Hapus Angan-Angan Tiga Periode

Tiga Periode
Jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id )

Hajinews.id – Mengapa di Amerika Serikat tak pernah ada presiden yang menjabat lebih dari dua periode, kecuali Franklin D Roosevelt (menjabat: 1933-1945)? Sebelumnya, memang Theodore Roosevelt (menjabat: 1901-1909) pernah mencoba untuk mendapatkan periode ketiga. Namun gagal. Sepertinya dia menggunakan jabatannya pada periode pertama yang hanya meneruskan presiden yang dia dampingi, karena dia menjadi wapres, sebagai celah alasan untuk maju. Dengan kata lain, dia tidak terhitung menjadi presiden secara penuh pada periode pertama. Karena kasus Roosevelt yunior itu, dilakukan amandemen ke-22 pada tahun 1951 dan ditegaskan dalam konstitusi bahwa masa jabatan presiden hanya dua periode politik saja. Dan setelah itu, hingga saat ini, tak pernah ada politisi yang coba-coba untuk mengusulkan agar ada yang menambah periode jabatannya. Sebelum masuk ke dalam konstitusi, dua periode jabatan presiden hanyalah sekedar konvensi tak tertulis saja.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Konvensi masa jabatan hanya dua periode ini adalah “warisan” dari presiden pertama AS, George Washington (menjabat: 1789-1797). Setelah periode pertama jabatannya berakhir, dia mulai mengemasi barang-barangnya untuk meninggalkan istana. Namun, dia kemudian dicegah oleh para pendukungnya. Sebab, Amerika masih sangat membutuhkannya. Walaupun awalnya menolak, tetapi akhirnya dia bersedia menjadi presiden Amerika pada periode kedua. Dan ketika waktu pada periode keduanya berakhir, dia melakukan hal yang sama ketika periode pertamanya berakhir. Walaupun sudah dibujuk rayu dengan segala cara, tapi dia menyatakan dengan tegas bahwa dia tidak mau menjabat lagi dalam periode berikutnya dan memilih untuk pulang kembali ke Mount Vernon, karena dia tidak mau menjadi orang kuat secara terus menerus. Dia menyatakan bahwa di Amerika banyak orang yang lebih hebat dibandingkan dirinya. Dan jika setelah dua periode tidak ada orang yang lebih hebat dibandingkan dirinya, itu juga merupakan tanda kegagalan kepemimpinannya. Inilah yang menjadi preseden baik bagi Amerika, sehingga kemudian, suka atau tidak suka, menjadi negara adidaya.

Tak Sadar Diri

Sangat berbeda dengan di Indonesia. Di level nasional, nampaknya baru BJ. Habibie saja yang sadar diri secara sejati. Ketika LPJ-nya ditolak, maka dia dengan kesatria tidak maju lagi sebagai presiden, walaupun kepemimpinannya tidak genap satu periode politik dan sebenarnya banyak juga yang mendorongnya maju kembali. SBY sebenarnya sudah memberikan contoh yang baik dalam hal ini, tetapi kemudian melakukan langkah politik kurang elok dengan memaksakan diri menguasai Partai Demokrat. Di level daerah, banyak kepala daerah yang sudah menjabat kepala daerah, kemudian menjadi wakil, atau memajukan keluarganya yang bahkan sesungguhnya tidak memiliki ketrampilan yang cukup dalam politik. Tujuannya hanya ingin tetap melakukan hegemoni kekuasaan di daerahnya.

Karena itu, sadar diri bagi politisi adalah sesuatu yang sangat penting. Sebab, negara Indonesia ini adalah negara yang sangat besar yang memerlukan kualitas kepemimpinan yang lengkap. Jika pun kualitas itu tidak ada dalam satu diri, maka pemimpin yang lainlah yang akan melengkapi. Sadar diri akan membukakan pintu bagi calon pemimpin lain dengan kualitas kepemimpinan yang diperlukan oleh zaman yang terus mengalami perubahan. Dan yang lebih penting lagi, itu adalah uji keberhasilan kepemimpinan yang sudah dijalani selama dua periode sebelumnya. Juga uji keberanian untuk membuktikan bahwa kepemimpinan selama dua periode sebelumnya adalah kepemimpinan yang bersih, sehingga tidak perlu khawatir ada borok yang dibongkar pada saat tidak lagi memegang kekuasaan.

Jika seorang pemimpin dalam dua periode kepemimpinannya ternyata juga tidak mampu mewujudkan apa yang telah dijanjikannya, maka sungguh tidak pantas untuk menambah periode politik. Memang seorang presiden memiliki banyak sumber daya untuk melakukan berbagai cara agar seolah yang menginginkan tambahan periode itu adalah orang atau pihak lain. Namun, presiden sebagai pemimpin negara juga memiliki wibawa yang sangat besar untuk menutup segala celah bagi siapa pun yang bermaksud mengakali ketentuan yang sangat jelas dalam konstitusi. Seorang presiden yang tidak melakukan apa pun kepada upaya untuk mengakali konstitusi bisa dipahami sebagai orang yang memang menginginkannya. Dan jika pihak itu adalah orang-orang yang berada dalam “kendalinya” justru bisa diartikan bahwa itu memang adalah suruhannya. Apalagi jika usulan itu disampaikan oleh orang-orang yang berpotensi bermasalah secara hukum, sangat mudah diterka bahwa itu dilakukan di bawah paksaan.

Belajar Taat Konstitusi

Walaupun rakyat Indonesia termasuk dalam kategori yang mudah lupa atau memiliki daya ingat yang sangat pendek, tetapi juga mudah tersulut emosinya. Jika tidak kebetulan, kepercayaan rakyat bisa tiba-tiba langsung menipis, lalu berubah menjadi kritis, dan kemudian melakukan gerakan perlawanan. Apalagi sebelumnya sudah muncul kecurigaan bahwa penguasa telah melakukan berbagai pelanggaran dalam berbagai kasus. Namun, kekuasaan memungkinkan untuk melakukan berbagai cara untuk menutupinya, sehingga masih aman. Namun, jika penundaan Pemilu ini dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan kesadaran masyarakat akan terpicu. Mereka akan benar-benar menyadari bahwa dugaan mengakali aturan benar-benar telah terjadi. Dan jika itu terjadi, tentu saja kepercayaan bisa benar-benar hilang.
Karena itu, para pejabat negara perlu belajar lagi untuk taat kepada konstitusi. Sebab, konstitusi itulah yang akan menjadi koridor yang memandu dinamika dalam kekuasaan tetap aman. Namun, jika konstitusi dilanggar, maka potensi terjadi kekisruhan akan membesar dan bisa menyebabkan ledakan besar.

Perlu Kontrol

Dalam situasi dan kondisi begini, diperlukan kontrol dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan untuk mengawal konstitusi. Jika para intelektual di kampus tidak lagi bisa menjadi harapan, para intelektual agamawan yang menjadi aktivis di organisasi keagamaan mestinya mau melakukannya. Sebab, jika kaum intelektual di perguruan tinggi sekuler takut kepada pemilik kekuasaan duniawi, itu masih agak bisa dimaklumi. Namun jika kaum agamawan yang selalu menyebut bahwa hanya Tuhanlah yang layak ditakuti kemudian juga tak punya nyali, atau ingin mendapatkan bagian dalam politik dagang sapi, maka teori politik demokrasi bahwa perkumpulan-perkumpulan dengan jumlah anggota yang signifikan dan terdidik bisa memerankan diri sebagai kekuatan kontrol menjadi gugur. Dan khutbah bahwa hanya Allahlah yang layak ditakuti dan tempat berharap, hanyalah retorika tanpa isi.

Kontrol harus diberikan terhadap siapa pun pihak penguasa yang berkecenderungan untuk melanggengkan kekuasaan. Sebab, keinginan melanggengkan kekuasaan, sesungguhnya adalah juga keinginan untuk mempraktekkan otoritarianisme. Dan sangat disayangkan jika Indonesia yang sudah mempraktekkan prosedur demokrasi, dalam substansi justru mengalami yang sebaliknya. Apalagi jika untuk berkuasa itu dilakukan dengan cara yang terang-terangan melanggar konstitusi, dengan menunda Pemilu di antaranya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *