Seberapa Penting Ilmu Dasar untuk Memahami Islam?

Ilmu Dasar untuk Memahami Islam
Ilmu Dasar untuk Memahami Islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

Hajinews.id – Sebelas tahun saya hidup serumah dengan tiga orang dokter. Istri saya dokter spesialis anak, adiknya dokter spesialis penyakit dalam, dan adik bungsunya calon dokter spesialis mata. Bapak mertua saya dokter spesialis mata, tetapi wafat belum sampai dua tahun setelah saya menjadi menantunya. Setiap hari saya berinteraksi dengan dokter. Saat makan bersama sering berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kedokteran. Bahkan satu orang di antara mereka sekamar dengan saya.

Namun, setelah sebelas tahun tinggal bersama itu, tidak lantas membuat saya jadi dokter. Bahkan nama obat yang sudah sering diresepkan oleh istri saya untuk dibeli di apotik pun, ketika saya, anak-anak kami, mereka sendiri, atau pembantu kami saya selalu minta dikirim ke WA saya, agar saya tinggal baca saja saat sampai di apotik. Padahal itu obat yang sama dengan yang sebelum-sebelumnya, untuk mengobati penyakit yang sama.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Apa sebab saya tidak juga memahami, atau setidaknya hafal, sekedar obat itu? Tidak lain kecuali saya tidak pernah belajar dasar-dasar ilmu kedokteran. Dengan begitu, apa pun informasi atau pengetahuan apa pun tentang kesehatan atau obat-obatan hanya akan saya ingat saat itu saja, dan akan hilang dan harus bertanya kembali kepada istri dan adik saya ketika membutuhkan obat baik untuk mengobati penyakit yang sudah pernah kami idap maupun apalagi penyakit baru.

Itulah yang terjadi pada mayoritas orang yang mendengarkan ceramah-ceramah di majelis taklim. Di berbagai majelis itu, pertanyaan jama’ah relatif sama dan diulang-ulang. Dan walaupun sudah diulang-ulang, jika masuk di majelis taklim yang lain, akan menanyakan permasalahan yang sama, karena merasa bingung, sebelumnya telah mendapatkan jawaban yang berbeda. Mereka tidak memiliki alat yang cukup sekedar untuk menilai mana jawaban yang valid karena berdasarkan sumber rujukan fundamental Islam dengan pemahaman yang benar, dan mana jawaban yang tidak valid karena tidak berdasarkan rujukan tersebut, atau karena dengan merujuk kepada rujukan fundamental Islam, tetapi dipahami secara tidak tepat, atau tepatnya keliru.
Ini mestinya menyadarkan setiap umat Islam untuk mulai berislam dengan ilmu dasar yang cukup.

Dengan demikian, disiplin keilmuan apa pun yang didalami atau profesi apa pun yang ditekuni, wawasan keislaman yang dimiliki sudah cukup untuk dijadikan sebagai landasan yang kokoh. Untuk mendapatkan wawasan yang komprehensif, diperlukan ijtihad kolektif dari banyak orang dengan disiplin keilmuan dan profesi yang beragam, sehingga sebuah permasalahan bisa dilihat dari segala sisinya, secara utuh dan menyeluruh. Dengan kata lain, memiliki pemahaman yang baik kepada teks-teks sumber Islam, baik al-Qur’an maupun hadits, itu wajib ‘ain hukumnya. Sedangkan penguasaan kepada disiplin keilmuan yang bermacam ragam, seperti kedokteran, teknik, ekonomi, hukum, dan lain-lain, itu adalah fardlu kifayah.

Untuk mempelajari pengetahuan Islam sesungguhnya bisa dilakukan sejak belia ketika belum mendalami disiplin keilmuan yang termasuk dalam kategori fardlu kifayah itu. Dan jika dilakukan secara serius, tidak perlu sampai waktu lulus SMU, ilmu-ilmu dasar itu akan bisa dikuasai dengan baik. Dengan begitu, disiplin-disiplin keilmuan untuk memiliki profesi konkret yang baik masih sangat memungkinkan untuk diraih. Dan sembari mendalami disiplin keilmuan itu, wawasan keislaman juga bisa terus dibangun dengan menguatkan ilmu dasar. Seorang dokter misalnya, telah memiliki pemahaman yang baik tentang Islam, sehingga keilmuan dibidang kedokteran dan profesi kedokteran bisa dikembangkan dilandaskan kepada etika Islam yang dipahami dari al-Qur’an dan hadits. Demikian pula dengan disiplin keilmuan dan profesi yang lain.

Ilmu-ilmu dasar yang harus dikuasai untuk bisa memiliki wawasan umum Islam setidaknya ada tiga: Pertama, Bahasa Arab. Kedua sumber ajaran Islam, baik al-Qur’an maupun hadits, menggunakan bahasa asli Arab fushhah. Karena itu, sebagain besar ulama’ berpandangan bahwa setiap muslim wajib menguasai Bahasa Arab. Sebab, hanya dengan menguasai Bahasa Arablah mereka akan bisa memahami ajaran agama Islam yang mereka peluk.

Agar bisa menguasai Bahasa Arab, terutama bagi rumpun bangsa melayu/nusantara sesungguhnya tidaklah sulit. Bahkan terbilang relatif mudah. Sebab, sebagian kata yang digunakan diserap dari Bahasa Arab. Dari 2728 kata dasar yang digunakan oleh al-Qur’an, hampir 1000 di antaranya sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia. Bahkan banyak kata yang seolah tidak ada hubungannya dengan Bahasa Arab, tetapi sesungguhnya merupakan serapan dari Bahasa Arab.

Membuka awal surat al-Baqarah, akan langsung ditemukan banyak kata yang telah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, diantaranya: kitab, takwa, iman, ghaib, shalat, rizki, dan infak. Iklan, perlu, dan nalar pun adalah kata-kata yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia, dan semunya digunakan dalam al-Qur’an. Iklan berasal dari kata i’lân yang kalau di pesantren diartikan dengan “pengumuman”. Makna aslinya adalah memperlihatkan sesuatu. Perlu berasal dari kata fardlu yang artinya wajib. Fardlu menjadi perlu karena dalam lidah nusantara tidak ada huruf dlat. Nalar berasal dari Bahasa Arab nadhar yang berarti pandangan, karena di pada lidah nusantara tidak terdapat huruf dha’, sama dengan yang membuat shalat dhuhur menjadi shalat luhur.

Kedua, asbab al-nuzul (latar belakang/konteks sosio historis turun ayat). Ini adalah ilmu yang akan mengantarkan pada pandangan dunia (world view) yang ada pada saat sebuah ayat turun. Dengan begitu, pemahaman yang ditarik dari sebuah ayat tidak terlepas dari konteksnya, sehingga berpotensi besar menyebabkan kekeliruan. Di samping itu, sebuah ayat yang kalau dibaca secara tekstual seolah hanyalah cerita tentang kejadian di masa lalu, bisa memberikan kontribusi pada perspektif masa kini dan masa depan. Di antara contoh yang paling penting adalah:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 158)

Ayat ini pernah menyebabkan seorang sahabat gagal paham. Namun, setelah dijelaskan konteks sosio historis yang melatarbelakangi turunnya, maka ayat ini bukan hanya membuat pemahamannya menjadi benar, tetapi juga bisa digunakan sebagai dasar analogi untuk membangun perspektif desakralisasi untuk kehidupan sekarang dan juga di masa depan. Sahabat yang salah paham tersebut menanyakan kepada Ummul Mu’minin Aisyah; mengapa dalam ayat ini disebutkan “tidak dosa sa’i antara Shafa dan Marwah” padahal sa’i adalah di antara rukun, bukan sekedar wajib haji, sehingga kalau ditinggalkan menjadi sama dengan tidak haji alias tidak sah.

Padahal frase tidak dosa juga bermakna lebih baik meninggalkannya. Ibu Aisyah kemudian menjelaskan konteksnya bahwa saat itu terdapat banyak sekali patung atau berhala di antara Shafa dan Marwah. Bahkan masih ada patung Isaf dan Nailah yang baru dihancurkan setelah Fathu Makkah. Karena itu, para sahabat khawatir, kalau mereka melakukan sa’i, mereka akan menjadi musyrik. Untuk menghapus keraguan itu, Allah menurunkan ayat ini. Jika mereka telah benar-benar beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan, maka maka sa’i antara Shafa dan Marwah yang di penuhi dengan patung-patung pun tidak masalah.

Hal ini bisa dijadikan analog yang membuat umat Islam sekarang menyebut nama-nama hari dalam Bahasa Inggirs: mulai dari Sunday (sun dan dei, dewa matahari), Monday (moon dan dei, dewi bulan), sampai Satursday (Saturnus dan dei, dewa saturnus) yang semuanya sesungguhnya adalah nama-nama dewa pagan era Yunani kuno menjadi tidak masalah. Jika tidak ada ayat ini, penyebutan nama-nama hari itu bisa menimbulkan masalah.

Ketiga, asbab al-wurûd (latar belang/konteks sosio historis sebuah hadits hadir). Fungsinya sama dengan asbab al-nuzul untuk al-Qur’an. Asbab al-wurûd sangat penting untuk memahami hadits Nabi yang sebagiannya memerlukan pengetahuan tentang latar belakangnya. Jika tidak dipahami latar belakangnya, maka sebuah hadits justru akan melahirkan pemahaman yang salah. Di antara contohnya adalah:
عن ﺃﺑﻲ ﺃﻳﻮﺏ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ: “ﺇﺫا ﺃﺗﻴﺘﻢ اﻟﻐﺎﺋﻂ ﻓﻼ ﺗﺴﺘﻘﺒﻠﻮا اﻟﻘﺒﻠﺔ ﻭﻻ ﺗﺴﺘﺪﺑﺮﻭﻫﺎ ﺑﺒﻮﻝ ﻭﻻ ﻏﺎﺋﻂ ﻭﻟﻜﻦ ﺷﺮﻗﻮا ﺃﻭ ﻏﺮﺑﻮا” (ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ)

Dari Abu Ayyub ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian buang air jangan menghadap ke kiblat atau membelakanginya dengan kencing dan buang air besar, tapi menghadaplah ke timur atau barat”. (HR Bukhari dan Muslim)

Jika hadits ini tidak dipahami dengan melibatkan konteks sosio-historis setelah Nabi Muhammad hijrah ke di Madinah yang secara geografis berada di sebelah utama Makkah, maka justru akan menyebabkan kebingungan bagi muslim Indonesia, karena berada di sebelah timur ka’bah baitullah yang menjadi kiblat shabat bagi umat Islam.

Setidaknya tiga ilmu alat itu harus dikuasai dengan baik, agar memahami ajaran Islam menjadi mudah. Dengan kemudahan itu, pemahaman kepada Islam akan selalu berkembang. Dan yang terpenting sesungguhnya adalah bisa mengakses ajaran Islam langsung dari sumbernya, sehingga tidak ada peluang bagi orang lain untuk membelokkannya untuk kepentingannya sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *