Memori Tentang Kiai Manshur Khalil Lasem: Disuruh Tidur

Manshur Khalil Lasem
Manshur Khalil Lasem
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id )

Hajinews.id – Sosok Kiai Manshur Khalil Lasem, pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Lasem, atau kami para santri, sering menyebut dan menyapanya dengan Mbah Yai Manshur, sangat lekat dalam ingatan saya. Sosok beliau tinggi, putih, hidung mancung, suara agak “berat” walaupun tidak rokok, senyum yang khas, dan kaca mata yang sangat tebal. Ketebalan kaca mata beliau mungkin sebagai “akibat” etos baca dan mengajarnya yang luar biasa. Bahkan saat sakit pun tetap mengajar dengan berbaring di atas ranjang yang terdapat dalam ruang besar yang rak bukunya seolah menjadi dinding lapis keduanya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Setiap menjelang waktu shubuh, Mbah Mansur sudah menyapu teras aula dan bilik-bilik pesantren bagian depan, termasuk depan kamar saya, yang akan digelari tikar untuk duduk para mustami’in dalam pengajian umum yang diikuti oleh para santri dan masyarakat umum setelah shubuh. Beliau adalah salah satu guru paling berpengaruh dalam perjalanan intelektual saya, terutama dalam penguasaan khazanah intelektual Islam yang ditulis dengan bahasa Arab gundul, baik dalam disiplin fikih, tasawuf, maupun terutama sekali tafsir al-Qur’an. Dari Mbah Yai Manshur, saya mengaji Tafsir Tanwir al-Miqbas dan Tafsir Jalalayn secara lebih intensif.

Tafsir Jalalayn memang sudah diajarkan oleh Bapak saya di rumah saat saya kelas I MTs, juga di Madrasah Diniyah Darul Huda Mlagen yang pengajarnya juga adalah bapak saya yang saat muda juga berguru kepada Mbah Yai Manshur sebelum kemudian kuliah di IAIN sambil menghafalkan al-Qur’an dengan berguru kepada Kiai Arwani Kudus untuk memenuhi syarat bisa menikahi ibu saya. Namun, saya belum menikmatinya. Bisa dikatakan, saya tidak pernah meninggalkan pengajian kedua Tafsir tersebut. Sebab, dari sinilah saya mendapatkan momentum untuk lebih giat menghafalkan al-Qur’an.

Pemahaman tentang makna dan maksud al-Qur’an yang lebih luas membuat saya tahu bahwa ada banyak sekali hal baru di dalamnya. Apalagi waktu penyelenggaraan pengajian keduanya memang pas sekali. Pengajian Tafsir Jalalayn diselenggarakan setelah shubuh sampai pukul 06.30. Biasanya, sebelum waktu shubuh, saya sudah mandi, sekaligus untuk menghindari antrian yang menumpuk setelah adzan shubuh, dan langsung bersiap dengan seragam putih abu-abu. Agar tidak mencolok sebagai anak sekolah dan diolok-olok oleh beberapa teman yang suka iseng sebagai anak rajin, saya beri rangkapan sarung. Dengan begitu, setelah pengajian berakhir, saya tinggal lepas sarung, lipat, sampirkan di tali tempat gantungan pakaian, memakai sepatu, dan bergegas ke warung sebelah untuk sarapan dengan menerobos beberapa santri yang kembali khusyu’ dengan pengajian Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali setelah masyarakat umum bubar. Karena masalah waktu ini, saya hanya bisa ikut mengaji Ihya’ Ulumuddin saat liburan sekolah.

Setelah sarapan kilat, seperti serdadu berbaris, kami berangkat ke sekolah di MAN Lasem dengan jalan cepat. Sedangkan pengajian Tafsir Tanwir al-Miqbas pada siang hari persis saat waktu pulang sekolah, pukul 13.30 sampai waktu ‘ashr, bergantian dengan pengajian kitab tasawuf Tanwir al-Qulub karya Syaikh Amin al-Kurdi. Masih banyak kitab lain yang diajarkan oleh Mbah Yai Manshur selama saya mondok di An-Nur. Sebenarnya, santri yang sekolah formal tidak diwajibkan mengikuti pengajian ini. Namun, saya sendiri yang tertarik mengikutinya, sehingga walaupun telat dan belum istirahat, saya tetap bisa menikmatinya. Telat tidak masalah, karena pengajian ini adalah pengajian umum yang saya bisa mengikutinya di sudut mana saja di lingkungan pesantren yang suara pengeras suara menjangkau seluruh sudutnya. Dari corong pengeras suara itulah saya sering mendengar dan tahu bahwa kiai saya ini adalah aktivis Partai Masyumi saat mudanya.

“Tidak ada partai yang bisa mengalahkan kehebatan dan konsistensi Masyumi”, demikian di antara yang saya ingat dari berkali-kali Mbah Yai menyisipkan sejarah politik di masa lalu. Karena sikap politik itulah, beliau yang putra salah satu pendiri NU, dan sampai wafat tetap NU, dan juga kakak ipar Kiai Sahal Mahfudh yang pernah menjadi Rais ‘Aam PB NU, sering dianggap oleh sebagian orang, terutama yang ingin mengurangi pengaruhnya di kalangan warga NU, sebagai telah berubah menjadi Muhammadiyah.

Yang juga sangat memotivasi untuk belajar menguasai makna kata adalah setiap selesai shalat Maghrib, Mbah Yai Manshur mendiktekan ayat, hadits, atau yang paling sering adalah kata mutiara dalam bahasa Arab. Setelah selesai mendiktekan, Mbah Yai kemudian mempersilakan para santri untuk memaknai satu persatu dengan utawi iku. Ini menjadi ajang “unjuk gigi” para santri di depan kiai dan juga para santri lainnya. Hafalan al-Qur’an dan pengetahuan maknamnya saya rasakan sangat membantu untuk sukses dalam memaknai yang didiktekan oleh Mbah Yai itu, sehingga tidak terlalu sering kehilangan muka di hadapan beliau.

Momentum untuk menghafal lebih serius itu muncul, juga karena pada saat saya baru beberapa bulan sekolah menengah dan mondok di An-Nur, bapak saya meninggal dunia. Sedangkan sebelumnya, saya sering mendapatkan semacam “tantangan” dari bapak untuk menghafalkan al-Qur’an yang membangkitkan keinginan untuk melakukan semacam pembuktian bahwa saya juga bisa. Biasanya karena saya melakukan kesalahan yang membuat bapak sangat kecewa, seperti kebut-kebutan motor sampai menabrak ayam atau bahkan pernah sekali menyerempet orang sampai terluka. Namun, waktu itu semangat menghafal masih sering padam, timbul tenggelam, dan kembali ke titik rendah. Belum bisa istiqamah yang membuat hafalan kembali berkurang, bahkan hilang.

Di Pesantren an-Nur inilah, saya menemukan semangat yang tak lagi pernah padam. Semangat menghafalkan al-Qur’an bahkan bisa dikatakan berkobar-kobar dan mengalahkan lapar, ngantuk, sakit perut, dan juga takut. Lapar kalah itu wajar, karena saat menjadi santri, makan dijatah oleh Bu Kamil, pemilik warung sebelah, tak bisa nambah. Sebab, uang kiriman dari rumah juga tidak nambah. Uang lebih hanya cukup untuk membeli sandal jepit KASOGI yang saya ukir suku kata “MO” di kiri dan “NASH” di kanan agar tidak dighashab. Ngantuk kalah, karena setelah pengajian yang berakhir pukul 21.00 harus muraja’ah sampai target minimal 6 juz atau setara 6 juz terlampaui. Sakit perut karena seringkali harus menahan kentut, karena ingin selalu berada dalam keadaan punya wudlu, tetapi malas ke kamar mandi. Bahkan pada waktu inilah, saya mengidap ambeyen parah sampai berdarah-darah. Namun, tidak terasa dan hanya baru saya ketahui saat istinja’. Saya kemudian harus mengonsumsi Ambeven yang saat itu paling terkenal sebagai obatnya. Mengalahkan takut karena seringkali saya mencari tempat sunyi untuk muraja’ah, dan yang paling sunyi adalah di makam Mbah Sambu atau minimal makam Mbah Kiai Ma’shoem dan Mbah Nyai Nuriyah yang keduanya merupakan guru utama Ibu saya, di samping Masjid Jami’ Lasem. Jarak dari Pesantren An-Nur tidak begitu jauh. Jalan kaki tidak sampai 7 menit. Duduk di sini bisa sampai lewat tengah malam. Saat itu, tahun 1994-1997, tempat dan penerangan lingkungan makam belum sebaik sekarang dan para santri sering menceritakan “mitos” keberadaan singa di makam Mbah Sambu. Walaupun saya sudah memaksakan diri untuk tidak percaya, dan menganggap itu omong kosong belaka, tapi kadang-kadang sering menghantui pikiran juga sehingga membuat bulu kuduk berdiri.

Di antara yang menyebabkan saya memilih untuk berada di makam Mbah Sambu atau Mbah Ma’shoem adalah khawatir suara saya mengganggu istirahat para penghuni pesantren yang sedang istirahat. Sebab, saya termasuk yang mudah menghafal jika saya membaca dengan suara keras. Padahal lingkungan pesantren adalah lingkungan yang kanan kirinya adalah tembok yang memantulkan suara sehingga menjadi lebih menggema. Terlebih lagi, suatu waktu, lewat tengah malam pada saat saya sedang muraja’ah di sebuah ruang di sebelah kiri mushalla pesantren, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara kaca jendela nako yang dibuka dari luar. Bersamaan dengan itu, kaca mata tebal terlihat di antara kaca yang terbuka itu disusul oleh suara parau Mbah Yai Manshur sampai ke telinga saya: “Cung, mripat yo nduwe hak diistirahatno (Jawa: Nak, mata juga punya hak untuk diistirahatkan).

Kejadian inilah yang sering saya ceritakan kepada para santri saya, baik di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang maupun Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Mlagen Rembang, untuk memotivasi mereka tentang keharusan adanya semangat yang mengalahkan semuanya pada saat belajar dan menghafalkan al-Qur’an. Mereka saya minta untuk menemukan momentum yang membuat mereka mampu mengalahkan semua rasa lelah dan susah payah pada saat belajar dan menghafalkan al-Qur’an. Kalau biasanya santri dibangunkan oleh kiai, tetapi karena semangat yang membara itu, bahkan kiai saya menyuruh saya yang sebaliknya. Tidur! Mereka harus melakukannya. Sebab, menghafalkan al-Qur’an tidak hanya seperti kuliah yang walaupun dijalani dengan ngantuk pun bisa lulus, tentu dengan nilai ala kadarnya. Namun, menghafalkan al-Qur’an tidak bisa dilakukan sambil ngantuk apalagi tidur.

Tulisan ini saya tulis karena semalam saya bermimpi Mbah Yai Mansur tiba-tiba muncul di atas dua tandon air kamar mandi besar di Planet NUFO. Beliau tersenyum lebar kepada saya yang berada di pelataran depan 12 kamar mandi putra yang biasanya juga digunakan untuk menyembelih sapi. Saya bukan termasuk yang mengartikan mimpi sebagai sesuatu yang luar biasa dan macam-macam yang dibesar-besarkan, karena saya memang tidak punya ilmu mimpi sama sekali dan tidak punya kepentingan untuk itu. Namun, bangun dari mimpi itu, saya merasa senang, bertemu lagi dengan guru saya, walaupun hanya dalam mimpi. Semoga mimpi ini membuat saya semakin banyak mendokan beliau. Al-Fatihah!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *