Hajinews.id — Heboh dugaan penyuntikan vaksinasi covid-19 pada anak sekolah yang tak berisi penuh atau dalam bahasa media disebut “vaksin kosong”, membuat Polda Sumatera Utara turun melakukan pemeriksaan.
Menurut praktisi hukum kesehatan Muhammad Joni, Dokter G yang mengabdi pada profesi dan program kedaruratan vaksinasi seharusnya diperiksa lebih dahulu dengan norma disiplin kedokteran.
“Dokter terikat 3 norma: norma etik, norma disiplin dan norma hukum, seperti pendapat MK RI dalam Putusan Nomor 14/PUU-XII/2014, angka 3.14). Belaku untuk siapa? Semua dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis/sub spesialis,” kata Muhammad Joni.
Sebab itu, menurut dia andaipun dokter diduga lalai dalam tugas medisnya, tak beralasan serta merta dibawa ke ranah hukum pidana. Batu ujinya adalah standar pelayanan medis dan norma disiplin kedokteran yang merupakan lex specialist. Bukan premium remidium dengan menerapkan hukum pidana.
“Andaipun diduga melakukan kelalaian disiplin kedokteran, percayakan penanganannya kepada otoritas profesi. Bisa masuk ke yurisdiksi MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) dalam naungan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). Ataupun, jika diduga kelalaian norma etika, percayakan kepada mekanisme MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) di bawah naungan IDI,” sambung Joni.
Ia menegaskan, bahwa dalam hal kelalaian medis, kepada dokter ataupun dokter gigi, penanganan hukum pidana adalah upaya terakhir (the last resort). Tidak boleh ujug-ujug di bawa ke ranah pidana.
“Secara yuridis-konstitusional, pelayanan kesehatan adalah tanggungjawab Negara (vide Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), yang bekerja di garda terdepan dikerjakan oleh dokter Anggota IDI. Sebab itu, beralasan hukum jika negara termasuk Pemerintah dan Pemda cq. Pemko Medan memberikan perlindungan kepada dokter. Perlindungan hukum adalah hak hukum dokter sesuai UU Praktik Kedokteran. Bukan menggiring mekanisme hukum pidana,” pungkasnya.