Oleh: Tere Liye, penulis novel ‘Negeri Para Bedebah’
Hajinews.id – Di sebuah kampung, ada Bapak Indo, dan Ibu Nesia.
Dia punya lahan 10 hektare.
Maka datanglah, Tuan Batu, dia mau nambang batubara. Tuan Sawit, dia mau bikin kebun sawit. Tuan Industri, dia mau bikin pabrik-pabrikan. Tuan Properti, dia mau bikin komplek rumah. Bapak Indo dan Ibu Nesia kasih semua lahannya, konsesi. Silahkan, tertawa lebar, demi kemajuan, demi pembangunan.
Setahun berlalu, semua mulai menghasilkan.
Bapak Indo butuh batubara biar rumahnya terang. Beli dong dia ke Tuan Batu. Mahal. Ibu Nesia, istri bapak Indo mau masak, butuh minyak goreng dong. Beli dong dia ke Tuan Sawit. Juga mahal.
Lantas anak Bapak Indo butuh lahan buat rumah sendiri. Rumah baru. Karena tanah sudah dikasihkan konsesi ke orang-orang lain, jadilah Bapak Indo beli dong itu tanah. Istilahnya ganti-rugi.
Inilah contoh Bapak Indo yang ambyarnya kebangetan. Itu tanah dia loh. Dia malah membeli mahal semua hasil tanahnya sendiri.
Sungguh, untuk kasus Bapak Indo dan Ibu Nesia, biarlah dia ambyar sendiri. Tapi untuk kasus negara, semoga masih ada yang matanya terbuka. Bahwa negeri ini milik kita bersama. Bukan milik penguasa+pengusaha+oprotunis yang bersekongkol ‘melegalkan’ skenario ambyar ini.
Pikirkanlah. Ujung ke ujung begini jadinya loh. Kekayaan negara dikuasai dan dinikmati siapa? Kita tertawa padahal cuma dapat remah-remah. Kita sok pembangunan, kemajuan, padahal disuruh beli mahal hasil tanah milik sendiri. Saat ini tambah ambyar, bahkan pandemi pun dijadikan bisnis. Orang susah payah, dia tertawa lebar. Cuan.
Mau kamu hater, buzzer, pembenci, pencinta. Negeri ini milik kita bersama. Apakah anak-anak kita cukup gizinya? Pendidikan bagus? Akses kesehatan bagus? Apakah keadilan telah terwujud? Apakah korupsi telah diberantas?
Atau sejak dulu, negeri ini hanya dikuasai penguasa (penjajah), pengusaha (para pengkhianat), dan oportunis (para penjilat). Lantas serdadu=serdadu keroco siap membela habis-habisan.
Tabik.