Pilpres 2024: Jangan Salah Pilih (Lagi)!

Pilpres 2024
Pilpres 2024
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus IDe, (Alumnus Universitas Mataram/UNRAM)

Hajinews.id – GELARAN pilpres 2024 masih jauh. Namun, genderang perang elektoral memperebutkan posisi puncak di Republik ini telah ditabuh. Sejumlah aspiran capres dari parpol maupun non parpol mulai ambil ancang-ancang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebagian aspiran capres secara terang-terangan telah mencuri start kampanye, tanpa rasa malu memanfaatkan jabatan menteri atau ketua DPR yang diembannya. Ada pula yang masih malu-malu, berusaha menjaga kode etik jabatan publik yang melekat padanya.

Dalam hal ini, para industrialis survei tidak menyia-menyiakan momen guna meraih keuntungan finansial. Mereka rutin melakukan survei dengan merekam elektabilitas berbasis persepsi, tanpa memperdulikan kualitas para aspiran capres yang mestinya jadi pertimbangan utama dalam keputusan memilih (voting decision).

Sementara itu, kapal besar Indonesia yang nyaris karam membutuhkan nakhoda baru dengan kualitas mumpuni. Pemimpin kapal yang tidak saja mampu mencegah tenggelamnya kapal besar Indonesia, tetapi juga cakap menakhodainya berlayar kembali dengan kecepatan tinggi mengarungi samudra yang luas dan ganas.

Harapannya, Pilpres 2024 akan melahirkan sosok pemimpin tersebut. Sebagai bagian dari ikhtiar untuk merealisasikan harapan ini, saya menawarkan kembali seperangkat parameter obyektif dan rasional yang dapat membantu dalam memilah dan memilih pemimpin berkualitas yang dibutuhkan Indonesia.

Empat Tipe Pemimpin Politik

Membaca realitas politik kekinian kita, setidaknya, terdapat empat tipe pemimpin politik.

Pertama, pemimpin berkualitas dengan kombinasi “visi alternatif” dan kemampuan menerjemahkannya dalam pilihan kebijakan serta keberanian politik untuk membongkar sistem dan melawan anasir jahat – predator ekonomi politik – dalam sistem. Tipe pemimpin ini yang saya sebut pemimpin otentik, paling ideal untuk memimpin Indonesia. Namun, keberadaannya seperti jarum di tumpukan Jerami.

Kedua, pemimpin dengan visi besar, namun sebatas retorika dan mimpi tanpa kemampuan menerjemahkannya dalam pilihan dan implementasi kebijakan. Ketiga, pemimpin yang cakap pada tataran operasional dan program tapi minus visi sehingga memimpin tanpa arah.

Keempat, pemimpin yang (terkesan) sederhana dan merakyat tetapi nir-visi, inkompeten, culas dan berwatak predatoris. Meminjam istilah Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku Why Nations Fail (2012), tipe pemimpin ini dijuluki ignorant leader, atau pemimpin plastik versi Yudi Latif.

Tentunya, pemimpin plastik tidak memiliki kemauan dan keberanian politik untuk menunaikan janji janji politiknya. Dalam “kamus politik” pemimpin ini, tidak ada istilah hijrah dari pendekatan pembangunan “neoliberal yang ekstraktif menuju paradigma “pembangunan manusia yang bertumpu pada kepentingan dan kekuatan rakyat.

Bagi pemimpin plastik, tidak penting apakah pendekatan pembangunan yang dijalankan memihak dan mensejahterakan, atau sebaliknya menyengsarakan rakyat jelata. Yang penting, kekuasaannya terjaga dan makin luas. Pundi pundi keuangannya juga tetap penuh dan pialang politik di belakang sang pemimpin plastik meraup untung berlipat ganda.

Terpilih melalui sistem yang cacat dan dengan cara culas, pemimpin plastik hanya berpikir tentang upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan melalui monopoli penguasaan ekonomi-politik.

Ia juga berkepentingan memelihara dan memperluas jangkauan “pendukung fanatik buta” guna melangggengkan kekuasaannya. Sebaliknya, warga cerdas politik menjadi ancaman utama bagi pemimpin plastik. Maka, dengan segala cara, pemimpin plastik menyumbat saluran terbangunnya kecerdasan politik warga.

Dus, di tangan pemimpin plastik, kehidupan politik kenegaraan dan kebangsaan mengalami pembusukan. Pembangunan di pelbagai bidang bukan saja mandeg dan terbengkalai, tetapi negara digiring menuju negara gagal.

Mengapa Salah Pilih?

Kecelakaan politik yang berujung pada salah pilih pemimpin disebabkan berbagai faktor, mulai dari politik elektoral padat modal, tradisi politik dagang sapi dan politik uang, disfungsionalitas partai politik hingga rendahnya tingkat kesadaran dan kecerdasan politik warga.

Selain itu, anasir yang mestinya menjadi agen perubahan dan pencerahan politik seperti media massa, kelompok masyarakat sipil, kalangan akademisi, pengamat, lembaga think tank, dan kelompok menengah lainnya ikut bertangung jawab atas kecelakaan politik elektoral.

Tidak sedikit dari kelompok kelas menengah terkooptasi politik kekuasaan dan uang. Banyak juga di antara mereka tersandera politik identitas dan tertipu politik pencitraan. Pasalnya, mereka hanya berbekal kemampuan teknis dan teknokratis tanpa literasi politik memadai.

Seturut dengan itu, seperangkat parameter obyektif dan rasional untuk memilah dan memilih pemimpin berkualitas juga absen.

Pada umumnya, yang menjadi rujukan dalam keputusan memilih adalah potensi keterpilihan (elektabilitas), keterkenalan (popularitas) dan tingkat penerimaan (akseptabilitas).

Dalam banyak kasus, tiga variabel tersebut dapat dibangun dan direkayasa melalui “proyek politik pencitraan” secara instan. Media dan industri survei mengambil peran penting dalam proses rekayasa ini. Akibatnya, yang terpilih capres berkantong tebal atau yang didukung para taipan, selebriti, petahana, atau keluarga petahana.

Aspek kompetensi, visi, kredibilitas dan komitmen politik yang terkait kualitas calon pemimpim luput dari perhatian. Aspiran capres dengan atribut kualitatif dan (mendakti) ideal tidak mendapat peluang untuk manggung di atas pentas politik elektoral.

Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi potensi kecelakaan politik elektoral, pada Pilpres 2024 mendatang?

Mengadopsi intrumen analisis ekonomi-politik, selain tiga variabel popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas, dua variabel kunci, yaitu “kebutuhan politik dan kredibilitas politik”, dapat dijadikan acuan dalam menjatuhkan pilihan saat pilpres.

Variabel kebutuhan politik (political desirability) membantu kita dalam memetakan problem atau tantangan utama pembangunan untuk dipersandingkan dengan kualitas aspiran capres. Selanjutnya, para aspiran capres dapat diperbandingkan secara relatif berdasarkan pemetaan ini.

Jika ditelusuri secara cermat, tantangan utama bangsa ini bukan pada aspek teknis-teknokratis pembangunan tetapi lebih pada pilihan sistem dan kebijakan yang tidak berkeadilan. Sistem politik yang tidak sehat bersekongkol dengan pony capitalism (kapitalisme palsu), meminjam istilah Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel bidang ekonomi asal AS, dalam bukunya “The Great Divide (2015). Hasil persilangannya menjadi lahan subur oligarki – penguasaan kekayaan negara di tangan segelintir orang – pola kongkalikong antara penguasa dan pemodal.

Monopoli penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik berakibat pada stagnasi bahkan meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan multidimensi – sosial, ekonomi dan politik. Ketiga dimensi kemiskinan ini saling mempengaruhi secara negatif, ibarat lingkaran setan.

Sehingga yang terjadi bukan berkurangnya jumlah dan penderitaan rakyat miskin tetapi proses pemiskinan dan peminggiran rakyat kecil. Pada gilirannya, keterpinggiran dan kemiskinan rakyat yang makin akut memberikan ruang terhadap menguatnya oligarki dan korupsi. Begitu seterusnya.

Untuk mengurai politik benang kusut tersebut, dibutuhkan pemimpin otentik yang tidak saja cakap pada tataran operasional, tetapi juga memiliki visi besar dan tekad politik kuat untuk membongkar sistem oligarkis yang tidak berkeadilan. Pada dirinya, melekat tanggung jawab moral untuk melakukan perlawanan terhadap para oligark, koruptor, dan pemburu rente kekuasaan.

Selanjutnya, dengan visi alternatif dan ilmu pengetahuan, pemimpin otentik mempunyai keberanian politik untuk meninggalkan sistem neoliberal yang ekstraktif menuju demokrasi sosial dan pendekatan pembangunan manusia yang menempatkan rakyat sebagai agen pembangunan. Di bawah komando pemimpin otentik, negara hadir untuk rakyat banyak bukan semata demi kepentingan kelompok tertentu.

Namun, pertimbangan kebutuhan politik tidak cukup, bahkan tidak bermakna, untuk melahirkan pemimpin otentik, kecuali dibarengi pelacakan kredibilitas politik (political credibility). Variabel ini memandu kita untuk menelisik “catatan politik” aspiran pemimpin dan kelompok di sekitarnya, termasuk parpol pengusung.

Pemimpin yang sarat catatan negatif, dikelilingi para pemburu rente (pialang politik) dan didukung parpol sarang koruptor, tidak mungkin memiliki keberanian melawan arus. Besar kemungkinan terseret arus, bahkan menjelma menjadi pelaku utama dalam praktik kebijakan yang korup dan menyengsarakan rakyat kecil.

Oleh sebab itu, dalam kontestasi elektoral mendatang – pilpres 2024, harus dipastikan yang terpilih adalah presiden yang paling mendekati titik keseimbangan idealisme dan realisme politik “ pemimpin otentik. Bukan pemimpin plastik atau aspiran capres yang DNA politiknya dekat dengan pemimpin plastic.

Pertimbangan idealisme politik, yaitu kebutuhan politik dan kredibilitas politik, didahulukan. Kemudian dipadupadankan dengan tiga variabel realisme politik, yaitu popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas.

Jakarta, 18 Desember 2021

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *