Al-Qur’an, Teks, Konteks, Dan Kontekstualisasi

Al-Qur’an
Al-Qur’an
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

Hajinews.idAl-Qur’an adalah teks yang aslinya tidak tertulis dan karena pertimbangan tertentu kemudian ditulis. Di antara cara pewahyuannya bahkan langsung ke dalam hati Nabi Muhammad dan kemudian ditransmisikan secara lisan oleh beliau kepada para sahabatnya. Para sahabat kemudian mencatatnya pada berbagai media; batu, pelepah kurma, dan lain-lain, secara acak. Baru pada era kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq, atas usul Umar bin al-Khaththab, disebabkan oleh banyak penghafal al-Qur’an gugur dalam perang Yamamah, al-Qur’an ditulis dalam satu mushhaf utuh. Prosesnya pun dilakukan secara super ketat, di bawah sebuah tim yang memiliki kredibilitas tinggi, sehingga bisa dikatakan jauh melampaui metodologi ilmiah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Teks al-Qur’an hadir dalam ruang dan waktu tertentu. Karena itu, banyak teks al-Qur’an tidak bisa langsung dipahami secara apa adanya. Ia baru bisa dipahami dengan benar apabila konteksnya ditangkap. Jika tidak, pemahaman yang ditarik justru bisa pemahaman yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan maksud al-Qur’an sendiri. Bahkan, kejanggalan kepada teks yang tidak diketahui konteksnya sudah dirasakan oleh para sahabat Nabi sendiri. Sebagai contoh, ada sahabat yang merasa bingung karena membaca QS. al-Baqarah: 158.
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 158)

Ayat ini dipahami secara keliru oleh Urwah dan karenanya kemudian dikoreksi oleh Umm al-Mu’minin Aisyah. Urwah mengatakan bahwa berdasarkan ayat ini, tidak mengapa jika orang yang mengerjakan haji atau umrah tidak melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah. Mendengar pendapat Urwah ini, Aisyah langsung mengoreksi: “Wahai keponakanku, pendapatmu itu keliru. Jika maknanya adalah sebagaimana yang kamu katakan, maka mestinya ayat tersebut berbunyi falaa junaaha ‘alayhi an laa yaththawwafa bihimâ (tidak mengapa untuk tidak mengerjakan sa’i di antara keduanya)”. Konteks ayat ini turun adalah pada saat itu orang-orang Anshar yang telah masuk Islam sedang melakukan manasik. Mereka adalah orang-orang yang sebelum masuk Islam pernah melakukan manasik yang sama dengan menyembelih kurban di Shafa dan Marwah untuk berhala Manat. Karena itu, setelah mereka masuk Islam, mereka khawatir kalau mereka melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah, mereka akan mendapat hukum sebagai musyrik juga sebagaimana sebelumnya. Karena anggapan mereka itulah, maka turun ayat tersebut. Dalam konteks ini, al-Qur’an telah memberikan pesan tentang desakralisasi. Jika mereka melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah bukan karena mengeramatkan berhala Manat, tetapi murni mengerjakan ibadah karena Allah, maka tidak ada masalah sama sekali.

Jika dikontekstualisasikan pada saat ini, ayat ini akan melempangkan jalan bagi pengembangan seni gambar dan juga pahat patung. Sebab, selama ini, sebagian besar ulama masih mengharamkan patung, bahkan sekedar gambar, karena berpandangan bahwa menggambar apalagi membuat patung adalah dosa. Padahal, Nabi melarang melakukannya pada saat itu karena konteks masyarakat yang masih belum lama terlepas dari kebiasaan menyembah patung yang diberhalakan. Dalam disiplin qa’idah fiqhiyah, keadaan yang mengkhawatirkan itu disebut sebagai ‘illat. Jika ‘illatnya itu sudah tidak ada, maka hukumnya juga sudah tidak ada. Karena itu membuat patung dan menggambar menjadi tidak haram lagi. Namun, jika suatu ketika ‘illat itu muncul lagi, maka hukumnya akan kembali lagi. Inilah yang membuat Islam dengan kedua sumber utamanya, yakni: al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad menjadi ajaran yang sempurna. Kesempurnaannya membuatnya relevan untuk segala ruang dan waktu sampai hari kiamat.

Perspektif ini bisa diperkuat dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman yang juga disebutkan dengan sangat jelas oleh al-Qur’an. Al-Qur’an menceritakan kisah Nabi Sulaiman membangun infrastruktur yang menanjubkan, berupa gedung-gedung yang tinggi, yang dilengkapi dengan piring-piring super besar, periuk, dan juga patung-patung.
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya, berupa gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (Saba’: 13)

Sangat banyak ayat di dalam al-Qur’an yang membutuhkan kemampuan untuk tidak hanya menangkap konteksnya, tetapi dalam kehidupan sekarang yang sudah sangat berbeda, memerlukan kontekstualisasi. Ketidakmampuan untuk melakukan kontekstualisasi akan membuat Islam akan menjadi monumen yang tidak dinamis seperti patung yang hanya diam, karena tidak mampu memberikan respon kepada dinamika perkembangan zaman. Sekedar contoh, Namrud dan Fir’aun harus ditangkap sebagai simbol para penguasa yang karena memiliki kekuasaan yang absolut, maka kemudian melakukan tindakan yang semena-mena. Dan terhadap mereka, harus ada Ibrahim dan Musa yang berani melakukan perlawanan dengan segala risikonya. Jika tidak ada perlawanan, maka kedhaliman penguasa akan terus berjalan. Jika ada yang berani melakukan perlawanan, walaupun perlawanan itu nampak tidak memiliki kekuatan yang signifikan, maka Allah akan “turun tangan” memberikan pertolongan dan kemenangan.

Dengan melakukan kontekstualisasi ini, fenomena para elite agama justru menghalangi orang-orang awam yang mengikutinya dari jalan Allah akan menjadi sesuatu yang tidak mengherankan. Sebab, jika mereka mengetahui jalan Allah yang sebenarnya, para elite agama itu khawatir kehilangan pengaruh di kalangan awam. Dan itu bisa saja terjadi pada elite-elite agama Islam saat ini karena mereka berebut pengaruh antara satu dengan yang lain, sehingga mereka tidak berani menyampaikan kebenaran. Sebab, banyak kasus, apabila mereka menyampaikan kebenaran itu akan menyebabkan sebagian pengikut tidak suka dan berpindah kepada elite agama yang lain yang mereka anggap lebih sesuai dengan selera. Pemahaman ini bisa didapatkan dengan memahami ayat-ayat tentang para ahli kitab yang sesungguhnya mengetahui informasi bahwa akan datang rasul terakhir bernama Muhammad, tetapi menutupinya (kafir). Sebab, mereka khawatir kehilangan posisi strategis dalam masyarakat yang sebelumnya mereka miliki dan dengan itu mendapatkan banyak keuntungan material.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (materi duniawi), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (QS. al-Baqarah: 174).

Kecenderungan mereka itu disebutkan di dalam ayat yang lain yang makin memperjelas kecenderungan mereka mengumpulkan pundi-pundi harta kekayaan yang bahkan didapatkan dari umat yang lemah. Mereka bisa hidup mewah, walaupun umat mereka hidup dalam kesulitan. Mereka menganjurkan kebaikan, tetapi mereka sendiri melupakannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. al-Taubah: 34)

Dengan metode menafsirkan secara simbolik ini, ada banyak hal yang bisa dikontekstualisasikan, baik yang ada di dalam al-Qur’an maupun dinamika dakwah Nabi. Abu Lahab dan Abu Jahal misalnya, bukan hanya tokoh yang menghalangi dakwah Nabi pada saat itu. Akan tetapi, sebagaimana Abu Lahab disebut secara tegas di dalam al-Qur’an, itu sesungguhnya adalah pelajaran bahwa setiap orang yang menjalankan perjuangan dakwah Islam sebagaimana Nabi Muhammad lakukan, akan ditentang oleh orang-orang sebagaimana Abu Lahab dan Abu Jahal. Bukan karena mereka bodoh, melainkan karena mereka memiliki fanatisme yang menyebabkan mereka membabibuta. Dan di antara penyebab utamanya sama dengan ahlu al-kitab di atas, yaitu takut kehilangan pengaruh dalam masyarakat yang membuat mereka mendapatkan kenyamaman kehidupan duniawi. Sesuatu yang oleh al-Qur’an disebut sebagai harga yang murah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *