Isu Climate Change di Indonesia, Ekonom Senior: Efek multipliernya besar sekali ke APBN

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Ekonom Senior Drajat Wibowo mengungkapkan climate change memberikan Efek multiplier yang besar ke APBN.

Menurutnya, Perpres No 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan nasional, sudah cukup rinci menjelaskan tentang karbon pada pasal 33 dengan lead sectornya Menteri LHK. Kabon dan climate change tidak bisa bertentangan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) No. 13 dalam melawan perubahan iklim dan dampaknya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Masalah sustainability dan keberlanjutan berperan dalam meningkatkan ekspor dan ekonomi Indonesia. Efek multipliernya besar sekali ke APBN, lapangan kerja dan ekonomi daerah. Kelalaian mengurusi kelestarian terbukti memberikan kerugian besar baik bagi pengusaha maupun negara,” kata Drajat Wibowo, pada DISKUSI PUBLIK FRAKSI PAN – MPR RI “Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia Serta Bauran Kebijakan Dalam Menghadapi Issue Carbon Trading” Bogor, 15 November 2021.

Perubahan iklim, kata Drajat, menjadi isu prioritas Joe Biden yang pada 27 Januari 2021 menerbitkan Executive Order (EO) 14008 yang cakupannya tidak hanya di dalam negeri Amerika Serikat (AS) tetapi juga di luar AS. John Kerrry, sang tokoh kunci Paris Agreement, menjadi pejabat setingkat menteri di AS yang mengurusi climate change.

Untuk mengantisipasi isu climate change yang oleh AS diprediksi akan menjadi salah satu sumber konflik ke depan. Amerika pun tidak hanya mengutus lembaga-lembaga lingkungannya saja untuk mengurusi climate crisis, tapi lembaga-lembaga keamanan nasionalnya juga diminta ikut terlibat.

“Yang menjadi kunci bagi negara berkembang adalah soal finance. Selalu ada komitmen dan selalu ada consensus tapi real mechanism tidak pernah bisa dijalankan sehingga uang 100 miliar USD yang selalu didengungkan sampai sekarang belum terbukti,” kata Drajat.

Monetary value dari carbon agreement yang pertama paling real bisa diihat pada 100 miliar USD. Menurut Drajat, itupun masih panjang karena mekanismenya belum ada.

Seperti yang dijelaskan Peneliti INDEF Eisha M Rachbini Global warming dengan peningkatan suhu ekstrim yang menjadi semakin tinggi dan terjadinya banyak bencana alam sebagian besar diakibatkan oleh aktivitas ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam, terutama oleh bahan bakar berbasis biofuel. Diprediksi, kenaikan suhu bumi pada akhir abad 21 dapat mencapi 5 derajat Celsius melalui NDCs (Nationally Determined Contribution).

Sebab itu Eisha mengungkapkan untuk mengurangi dampak buruk lingkungan telah diupayakan dengan Paris Agreement yang menargetkan global warming di bawah 1,5 derajat Celsius, melalui NDCs. Begitu pula The Emission Gap Report (UNEP,2021) memprediksi kenaikan suhu bumi 2,7 derajat Celsius pada 2100 jika mitigasi masing-masing rencana melalui NDCs dilakukan on the track.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *