Perang Opini

Perang Opini
Agustinus Edy Kristianto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Agustinus Edy Kristianto

Hajinews.id – Sebaiknya kita mulai mengurangi berdebat di medsos tentang hal-hal yang tidak produktif dan fokus pada hal-hal dasar yang menyangkut kehidupan bersama. Sekarang sudah masuk fase ‘perang’ opini jelang 2024. Jangan sampai kita terpolarisasi karena selentingan-selentingan bernuansa primordial. Jangan sampai termakan propaganda yang menumpulkan daya kritis Anda sehingga justru mendukung hal-hal yang seharusnya ditentang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Masalah kita adalah korupsi dan ketidakadilan dalam berbagai wujud serta buruknya pelayanan publik! Namun, pemerintahan membungkusnya dengan segala macam tata bahasa sehingga tercium harum.

Selama ini kita telah melihat beragam contoh. Bahasanya adalah peningkatan skill ketenagakerjaan melalui Kartu Prakerja tapi kenyataannya siapa yang untung? Perusahaan swasta platform digital yang mengelola kucuran Rp5,6 triliun dari APBN dan mencomot komisi 15%.

Anda bilang membantu masyarakat tes PCR? Bukan. Perusahaan swasta tambang membeli surat utang perusahaan layanan PCR yang di dalamnya terafiliasi dengan pembentuk kebijakan, lantas ambil profit dari kegiatan tes-tes COVID. Begitu tepatnya.

Apa pula yang bisa diharapkan dari konsep energi hijau jika ketua konsorsium kawasan industri hijaunya adalah pengusaha batubara yang dapat untung bersih Rp6 triliun lebih per September 2021? Siapa yang untung? Ya, penggunaan tanahnya yang berhektare-hektare itu, akses kebijakan, konsesi, hingga memediasi perusahaan asing yang akan mendapat proyek ‘menghijaukan’ batubara. Inisial perusahaan asingnya AP!

Apa dan berapa banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan dari pembangunan infrastruktur digital jika Rp3 triliun duit APBN ternyata dipakai melalui LPI (PT Maleo Investasi) untuk ‘bertaruh’ di pasar saham dengan membeli saham MTEL?

Krisis listrik macam apa yang terjadi dan bagaimana posisi pemerintah terhadap PLN jika Menko Investasinya adalah pemegang saham perusahaan di mana 19% (US$53,1 juta/Rp750-an miliar) pendapatannya adalah dari PLN? Bagaimana potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi? Bagaimana kita yakin kebijakannya tidak timpang sebelah?

Semua itu bisa terjadi karena sihir istilah seperti ekosistem digital, market-friendly, deregulasi dan hal-hal kapitalistik lainnya yang gemar sekali dilontarkan Presiden. Orang perlu tahu, tak semua hal di bumi ini bisa dilihat dari kacamata bisnis/investasi semata, ada hak-hak dasar manusia sebagai warga negara yang harus dikelola pakai hati dengan pelayanan yang manusiawi pula oleh negara.

Anda tahu apa kalimat seorang bankir yang sedang magang menjadi Menkes kemarin di DPR ketika presentasi masalah penghapusan kelas BPJS Kesehatan menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) berikut rencana ‘sinergi’ dengan asuransi swasta untuk menghindari defisit? Dia berkata, “… kita lihat bahwa penyakit jantung itu MEMBEBANI negara Rp10 triliun, kanker Rp3,5 triliun…” Soal selisih biaya cover, katanya, “…besarannya tergantung NEGOSIASI antara perusahaan asuransi swasta dengan BPJS Kesehatan.”

Kita tidak bicarakan dulu teknis kebijakannya tapi lihat apa yang ada dalam benaknya itu tentang hak dasar kesehatan bagi warga negara. Jantung dan kanker bukan beban negara (uang yang dimakan platform digital Prakerja Rp5,6 triliun, beban bukan?), yang menjadi beban adalah KESALAHAN DAN KECURANGAN (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS (Lihat putusan MA terlampir).

Tak ada urusan dengan negosiasi, menyelamatkan nyawa warga negara kaya maupun miskin adalah tugas negara sesuai amanat konstitusi. Jangan sampai hak atas kesehatan yang seharusnya gratis (apa sistem dan pendanaannya, silakan dipikir) dan bagus harus dipenuhi oleh negara.

Jika boleh berspekulasi/menduga, masuknya swasta itu adalah upaya untuk mempertahankan besarnya potensi market dan kelangsungan bisnis produk keuangan berkaitan dengan layanan kesehatan. Mengapa bisnis asuransi penting bagi negara karena bisnis ini juga yang membeli setidaknya 21% (Rp98 triliun per 2021) surat utang negara. Siapa yang tahu.

Kita perlu menyoroti masalah BPJS itu. Asuransi bukan sekadar masalah kesehatan melainkan bisnis dan politik! Upaya untuk membangun sistem kesehatan nasional yang gratis dan berkualitas bagi masyarakat memang kerap berhadapan dengan gurita pemain besar industri asuransi dan farmasi. Contohnya bisa Anda lihat di dokumenter buatan Michael Moore berjudul ‘Sicko’ (2007) yang mempertontonkan buruknya layanan kesehatan di AS karena lobi politik yang menghasilkan kebijakan yang lebih banyak menguntungkan pebisnis dan jaringannya.

“The less care they give them, the more money they make.” Begitu yang diiyakan Presiden Richard Nixon pada 1971. Bonus bagi dokter dihitung dari berapa banyak klaim yang ditolak atas berbagai alasan.

Alhasil, lobi-lobi big pharm dan kelompok lobi lain terhadap eksekutif dan Kongres membuat sistem kesehatan yang gratis dan bagus tidak terjadi di sana. Bahkan para relawan 9/11 yang sakit pernafasan akut pun tidak ditangani di AS tapi justru di Kuba. Padahal mereka pegang asuransi. Apa yang bisa ditiru dari contoh busuk kapitalisme kesehatan macam begitu?

Motif bisnis dalam kebijakan pemerintahan Jokowi makin keterlaluan. Jika (sampai) sektor kesehatan dibisniskan pula, mengapa kita diam? Itu menyangkut nyawa kita semua.

Cara pikir bankir, unitlink, dan trading harus ditentang dalam segala rupa kebijakan kesehatan nasional. Masyarakat ingin layanan kesehatan gratis dan bagus dari suatu lembaga negara yang cakap, kredibel, dan berintegritas untuk mengurus kesehatan warganya. Swasta silakan cari lapak lain!

Tak boleh ada muka jutek dan layanan tak ramah dari penyedia jasa. Tak ada urusan negosiasi klaim. Tak ada pembedaan kaya miskin dalam urusan nyawa. Layani dengan perlakuan sama. Defisit BPJS adalah ulah Anda yang berkuasa, bukan masyarakat.

Jika pejabat taat Konstitusi, kepalanya harus terarah ke pembangunan sistem kesehatan nasional yang menjadikan semua mimpi dan harapan itu nyata. Bukan kasak-kusuk dengan segelintir pelobi untuk menyelamatkan kue bisnis asuransi swasta.

Salam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *