Awas, Naikkan Tarif Listrik, Pertalite, dan LPG 3 Kg: Dampaknya Bisa Gede!

(Foto: detik)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id — Pemerintah mengeluarkan sinyal akan adanya kenaikan harga energi untuk konsumsi masyarakat, mulai dari tarif listrik, harga BBM Pertalite, hingga LPG 3 kilogram (kg).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberi sinyal bahwa harga Pertalite (RON 90) dan Solar akan naik, sebagai respons pemerintah atas lonjakan harga minyak dunia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dalam jangka menengah dan panjang kita akan melakukan optimalisasi campuran bahan bakar nabati dalam solar, penyesuaian harga Pertalite, minyak solar dan mempercepat bahan bakar pengganti antara lain KBLBB, BBG, bioethanol, BioCNG, dan lain-lain,” kata Arifin dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (13/4/2022).

Dari sekian banyak langkah yang akan dilakukan, dalam jangka menengah dan panjang ada rencana penyesuaian harga jual eceran LPG untuk mengurangi tekanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menjaga inflasi.

“Dalam jangka menengah dan panjang, melakukan substitusi dengan kompor induksi, jaringan gas kita harapkan bisa 1 juta rumah tangga per tahun, subsidi komoditas menjadi subsidi langsung ke pengguna, substitusi dengan DME untuk jangka panjang demi mengurangi 1 juta metrik ton elpiji di 2027 dan penyesuaian harga jual eceran untuk mengurangi tekanan APBN dan menjaga inflasi serta percepatan program biogas,” bebernya.

Sedangkan dalam jangka pendek, pemerintah akan meningkatkan pengawasan pendistribusian LPG 3 kg tepat sasaran, bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan aparat penegak hukum, uji coba penjualan dengan aplikasi MyPertamina di 34 kabupaten/kota pada 2022 dan penyesuaian formula LPG 3 kg.

“Untuk menjaga ketersediaan LPG dan mengurangi impor,” jelasnya.

Terkait sinyal untuk menaikkan tarif listrik, Arifin mengatakan pada 2022 akan ada penyesuaian tarif. Hal ini untuk penghematan kompensasi sebesar Rp 7-16 triliun.

“Di sektor ketenagalistrikan dalam jangka pendek rencana penerapan tarif adjustment tahun 2022 ini untuk bisa dilakukan penghematan kompensasi sebesar Rp 7 sampai Rp 16 triliun,” tuturnya.

Ekonom memperingatkan agar pemerintah tidak gegabah mengambil kebijakan tersebut lantaran dapat memberikan dampak berbahaya.

“Berbahaya, cuma seberapa berbahayanya tergantung berapa naiknya. Tapi yang jelas kalau naik semuanya pasti berbahaya,” kata Direktur Eksekutif Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Mohammad Faisal kepada detikcom.

Pemerintah belum menegaskan tarif listrik golongan mana yang akan naik. Tapi jika yang banyak digunakan oleh masyarakat dan industri atau usaha kecil maka dapat berdampak besar.

“Itu kan banyak industri kecil itu mengandalkan listrik yang sekitar situ yang 900 watt. Nah, itu saya rasa dampaknya akan besar, apalagi kalau dikombinasikan dengan kenaikan Pertalite dan LPG 3 kg,” jelasnya.

Meskipun dampak buruknya tergantung seberapa besar kenaikannya, Faisal menjelaskan tetap saja, baik listrik, BBM, dan LPG merupakan komponen yang punya pengaruh besar terhadap masyarakat terutama kalangan menengah bawah.

Terlebih ketiganya memiliki cakupan yang luas dan memiliki efek berganda, termasuk ke harga sembako karena dapat membuat ongkos produksi dan distribusi meningkat.

“(Menggerus) daya beli dan juga ongkos produksi untuk para pelaku industri kecil atau usaha kecil dan mikro. Jadi bukan hanya dari sisi konsumsi kalangan bawahnya saja, tapi juga dari sisi pelaku yang kecil dan mikro itu pasti akan lebih susah lagi dia pulihnya,” paparnya.

Oleh karena itu, Faisal menyarankan pemerintah tidak menaikkan tarif listrik, Pertalite, dan LPG 3 kg.

“Jangan dinaikkan, karena alasannya tidak kuat. Satu karena alasannya apa? Misalnya harga (minyak) internasional naik. Sekarang sebetulnya kalau harga minyak internasional itu sudah mulai turun tadinya sempat US$ 130 per barel, sudah di kisaran US$ 100 sekarang,” jelasnya.

Kemudian, pemerintah dinilai masih memiliki anggaran yang cukup untuk memberikan subsidi. Sebab, pemerintah memperoleh windfall dari naiknya harga komoditas sehingga meningkatkan penerimaan perpajakan.

“Jadi surplus sebenarnya dari APBN. Sebenarnya surplus itu bisa dipakai untuk menanggung subsidi, dan subsidi ini adalah subsidi yang paling terakhir menurut saya. Kalau ini dihapus, tidak ada lagi subsidi menurut saya,” terang Faisal.

“Dan (subsidi energi) ini pertahanan terakhir bagi masyarakat kalangan bawah yang sudah betul-betul terseok-seok dengan kenaikan berbagai macam kebutuhan yang sudah terjadi, yang sudah naik sekarang. Apalagi kalau itu terjadi itu dampak ekonominya akan sangat besar menurut saya. Jadi jangan dinaikkan menurut saya, tidak ada alasan yang kuat menurut saya. (Subsidi energi) harus dipertahankan,” tambahnya.(dbs)

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *