Islam, Budaya dan Wayang

Islam, Budaya dan Wayang
Islam, Budaya dan Wayang
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Zulkifli Yunus, Alumnus UIN Alauddin Makassar/Mahasiswa S2 Ilmu Hadis Necmettin Erbakan University dan Kadep Agama PPI Turki 2022

Hajinews.id – Baru-baru ini sebuah video ceramah dari salah satu ustadz kondang di Indonesia viral di jagat maya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam video tersebut, beliau menjelaskan bahwa wayang adalah tradisi dan peninggalan nenek moyang dahulu yang dilarang dalam Islam sehingga lebih baik dimusnahkan atau dihilangkan.

Bahkan menurut beliau harusnya Islam dijadikan budaya dan tradisi bukan malah budaya yang di-Islamkan.

Dari statement beliau ini sontak menuai beragam reaksi dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, budayawan, tokoh agama sampai kepada masyarakat biasa.

Namun yang paling mencolok adalah kembali meruncingnya pertanyaan oleh banyak orang terkait relasi Islam dan budaya dalam kehidupan masyarakat.

Bahkan pekan lalu pelajar-pelajar yang ada di Turki sendiri telah mengangkat isu ini sebagai topik untuk dikaji dan didiskusikan bersama.

Apakah Islam yang ikut pada budaya atau sebaliknya budaya ikut Islam?

Apakah Islam hadir sebagai algojo untuk memenggal setiap tradisi lokal yang secara tersurat tidak disebutkan dalam lembaran-lembaran al-Quran dan hadis.

Atau Islam sebagai agama syarat nilai memberikan ruang terhadap setiap/sebagian adat budaya yang sejak lama telah menancap kuat dalam masyarakat?

Interaksi Islam dan Budaya

Merujuk pada akar sejarah awal mula penyebaran Islam di tanah Arab menggambarkan bahwa risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw tidak datang di tengah-tengah masyarakat yang kosong dan hampa.

Pada saat itu, bangsa Arab telah memiliki adat, kebiasaan, tradisi dan budaya sendiri yang telah menguat sejak lama dan telah dipraktekkan secara turun temurun.

Dengan demikian, kurang lebih 23 tahun terjadi interaksi antara Islam dengan budaya Arab yang dapat dilihat dalam tiga bentuk.

Pertama adalah tahmil (menerima). Kehadiran Islam adalah untuk menerima, melanjutkan atau mengakomodir apa yang telah diamalkan masyarakat pada saat itu.

Misalnya, puasa hari Asyura yang awalnya adalah kebiasaan orang Yahudi sebagai bentuk kesyukuran mereka terhadap kemenangan Nabi Musa as atas Fir’aun.

Setelah Nabi saw tiba di Madinah dan melihat kebiasaan tersebut, akhirnya beliau pun ikut berpuasa dan menjadi syariat dalam Islam.

Selain itu, Nabi saw juga senang mengikuti gaya rambut yang trendi di kalangan Ahlul Kitab pada zamannya.

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abba ra disebutkan bahwa “awalnya Rasulullah saw menyisir rambutnya ke belakang. Orang-orang musyrik pada waktu itu menyisir rambutnya ke kiri dan ke kanan.

Sementara Ahlul Kitab menyisir ke belakang. Rasulullah lebih suka menyamai Ahlul Kitab selama tidak ada larangan Allah dalam hal tersebut.

Setelah itu, Rasulullah menyisir rambutnya ke kiri dan ke kanan” (HR: Bukhari).

Kedua adalah taghyir (merekonstruksi). Islam turun untuk merenovasi tradisi-tradisi jahiliah yang tidak sejalan dengan semangat ketauhidan.

Dalam implementasinya, Islam tetap menerima dan melanjutkan sebagian tradisi bangsa Arab setelah dipoles dan direkonstruksi sehingga menjadi amalan yang sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam secara sempurna.

Misanya thawaf dalam ibadah haji.

Dahulu Arab jahiliah melaksanakan ritual haji dengan cara yang beragam.

Diantaranya adalah melakukan thawaf dengan cara telanjang dan mempersembahkannya kepada Latta dan Uzza.

Setelah Nabi saw datang, beliau tetap mensyariatkan haji dan thawaf namun tujuannya hanya kepada Allah swt serta menghapus tata cara thawah yang menyimpang.

Contoh lain adalah mahar di zaman jahiliah yang merupakan hak milik orang tua. Islam kemudian datang untuk menetapkan bahwa mahar adalah hak istri secara penuh.

Ketiga adalah tahrim (menghapus) dimana Islam menolak secara tegas tradisi dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Arab sebab bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Pelarangan tersebut ada yang bersifat langsung dan ada juga yang bertahap.

Misalnya meminum khamar, berjudi, transaksi riba, praktik perdukunan dan perbudakan.

Tiga model interaksi ajaran Islam di awal pertumbuhannya dalam merespon sosio-kultural masyarakat Arab menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin dan uswatun hasanah.

Tidak anti terhadap budaya serta mengharamkan seluruh praktik-praktik masyarakat Arab.

Justru Islam terkadang bersikap apresiatif dan memberikan pembenaran terhadap kebiasaan-kebiasaan yang berlaku kala itu.

Meskipun dalam banyak hal Islam juga tidak mentolerir tradisi-tradisi yang secara jelas merupakan antitesis terhadap nilai dan prinsip yang dikandungnya.

Relasi Islam dan Wayang

Metode seperti inilah yang mendasari dakwah inklusif yang banyak diaplikasikan oleh dai-dai pada awal penyebaran Islam di bumi Nusantara terutama para Walisongo.

Mereka tidak serta merta membidahkan setiap amalan-amalan dalam masyarakat.

Malah gerakan-gerakan dakwah yang mereka bawa dikemas dengan tampilan unik berbasis budaya dan tradisi lokal yang akrab dengan masyarakat.

Dalam konteks ini, yang paling menonjol adalah pengembangan cerita rakyat melalui media wayang (lakon) oleh Sunan Kalijaga.

Beliau membungkus lakon-lakon tersebut dengan syiar-syiar Islam seperti kisah Jimat Kalimusada dalam cerita Baratayudha yang kemudian diubah dan dikisahkan kembali sebagai dua kalimat syahadat.

Pasca pengenalan Sunan Kalijaga tentang penggunaan wayang sebagai sarana dakwah dan secara masif diikuti oleh generasi ke generasi.

Akhirnya wayang tidak hanya dimaknai sebagai kesenian tradisional belaka, namun lebih dari itu wayang dapat menjadi jembatan penghubung antara hamba dengan Tuhannya.

Faktanya, terjadinya akulturasi dan asimilasi antara nilai-nilai Islam dengan berbagai budaya lokal Nusantara yang dilakukan Walisongo dan pengikutnya.

Sebagai manifestasi-reflektif terhadap gerakan dakwah Nabi saw berhasil membentuk karakter Islam yang moderat, toleran dan ramah sebagaimana yang diharapkan oleh al-Quran dan Sunnah.

Pada gilirannya alasan inilah yang membuat masyarakat Indonesia luluh, cinta dan berbondong-bondong menerima Islam tanpa paksaan. Wallahu A’lam.(*)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *