Belajar Islam dengan Tertib

Belajar Islam
Belajar Islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

Hajinews.idIslam adalah ajaran yang oleh Allah didesain akan tetap relevan tanpa pandang waktu dan ruang. Walaupun kitab suci sudah final dan pembawa risalahnya sudah meninggal empat belas abad lalu, tetapi ajarannya tetap akan cocok dijadikan sebagai rujukan untuk menghadapi seluruh persoalan kehidupan. Bahkan, bisa dijadikan sebagai inspirasi untuk menghela kemajuan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Namun, kecanggihan Islam itu sering disalahpahami. Ayat-ayat al-Qur’an sering dianggap sebagai mantra-mantra, sehingga tidak dipahami dengan menggunakan metodologi ilmiah. Padahal, salah satu syarat ber-Islam adalah akal. Akal yang digunakan untuk memahami ajaran Islam yang bersumber dari wahyu inilah yang akan membimbing manusia memiliki iman yang benar, bukan iman yang menyesatkan. Iman yang benar akan mengantarkan kepada keselamatan. Sedangkan iman yang salah akan membahayakan kemanusiaan.

Karena itu, diperlukan upaya yang serius untuk bisa memahami Islam. Keseriusan itu diperlukan karena konsep-konsep di dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi, baru akan bisa ditangkap dengan benar dengan cara menginterkoneksikan antara satu ayat dengan ayat yang lain, antara satu ayat dengan hadits, atau sebaliknya antara hadits dengan ayat, dan tidak hanya itu membaca kesesuaian antara al-Qur’an dan/atau hadits dengan fenomena alam semesta yang oleh Allah juga merupakan ayat. Karena itulah, di dalam al-Qur’an, kosmos disebut dengan alam, yang artinya adalah tanda juga. Maka muncul istilah ayat qawliyah untuk menyebut wahyu dan ayat kawniyah untuk menyebut alam semesta. Qawl berarti perkataan atau firman, sedangkan kawn berarti segala yang ada.

Berlatar itu, memahami Islam sesungguhnya tidak bisa hanya membaca teks-teks sumbernya, tetapi juga harus membaca alam semesta dan memahami interkoneksi antara keduanya. Alam semesta ini, walaupun akan mengalami kehancuran dan lenyap saat kiamat terjadi, tetapi sebelumnya ia dianggap sebagai sesuatu yang riil dan menjadi bahan yang merupakan tanda untuk memahami kebenaran adanya Allah. Seorang muslim membutuhkan bukti-bukti di alam semesta untuk bisa mengambil simpulan bahwa sebagian pernyataan al-Qur’an adalah kebenaran. Simpulan itu bisa ditarik dengan melakukan verifikasi bahwa pernyataan di dalam teks suci memang terbukti dalam atau sesuai dengan fenomena dalam alam semesta. Dan ini sekaligus argument bahwa sesungguhnya tidak ada dikotomi ilmu yang sering disebut dengan ilmu-ilmu agama (al-dîn) dengan ilmu-ilmu dunia (al-dunyâ). Sebab, semua berasal dari Allah yang justru bisa memberikan pemahaman yang benar jika keduanya dibaca secara integratif. Jika keduanya dipisahkan, maka akan terjadi kegagalan besar. Usaha memahami ajaran Islam yang dipisahkan dari upaya memahami alam semesta akan melahirkan masyarakat yang hanya beriman, tetapi hidup dalam keprimitifan. Sebaliknya, memahami alam semesta tanpa panduan wahyu bisa menyebabkan kegagalan untuk memahami apa sesungguhnya yang menjadi tujuan. Memahami keduanya secara integratif, akan membuat iman lahir secara rasional, dan konsepsi-konsepsi turunannya dipandu oleh wahyu dan juga rasul yang memang mendapatkan keistimewaan melihat yang oleh selainnya tidak kelihatan (al-ghayb).

Karena itu, memperdalam Islam disebut secara spesifik dengan tafaqquh fi al-dîn (pendalaman pemahaman agama) yang hanya orang-orang tertentu saja yang berpotensi memiliki kemampuan melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan sabar meniti tangga demi tangga, sehingga mengalami peningkatan pemahaman sampai pada derajat yang tinggi. Teks-teks sumber Islam, baik al-Qur’an maupun hadits, terlebih karena menggunakan bahasa Arab yang fushah, juga hadir dalam konteks tertentu yang seringkali spesifik, tidak bisa dipahami secara apa adanya. Karena itulah, yang paling awal harus dikuasai oleh siapa pun yang ingin memiliki pemahaman yang benar tentang Islam, harus memiliki alatnya. Persis sama dengan siapa pun yang ingin mempelajari alam semesta, harus menguasai ilmu alatnya, di antaranya adalah matematika. Tanpa matematika, tidak mungkin alam semesta ini bisa dipahami secara benar. Dan ini pun ditegaskan oleh al-Qur’an, setidaknya di dalam Yunus: 5, al-Isra’: 12, dan al-Rahman: 5. Bagaimana mungkin belajar ilmu kedokteran dengan benar jika tidak diawali dengan belajar tentang anatomi.

Yang saat ini terjadi pada sebagian besar umat Islam adalah belajar Islam tanpa mengawalinya dengan ilmu alat. Mereka hanya duduk menjadi pendengar penceramah yang mengatakan apa saja, bahkan seringkali pemahaman yang jauh dari kebenaran. Namun, karena sudah dikunci sebagai ajaran keimanan, maka seolah tidak diperlukan lagi perdebatan, bahkan walaupun hanya sekedar pertanyaan. Jika umat Islam belajar Islam dengan tertib, sesuai dengan urutannya, maka dengan ketersediaan sarana informasi yang makin canggih, umat Islam akan mampu membandingkan banyak informasi yang berisi tentang pemahaman keagamaan, lalu membandingkannya dan bisa memilih mana di antara informasi yang berbeda-beda itu yang benar. Tanpa memiliki kemampuan itu, mereka akan terjebak ke dalam kebingungan. Jika seorang yang dianggap sebagai ustadz mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang lain, mereka tidak mampu melakukan penilaian, dan akan hanya bertanya dalam kesempatan yang lain, pada orang yang lain, dan jika mendapatkan jawaban yang lain lagi, maka akan semakin dalam dalam kebingungan.

Penyebab kebingungan ini harus diakhir dengan cara belajar ilmu alatnya. Untuk memahami al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad, karena hadir dalam konteks Arab, maka tidak bisa tidak harus menguasai bahasa Arab. Jika bersungguh-sungguh, belajar bahasa Arab tidak sesulit yang dibayangkan oleh banyak orang. Sebab, bahasa Indonesia yang berbasis pada bahasa Melayu sesungguhnya mengandung banyak serapan dari bahasa Arab, misalnya: iman, gaib, salat, infak, zakat, sedekah, bahkan luhur, lahir, batin, dan iklan pun adalah termasuk di dalamnya. Hanya saja, karena tidak menguasai tashrif, maka sesuatu yang sesungguhnya mudah, menjadi sulit. Apalagi jika hanya untuk menguasai makna kata-kata di dalam al-Qur’an, itu tidak perlu waktu yang lama, jika sudah menguasai ilmu sharaf ini. Sebab, kata-kata di dalam al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata, sesungguhnya berasal dari hanya kira-kira 2728 kata dasar saja (catatan: penulis baru sekali melakukan penghitungan, sehingga masih ada kemungkinan salah). Dan hampir 1000 di antaranya sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Jika setiap hari istiqamah menghafal 10 kata saja, maka tidak sampai 10 bulan, seluruh kosa kata di dalam al-Qur’an akan bisa dikuasai, sehingga maknanya sudah bisa ditangkap, langsung dari aslinya. Tentu saja, ini baru sekedar tahap awal. Setelah memahami makna kata secara literal, harus dilanjutkan dengan memahami teks dengan logika dan juga rasa bahasa, yang untuk ini memerlukan perenungan panjang, sampai saat kematian datang. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *