JAKARTA, Hajinews.id — Ekonom sekaligus Direktur Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan sebaiknya pemerintah menunda kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 11 persen. Hal itu, terkait dengan harga barang dan komoditas energi yang melonjak menjelang Ramadan.
“Kalau dipaksakan maka daya beli masyarakat kelas menengah akan kontinu turun. Dalam indeks keyakinan konsumen per Februari saja sudah mengindikasikan level yang lebih rendah dengan kesempatan kerja yang belum kembali ke level optimis,” ujar Bhima saat dihubungi MNC Portal di Jakarta, Sabtu(26/3/2022).
Menurut dia, pendapatan masyarakat belum bisa mengimbangi kenaikan harga barang secara umum. Di sisi yang lain, mobilitas yang dilonggarkan pasca karantina dan kewajiban tes antigen-PCR dicabut membuat sisi permintaan juga mendorong inflasi.
“Sebenarnya kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen ketika konsumsi rumah tangga sudah mulai solid tidak masalah ya, kalau sekarang tentu momentum nya tidak tepat. Kolombia pernah lakukan kenaikan tarif PPN pada saat pandemi dan berakhir dengan gejolak sosial sehingga terpaksa dibatalkan. Semoga Indonesia tidak sedang meniru Kolombia,” ungkap Bhima.
Terkait penerimaan negara masih aman karena ada tambahan windfall dari naiknya harga komoditas global. Jadi, menurut Bhima, penambahan tarif PPN memang tidak urgent.
“Bahkan dengan hitung-hitungan harga minyak di atas 100-127 dolar AS per barel terdapat tambahan penerimaan pajak dan PNBP sebesar Rp192 triliun dari selisih harga ICP di asumsi makro APBN 2022 yakni 63 dolar AS per barel,” tutur Bhima.(dbs)