin dinilai mengatakan bila pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin kalah maka NU dan pesantren akan jadi fosil alias punah. Untuk apa menakut-nakuti NU dan pesantren jika memang pada dasarnya tidak ikut campur dalam politik kekuasaan?!

Tetapi, elite Nahdliyin yang terus-menerus menggemakan ide politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan, tidak mau jujur. Padahal, Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Dan politik Islam tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Menjauhkan NU dan Nahdliyin dari politik kekuasaan bertentangan dengan spirit keislaman, di satu sisi. Dan di sisi lain, juga bisa membodohi warga Nahdliyin, karena tidak menyadarkan mereka bahwa satu suara sangat berharga.

Warga Nahdliyin yang tidak sadar bahwa satu suara mereka sangat berharga, jatuh pada kebingungan. Mereka tidak tahu harus bagaimana memanfaatkan suara aspirasi mereka sendiri. Dalam kebingungan inilah, ketika para bakul politik datang, maka warga Nahdliyin di level akar rumput bisa terseret ke berbagai partai politik yang bermacam-macam. Jumlah besar mereka menjadi buih di lautan yang tidak berharga.

Dalam suasana kebingungan warga Nahdliyin yang sama ini pula, elite-elite Nahdliyin datang bagaikan seorang Hero/Pahlawan. Mereka menawarkan janji-janji manis ideologis, memobilisir massa akar rumput ke dalam satu barisan yang sama, untuk mendukung salah satu pasangan calon. Sampai-sampai tanpa disadari, warga akar rumput ini sudah sepenuhnya basah kuyup oleh politik kekuasaan praktis pragmatis.

Ini adalah bentuk kemunafikan elite Nahdliyin yang pro ide politik kebangsaan di level wacana, tetapi menjadi bandar di level politik kekuasaan. Kemunafikan semacam ini tidak boleh dipertahankan terus-menerus, karena hanya akan membodohi warga Nahdliyin di level akar rumput. Sebaliknya, sejak dini sekali, elite-elite Nahdliyin secara serentak mengajarkan warga akar rumput tentang pentingnya suara mereka, tentang betapa berharganya aspirasi politik mereka, sehingga mereka harus menyalurkan aspirasi itu lewat partai politik.

Menyalurkan aspirasi lewat partai politik adalah bentuk konkrit dan paling sederhana yang bisa dipahami oleh warga Nahdliyin akar rumput. Itulah sejatinya bentuk politik kekuasaan itu sendiri. Jika ada elite-elite Nahdliyin yang mengkampanyekan politik kebangsaan tetapi pada saat yang sama mengafirmasi penyampaian aspirasi lewat partai politik, maka ia telah berdusta dan berbuat keji.

Penulis berpendapat, ide politik kebangsaan yang ditujukan untuk memisahkan Nahdliyin dari politik kekuasaan adalah ide yang digawangi oleh sekelompok orang yang ingin mencairkan suara warga NU. Dalam suasana yang cair itu, maka warga NU menjadi tanah tak bertuan; siapa saja dipersilahkan untuk memperebutkannya. NU menjadi objek yang pasif, bukan lagi subjek yang aktif. Nasib suara warga “ditentukan” oleh kekuatan eksternal, bukan oleh dirinya sendiri.

Di masa depan, warga Nahdliyin tidak punya pilihan lain selain mengkonsolidasikan suara dan aspirasi. Jangan mudah dipecah-belah. Itu langkah pertamanya. Langkah keduanya adalah memastikan untuk menyalurkan seluruh aspirasi warga NU ke dalam satu partai politik saja.

Selain itu juga perlu diketahui, nominal harga suara yang terkonsolidasi jauh lebih mahal dari pada harga suara yang dijual secara eceran/ketengan. Ini yang sangat tidak disukai oleh partai politik. Sebab, jika suara warga Nahdliyin bersatu maka tidak ada uang yang bisa membeli mereka, kecuali seharga kursi RI 1. Tetapi, semakin dijual secara ketengan/eceran maka 1 kursi di tingkat daerah pun sulit dicapai.

Coba perhatikan Pilkada tahun 2020. Warga NU menderita kekalahan. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah contoh betapa ruginya suara Nahdliyin yang kalah di pentas politik. Hal itu wajar terjadi, karena sebuah kesalahan filsafat politiknya selama ini, yang bermuka dua: menolak politik kekuasaan, mendukung politik kebangsaan. Ini adalah gagasan paling absurd di era seperti sekarang. Karena itulah, warga Nahdliyin jangan menjual suara mereka secara eceran/ketengan. Tetapi jual dalam satu bingkai soliditas dan keutuhan.

Mengingat harga suara yang solid, bersatu padu, satu visi-misi jauh lebih mahal dari pada harga suara eceran maka satu-satunya cara paling strategis untuk mendapatkan harga murah dari warga NU adalah memecah-belah. Dan satu-satunya cara paling efektif memecah-belah tingkat soliditas suara warga Nahdliyin adalah mengkampanyekan ide politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Tetapi diiringi oleh kemunafikan, berupa tindakan diam-diam memobilisir warga NU untuk mendukung pasangan tertentu/partai tertentu (non NU). Kemunafikan ini wajar diganjar/dibalas dengan kekalahan pada Pilkada 2020.

Setelah soliditas suara warga Nahdliyin tercapai, memang tantangan berikutnya adalah saluran kepartaian. Tidak mudah mempertahankan soliditas karena sistem politik di Indonesia adalah multipartai. Tetapi hal ini hanya soal teknis, yang substansial tetap soliditas suara warga Nahdliyin. Dan menurut Penulis, Hanya PKB Saluran Politik Nahdiyyin yang paling tepat, agar pada Pilpres 2024 nanti seluruh suara warga Nahdliyin didistribusikan via PKB. Karena sejak Pilpres 2014, 2019, sampai sekarang, kontribusi PKB sangat besar dan nyata untuk kemaslahan pesantren dan nahdiyyin. Apalagi PKB satu-satunya partai yang lahir dari rahim suci NU.

Sebaliknya, memisahkan NU dengan PKB atas nama politik kebangsaan dan membuat warga Nahdliyin menjadi “floating mass”, atau “tanah tak bertuan,” sehingga ambyar dan menyebar ke berbagai partai, hal itu adalah “pengkhianatan” terbesar bagi NU dan kepada para masyayikh pendiri NU dan PKB. Sebab, Partai-partai selain PKB bukan anak kandung NU. siapapun ngaku warga NU wajib ber-PKB, itulah slogan yang tepat menuju pemilu 2024, Wallahu a’lam bis shawab. [trbn]

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *