Seberapa Penting Hafal Al-Qur’an?

Seberapa Penting Hafal Al-Qur’an?
Seberapa Penting Hafal Al-Qur’an?
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

Hajinews.id – Tidak sedikit orang yang berpandangan sinistis terhadap para penghafal al-Qur’an. Menurut mereka, di era digitalisasi ini, menghafal al-Qur’an sudah kehilangan relevansi. Sebab, kalau tujuannya untuk menjaga keberadaannya, al-Qur’an kini sudah tersimpan dengan sangat baik dalam file-file digital. Jika membutuhkan ayat-ayat tertentu tinggal mencarinya dengan kata-kata kunci. Ini adalah pandangan simplistis dari orang-orang yang belum merasakan adanya interkoneksi antar ayat di dalam al-Qur’an yang letak ayat-ayat itu seringkali berjauhan dan diungkapkan dengan kata-kata yang berbeda. Seolah-olah ayat-ayat tersebut berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling berkaitan sangat erat. Dan pemahaman yang benar hanya bisa didapatkan kalau ayat-ayat tersebut dipahami secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Karena itulah, di lembaga-lembaga pendidikan yang saya dirikan, para pelajarnya harus memiliki visi yang utuh tentang kewajiban mereka kepada al-Qur’an, dimulai dari membaca, mengartikan, menghafalkan, merenungkan, mengerjakan, mengajarkan, sampai memperjuangkannya. Dalam masyarakat non-Arab, lumrahnya yang dilakukan pertama kali adalah belajar membaca huruf al-Qur’an (Arab). Setelah mampu membacanya, ada yang langsung berusaha menghafalkannya. Namun, berdasarkan hasil penelitian saya, langkah ini tidak tepat. Sebab, tingkat kesulitan menghafalkan kalimat yang tidak dipahami artinya minimal tujuh kali lipat dibandingkan menghafalkan kalimat yang dipahami artinya. Dan hafalan berbasis arti akan lebih melekat dalam ingatan. Dengan kata lain, menghafalkan tanpa arti lebih sulit dan lebih cepat hilang.

Di berbagai forum diskusi, seminar, dan semacamnya tentang kajian al-Qur’an, saya telah menguji coba ini, dan hasilnya relatif sama. Karena itu, mestinya usaha menghafalkan al-Qur’an dilakukan setelah penghafal mengetahui artinya terlebih dahulu. Bagi masyarakat Indonesia, untuk mengetahui artinya sesungguhnya tidak terlalu sulit. Sebab, ada hampir 1000 kata dasar dalam al-Qur’an yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Hanya saja seringkali tidak disadari. Kata kitab, hidayah, takwa, iman, gaib, makam, shalat, rizki, dan infak adalah kata-kata serapan yang terdapat dalam awal surat al-Baqarah. Karena itu, kata-kata tersebut tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Masih cukup banyak kata yang tidak disadari sebagai kata serapan dari bahasa Arab dan digunakan dalam al-Qur’an, di antaranya: hafal (berasal dari kata ha-fi(fa)-dha, berarti menjaga), perlu (berasal dari kata fa-r-dlu, berarti harus), makalah (berasal dari ma-qâ-la-h, dari fi’il madly qâ-la, berarti berkata, sehingga makalah artinya adalah perkataan atau pendapat, yang kemudian ditulis di atas lembara-lembaran kertas, dan kini bisa jadi hanya file di computer saja) dan bahkan iklan (berasal dari kata i-‘-lân, berarti memperlihatkan, sinonim dengan kata pengumuman).

Di antara penyebab sinisme terhadap usaha menghafal al-Qur’an adalah fakta bahwa sebagian besar penghafal al-Qur’an di Indonesia tidak mengerti artinya. Ini juga yang menjadi kritik saya. Namun, fakta itu tidak lantas membuat usaha menghafalkan al-Qur’an menjadi tidak penting. Hafal al-Qur’an adalah sebuah prasyarat sangat penting untuk bisa menjalankan kewajiban keempat, yaitu: merenungkan al-Qur’an. Tentu saja merenungkan isi al-Qur’an tidak mungkin bisa dilakukan apabila tidak mengetahui artinya. Inilah yang membuat memahami makna kata-kata yang digunakan oleh al-Qur’an sangat penting. Ketujuh kewajiban kepada al-Qur’an itu ibarat anak tangga yang tidak bisa dilompati. Satu persatu, anak-anak tangga itu harus dipijak agar bisa sampai ke puncaknya.

Menghafal al-Qur’an adalah prasyarat yang bisa dikatakan mutlak untuk bisa secara intensif merenungkan ayat-ayat al-Qur’an secara keseluruhan. Dengan demikian, tidak akan ada satu ayat pun yang terlewat diinterkoneksikan untuk mendapatkan pemahaman yang utuh, bukan pemahaman yang parsial yang pasti menyebabkan kekeliruan pemahaman. Inilah yang menyebabkan umat Islam mengalami ketertinggalan. Bukan karena mereka tidak berusaha mengamalkan ajaran al-Qur’an, tetapi karena mereka sudah mengalami kekeliruan sejak dari pemahaman. Jika pemahaman keliru, maka pengamalannya pasti tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh al-Qur’an. Mengamalkan pemahaman yang tidak sesuai dengan al-Qur’an, apalagi bertentangan dengannya, padahal dengan keyakinan bahwa pemahaman itu berasal dari al-Qur’an bisa saja menjadi sangat membahayakan.

Di antara contoh pemahaman keliru yang sangat sederhana dan sangat mudah bagi siapa pun untuk melakukan verifikasi adalah pemahaman surat al-‘Ashr.
وَالْعَصْرِ – إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ – إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (al-‘Ashr: 1-3)

Hampir semua ustadz/kiai/cendekiawan yang membahas surat ini di channel youtube berargumentasi bahwa penyebab manusia berada dalam kerugian adalah karena tidak memanfaatkan waktu. Padahal, jika ayat ini dikoneksikan dengan al-Kahfi: 103-105, maka justru penyebabnya adalah karena mereka sudah beramal baik, tetapi amal baik mereka itu tidak dipandang, tidak ditimbang, dan tidak dihitung oleh Allah Swt.. Kalau mereka sudah beramal, dan bahkan mereka berkeyakinan bahwa mereka telah melakukan kebaikan, maka tentu saja mereka bukan tidak memanfaatkan waktu. Sebaliknya, justru mereka telah menggunakan waktu untuk berbuat kebaikan. Kalau hanya sesederhana itu, tentu saja tidak perlu al-Qur’an membahasnya. Al-Qur’an mengangkatnya sebagai salah satu bahasan karena ini adalah persoalan yang harus dilihat secara mendalam dengan perspektif ideologis.

Dengan al-Kahfi: 103-105, penyebab manusia mengalami kerugian bisa dipahami dengan sangat jelas dan akan melahirkan perspektif yang sangat ideologis.
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا – الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا – أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (al-Kahfi: 103-105)

Ayat lain juga menegaskan hal ini dengan menggunakan pernyataan yang di dalamnya bisa ditarik logikanya.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)

Di dalam ayat ini, al-Qur’an menegaskan kembali bahwa kerugian itu terjadi di akhirat. Logikanya, bisa jadi, di dunia mereka mendapatkan keuntungan dalam berbagai bentuknya. Dengan perspektif ini, akan lahir perspektif ideologis yang bisa melindungi umat Islam dalam masa ini dan masa depan dari paham pluralisme agama dan kepercayaan, politeisme, ateisme, humanisme, individualisme, dan sikap putus asa atau lari dari tanggung jawab. Sebab, iman dalam perspektif Islam yang dipersyaratkan dalam al-‘Ashr: 3 adalah iman yang benar dengan kriteria menjadikan hanya Allah sebagai satu-satunya tuhan (Thaha: 14), percaya kepada seluruh Rasul (al-Nisa’: 150-151), percaya bahwa Muhammad adalah rasul terakhir (al-Ahzab: 40) dan mengikutinya (al-A’râf: 157).

Konsepsi iman Islam ini berbeda dengan politeisme dan tentu saja bertentangan dengan ateisme. Juga akan melindungi umat Islam dari humanisme, karena kemanusiaan dalam konsepsi Islam tetap harus didasarkan kepada niat yang tulus hanya karena Allah sehingga terbangun antara hubungan dengan Allah (hablun min Allah) dan hubungan dengan manusia (hablun min al-nâs) secara benar (Ali Imran: 112). Amal saleh dalam kehidupan kemanusiaan harus tetap didasarkan kepada niat yang murni hanya karena dan demi Allah. Adanya perintah untuk memerintahkan kepada kebenaran juga akan membebaskan umat Islam dari perspektif keliru individualisme. Sebab, di samping manusia adalah makhluk individu sesungguhnya adalah makhluk bermasyarakat. Sedangkan dalam perspektif Islam, dosa yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, bisa menyebabkan orang atau kelompok lain tertimpa akibatnya (al-Anfal: 25). Inilah yang mengharuskan umat Islam harus saling mengingatkan untuk menjalankan kebenaran.

Demikian pula kewajiban mengingatkan untuk bersabar dalam arti memiliki daya tahan tinggi, untuk menghindarkan dari sikap putus asa atau malu yang disikapi dengan keliru yang bisa mengantarkan kepada tindakan keliru seperti bunuh diri, termasuk dalam bentuk harakiri.

Ini adalah di antara contoh tema yang menggunakan hanya satu kata kunci, khusr. Untuk mencari ayat-ayat yang memiliki interkoneksi, dengan menggunakan aplikasi digital, tentu saja sangat mudah. Namun, faktanya justru mereka yang mengkritik penghafal al-Qur’an dan memandang bahwa aplikasi digital sudah bisa menggantikan hafalan, bahkan dengan hasil yang lebih baik, juga gagal untuk memberikan perspektif utuh yang diberikan oleh al-Qur’an itu. Para pengkritik ini biasanya berasal dari kalangan muslim liberal atau yang bergaya sebagai rasionalis, modern, dan mengedepankan teknologi. Padahal para penghafal al-Qur’an yang mendasarkan kepada hafalan, kemudian membiasakan diri dengan perenungan mendalam adalah orang-orang yang sangat mengoptimalkan akal alias rasional, dan jika memahaminya dengan benar, kemodernan akan menjadi bagian dari pemikirannya, dan sains-teknologi akan dijadikan sebagai bagian integral dalam ajaran Islam. Sebab, di dalam Islam, terdapat banyak sekali ayat yang menekankan optimalisasi penggunaan akal, motivasi agar muslim menjadi umat terbaik dan mampu berkompetisi, dan juga pengembangan sains dan teknologi.

Di dalam al-Qur’an juga terdapat banyak tema yang untuk memahaminya secara utuh harus menghubungkan berbagai ayat dengan dua atau lebih kata kunci. Inilah yang tidak akan pernah bisa dilakukan oleh aplikasi digital. Sebab, aplikasi digital hanya mampu mengidentifikan kata yang sama. Bahkan ia tak mampu mengidentifikasi perbedaan kata yang sama dengan makna yang berbeda. Lebih dari itu, ia tidak memiliki rasa bahasa. Contoh dalam konteks ini adalah tema tentang kafir (kufr).

Kalau kata kufr dengan segala turunannya tidak dipahami secara komprehensif, maka berpotensi memunculkan banyak kebingungan. Namun, jika ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata kufr dikoneksikan dengan ayat-ayat lain yang di dalamnya terdapat kata yang bermakna sinonim, maka pemahamannya akan menjadi mudah dan sangat jelas. Misanya untuk memahami al-Baqarah: 6-7.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ – خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (al-Baqarah: 6-7)

Ayat al-Baqarah: 6 berpotensi membingungkan orang yang memiliki logika yang baik dan secara bersamaan telah mendapatkan pemahaman bahwa Islam adalah agama dakwah (mengajak). Orang dengan logika ini akan merasakan kontradiksi yang kemudian melahirkan pertanyaan sederhana: “Kalau orang kafir, diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan, mereka akan bersikap sama saja, tidak mau beriman, lantas kenapa ada ayat yang lain yang memerintahkan untuk memberi peringatan dan berdakwah kepada mereka? Bahkan ayat berikutnya akan menimbulkan kesalahpahaman bahwa Allahlah yang salah, karena Dialah yang telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan menutup penglihatan mereka.
Namun, jika ayat ini dipahami dengan terlebih dahulu memahami ayat-ayat tentang kaum ahlu al-kitab yang menyembunyikan ciri-ciri Nabi Muhammad saw., maka pandangan keliru itu tidak akan muncul. Di antara ayat yang harus dipahami terlebih dahulu untuk bisa memahami al-Baqarah: 6-7 adalah al-Baqarah: 159 dan 174.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknati, (al-Baqarah: 159)

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (al-Baqarah: 174)

Kata kufr di dalam al-Qur’an harus dipahami terlebih dahulu sebagai kata yang awalnya bermakna sangat teknis, yaitu: menutupi. Kata ini diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi to cover. Di antara turunan kata ini adalah kâfir, berarti petani. Sebab, di antara pekerjaan umum petani adalah menanam. Teknis menanam adalah memasukkan biji-bijian ke dalam tanah, lalu menutupinya agar tidak dimakan burung. Kata ini masih digunakan dalam al-Qur’an dalam bentuk jamaknya, al-kuffâr, di dalam al-Hadid: 20.
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (al-Hadid: 20).

Dengan memahami konteks-konteks yang tersebar di berbagai ayat tersebut, al-Baqarah: 6-7 akan bisa dipahami dengan mudah bahwa orang-orang yang menyembunyikan ciri-ciri Nabi Muhammad saw., baik diberi peringatan maupun tidak diberi peringatan, tentu saja tidak akan pernah mau beriman. Sebab, sesungguhnya mereka sudah tahu jauh-jauh hari sebelumnya tentang itu. Hanya saja, mereka lebih memilih keuntungan duniawi dibandingkan kebahagiaan ukhrawi. Sebab, mereka berpikir bahwa dengan mengakui Muhammad saw. sebagai rasul terakhir, kebanggaan ahlu al-kitab, baik Yahudi dan Nashrani yang merupakan anak keturunan Israel (Bani Israel) akan lenyap. Sebab, nabi terakhir bernama Muhammad itu bukan berasal dari garis keturunan Ya’qub bin Ishaq, melainkan berasal dari keturunan saudaranya, Ismail. Inilah yang menyebabkan mereka enggan atau tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad saw.. Beriman dalam konteks ini adalah mengakuinya sebagai nabi yang dijanjikan lalu mengikutinya dengan sepenuh ketundukan. Hal ini ditegaskan di dalam ayat yang lain dengan menggunakan kata kunci kitmân (menyembunyikan).
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (al-Baqarah: 146)

Menangkap kata-kata kunci dalam berbagai ayat di atas, dan memahami berbagai ayat itu sebagai satu kesatuan yang utuh memerlukan perenungan yang dilakukan secara konsisten, baik pada saat berdiri, menjelang tidur, maupun bangun tidur, dalam terang maupun gelap. Melakukan perenungan yang mendalam dengan banyak ayat sebagai bahannya dalam segala keadaan, hanya bisa dilakukan apabila seluruh ayat al-Qur’an tersimpan di dalam ingatan dengan hafalan yang baik. Karena itu, menghafal al-Qur’an menjadi prasyarat mutak bagi siapa saja yang ingin menjadi ilmuan muslim (ulama’). Kontemplator dengan kapasitas inilah yang bisa diharapkan menghasilkan pemahaman yang benar yang jika dijalan secara konsekuen akan mengantarkan umat Islam kepada kemajuan dan kejayaan yang membuktikan janji al-Qur’an bahwa umat Islam adalah umat terbaik di masa depan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *