Muhammadiyah Kritik Munculnya Aliran Kepercayan dalam RUU Sisdiknas

Sektretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Profesor Abdul Mukti. Foto: Dok Antara
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



 

 

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jakarta, Hajinews.id– Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti MEd mengungkapkan, di draft RUU ini, pendidikan kepercayaan posisinya sama dengan pendidikan agama. “Setiap pelajar, berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama/kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ujarnya.

Dalam salah satu tulisannya di media, dia menyatakan dengan tegas menolak frasa itu. Sebab, dia berargumen, kepercayaan berbeda dengan agama.

Prof Mu’ti lantas mengingatkan, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dulu menganggap kepercayaan sebagai kebudayaan. “Pembinaan kepercayaan dimaksudkan supaya kepercayaan tidak mengarah kepada pembentukan agama baru. Di sini jelas kepercayaan bukan agama. Maka tidak bisa disamakan!” tegasnya.

Menurutnya, itu hampir sama ketika ada perdebatan soal KTP. Kepercayaan memang dicatat dalam Administrasi Kependudukan tapi tidak dicatat di KTP. Wacananya, kalau ada kolom kepercayaan, maka kolomnya dipisah.

“Jangan agama garis miring kepercayaan! Kalau mau dibuat kolom ya agama sendiri, kepercayaan sendiri. Tapi ternyata sampai sekarang tidak ada perubahan,” ujarnya.

Kepercayaan Jadi Agama

Padahal, kata Prof Mu’ti, di kalangan kawan-kawan penganut kepercayaan juga belum ada kesepakatan antara kelompok penghayat dengan kelompok aliran. Sebab, ada orang yang menganut kepercayaan dan juga menganut agama besar. Dia mencontohkan, di salah satu daerah di Jakarta, ada Muslim yang juga bertapa.

Di sisi lain, sambungnya, ada keinginan kepercayaan itu menjadi agama. Perhatian ini dia nilai penting karena seakan-akan yang mengurusi kepercayaan hanya orang Islam. Padahal kenyataannya tidak, di agama lain juga begitu. Ada pula indigenous religion yang masuk ke agama lain dan masih menjadi perdebatan.

Dia lantas mengusulkan, “Kalau memang diadakan, agama dan kepercayaan dipisah. Atau tidak perlu masuk. Cukup menggunakan Permendikbud tahun 2016 yang memberikan kewenangan dan kesempatan kepada penganut kepercayaan untuk mendapat pendidikan kepercayaan.”

Kata dia, sekarang baru 12 ribu sekian yang mendapat pendidikan kepercayaan di seluruh Indonesia, itupun tersebar di 15 provinsi.

Dampak Sikap Muhammadiyah

Prof Mu’ti menegaskan, “Begitulah sikap Muhammadiyah dan beginilah cara Muhammadiyah mengkritisi suatu UU yang merupakan amanat Mukmatar. Supaya kita melakukan jihad konstitusi dari hulunya. Jangan hanya di hilirnya!”

Dari hulu yang dia maksud yaitu sejak masih berupa naskah akademik juga penyusunan berbagai diskusi di DPR. “Bahkan pada waktunya, kalau kita anggap nggak cocok juga melakukan judicial review,” imbuhnya.

Dalam beberapa hal, dia menilai langkah itu berhasil. Misal pada UU Omnibus Law. Ada lima UU yang dikeluarkan dari Omnibus Law. “Itu salah satunya setelah Muhammadiyah diterima Pak Presiden. Kita memberi masukan juga dari yang ada,” terang pria kelahiran Kudus, 2 September 1968 itu.

Begitu pula ketika UU HIP dibatalkan seluruhnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR. “Itu Karena Muhammadiyah kenceng, kemudian yang lain ikut ngencengi!” jelas dia.

Bukan Suka atau Tidak

Prof Mu’ti menekankan, ini bukan dalam persoalan suka atau tidak suka. Dia menuturkan, “Kalau boleh ada opsi jalan tengah, UU Sisdiknas (Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional) kalau mau direvisi jangan direvisi total. Tapi revisi minor seperti revisi UU perkawinan.”

Jadi, hanya beberapa pasal yang diubah. Pasal lain yang masih relevan tetap dipertahankan. “Yang sudah benar jangan diubah lagi!” imbaunya.

Ternyata, ini bukan kritik Prof Mu’ti yang terkahir. “Saya akan membuka lagi, tapi nggaksekarang bukanya. Tunggu pada waktunya!”

Terkahir yang dia tahu, RUU Sisdiknas belum masuk dalam prolegnas, sehingga tidak akan dibahas pada tahun 2022 ini. “Dalam sejarah perumusan UU tidak ada UU yang tiba-tiba masuk kalau tidak sangat urgen untuk ditetapkan,” jelasnya.

Akhirnya dia menyimpulkan, “Menurut PP Muhammadiyah, RUU Sisdiknas sekarang masih banyak yang relevan sehingga tidak urgen untuk diubah, apalagi menggabungkan tiga UU jadi satu UU.”

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *