Biolab AS NAMRU-2 yang Dilawan Siti Fadilah, Menkes yang Dipenjarakan!

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



 

 

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

 

 

Jakarta, Hajinews.id – Laut Amerika Serikat (US Navy) memiliki Detasemen Unit Riset Medis Angkatan Laut-2 (Medical Research Unit Two/NAMRU-2).

 

Inilah laboratorium riset biomedis milik AL Angkatan, yang didirikan dengan tujuan untuk mempelajari penyakit-penyakit menular yang memiliki potensi penting dari sudut pandang pertahanan di Asia .

 

NAMRU-2 secara resmi terdaftar di bawah Komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut AS (Pusat Penelitian Medis Angkatan Laut), yang berlokasi di Silver Spring, Negara Bagian Maryland, dan diperhitungkan sebagai pusat jaringan laboratorium laboratorium yang terdapat di berbagai lokasi di dunia.

 

NAMRU-2 beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Laos, Singapura, Filipina, Thailand, Indonesia dan Kamboja.

 

Khusus di Phnom Penh, Kamboja, NAMRU-2 dibuka, dilengkapi, dan dioperasikan sebagai laboratorium satelit untuk melakukan riset kemungkinan wabah penyakit menular dalam cakupan regional, dengan dukungan dari kantor Kerjasama Pertahanan Kedutaan Besar Singapura.

 

Sementara lokasi laboratorium lainnya, termasuk Peru, Kenya, dan Mesir.Sementara itu, NAMRU-2 yang sebelumnya beroperasi di Indonesia, direlokasikan ke Pearl Harbor, Hawaii dan secara resmi dibuka sebagai NAMRU-2 Pacific pada 17 Juni 2010, dan ditutup pada 2013.

 

Sejarah NAMRU

NAMRU-2 dimulai di Guam pada Perang Dunia II dan dioperasikan di bawah Yayasan Rockefeller.Fungsi utamanya saat didirikan, adalah untuk mempelajari-penyakit menular, yang memiliki potensi penting dalam pertimbangan militer di Asia.

Unit ini kemudian didirikan pada 1955 di Taipei, Taiwan, dan beroperasi selama 24 tahun.

Pada 1958, wabah kolera klasik meletus di Bangkok, Thailand, untuk pertama kalinya sejak sepuluh tahun. NAMRU 2 merespon permintaan bantuan Pemerintah Taiwan untuk membantu.

Kemudian, muncul riset tahunan di Thailand hingga beberapa tahun selanjutnya, ditambah dengan kolera jenis El Tor, yang nongol pada 1961 di Sulawesi.

Wabah ini menjadi pandemik ke-7, yang dengan cepat menjadi pusat perhatian agenda NAMRU-2, berikut cara penanggulangannya.

Pada 1968, dilansir Suara Pemred dari Wikipedia, diskusi Kementerian Kesehatan Indonesia untuk memulai unit secara terpisah di Jakarta, Indonesia.

Permintaan dari Kementerian Kesehatan Indonesia ini, dilatarbelakangi oleh penyakit yang melanda Kabupaten Boyolali, yakni di Kecamatan Selo dan Kecamatan Cepogo, di mana 101 orang jatuh sakit, dan 42 orang di antaranya meninggal dengan tingkat fatalitas (case fatality rate [CFR]) 42 persen.

Unit ini kemudian didirikan pada 1970 atas undangan resmi dari perwakilan Kementerian Kesehatan Indonesia untuk mengetahui penyakit menular yang signifikan baik untuk Angkatan Laut AS, dan Departemen Pertahanan AS.

Pada 1979, langkah yang diambil akibat pengakuan atas kedaultan Republik Rakyat Tiongkok oleh AS, NAMRU-2 diminta untuk meninggalkan Taiwan, dan pindah ke Manila, Filipina.

Pada 1990, karena kekalutan politik di Filipina dan potensi ancaman terhadap personel AS, AS menganggap langkah bijaksana untuk pusat komando ini, karena ada keinginan untuk mengurangi keberadaan AS di Manila.

Angkatan Laut AS kemudian mulai menegosiasikan kepindahan unit induk ke Jakarta, dan diskusi dimulai antara Kementerian Luar Negeri AS dan Pemerintah Indonesia.

Unit kemudian induk resmi pindah ke Jakarta pada 1991, dan Unit di Manila ditutup pada Juni 1994.

Setelah itu NAMRU-2 juga mulai merumuskan cara penanganan ancaman penyakit menular untuk personel militer AS, yang diberangkatkan ke Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Proyek proyek riset bersama dimulai bersama otoritas lokal di negara-negara ini. Kemudian, Badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjuk NAMRU-2 sebagai pusat kolaborasi penyakit-penyakit baru untuk Asia Tenggara.

Pada 2002, aktivitas di Phnom Penh dimulai oleh NAMRU-2, dengan tujuan riset penyakit regional menular, dan dukungan laboratorium untuk mendiagnosisnya.

Operasi ini dilakukan dari laboratorium yang berlokasi di Institut Nasional Kesehatan Publik di Pnom Penh, Kamboja.

Pada 2007, dengan dimulainya prioritas dalam merespon ancaman penyakit menular global, NAMRU-2 mulai melakukan langkah langkah persiapan unit secara terpisah di Pnom Penh dengan dukungan Kantor Kerjasama Pertahanan Kedutaan Singapura.

Laboratorium utama dan pusat NAMRU-2 berada di Jakarta hingga 2010, saat permintaan ditutup oleh Pemerintah Indonesia.

Kemudian, elemen pusat unit ini dipindahkan ke Pearl Harbor, Hawaii dan secara resmi dibuka sebagai NAMRU-2 Pacific pada 17 Juni 2010, dan ditutup pada 2013.

Kerjasama untuk NAMRU-2 dengan Indonesia

Unit NAMRU-2 di Jakarta Indonesia mulai ‘bermain’ pada 1968, antara Kementerian Kesehatan Indonesia dengan pihak AS, sebagai unit terpisah dari fasilitas yang berada di Taipei, Taiwan.

Unit ini kemudian secara resmi didirikan pada 1970 atas undangan resmi dari perwakilan Kementerian Kesehatan Indonesia.

Menyusul kekalutan politik di Manila, unit induk resmi pindah ke Jakarta pada 1991, dan Unit di Manila ditutup pada Juni 1994.

NAMRU-2 Jakarta menempati lokasi seluas 5.670 meter, yang terdiri dari laboratorium. Tempat penyimpanan berada di tiga gedung kompleks Kementerian Kesehatan Indonesia (Badan LITBANGKES).

Fasilitas ini juga dilengkapi dengan fasilitas penyimpanan binatang, yang telah diakreditasi oleh Asosiasi Akreditasi AS Untuk Perawatan Hewan Laboratorium – American Association for the Accreditation of Laboratory Animal Care (AAALAC).

Didalamnya juga termasuk 220 meter persegi laboratorium BL3 yang dipindahkan dari lokasi sebelumnya di Korea.

Selain fasilitas yang berada di Jakarta, fasilitas lain yang cukup modern dan lengkap, adalah fasilitas riset seluas 418 meter persegi yang terdapat di Jayapura, Irian Jaya.

Staf NAMRU-2 terdiri dari 175 pegawai Indonesia dan 19 pegawai AS.

Pada 2001, sebuah buku berjudul Evaluasi Program: Perspektif Departemen Pertahanan Amerika Serikat akan Munculnya Sistem Penanggulangan dan Pengawasan Penyakit Menular Global (Perspectives on the Department of Defense Global Emerging Infections Surveillance and Response System: a program review) diterbitkan di Washington DC, AS.

Buku ini mengulas banyak program yang dilakukan NAMRU-2 di Indonesia termasuk kerjasamanya dengan WHO. Di antaranya, upaya pengawasan penyakit influenza di Indonesia yang dinilai lemah, karena banyak pengambilan dalam teknik pengambilan sampel spesimen nasofaring.

Karena itu, dianggap akan lebih baik jika sampel ini dilakukan di tingkat internasional.

Hasil evaluasi juga menyatakan sampel yang dikirim ke beberapa tempat, termasuk Australia, memiliki tingkat koordinasi rendah untuk pelaporan kembali.

Pengawasan penyakit Tuberkolosis (TB) di Indonesia juga dinilai: Banyak kasus TB tidak terdiagnosis di seluruh pelosok negeri.

Laboratorium di Indonesia tidak dilengkapi dengan kemampuan diagnosis dan memantau resistensi kuman terhadap obat yang diberikan, sehingga mengancam populasi warga negara AS yang tinggal di Indonesia.

Kasus HIV mulai muncul, dan dikhawatirkan jika virus HIV mulai berjalin dengan kuman TB, maka kasus TB akan meningkat secara drastis.

NAMRU-2 juga mendapatkan tantangan sumber daya, dengan adanya permintaan pelatihan dari Kementerian Kesehatan Indonesia untuk berbagai hal.

Di antara penelitian yang diminta untuk dilakukan di perguruan tinggi di Indonesia, namun masalah hasil penelitian perguruan tinggi di Indonesia tidak memiliki saluran langsung, yang dapat berdampak pada penanggulangan kesehatan di Indonesia.

Pada 2005, flu burung menjadi masalah kesehatan serius untuk dunia, dan Indonesia terkena dampak terparah dengan 141 kasus, dan 115 yang meninggal dunia.

Menkes Indonesia Dr Siti Fadilah Supari pada awalnya patuh pada peraturan WHO, dan mengikuti seluruh aturannya.

Salah satu vaksinnya, Purwarupa, kemudian dikembangkan oleh perusahaan Australia CSL dan didukung oleh Pemerintah Australia.

Upaya pembuatan vaksin ini ditujukan untuk melindungi pekerja medis, jika terjadi wabah.

Namun kemudian, mantan Menteri Kesehatan Australia Tony Abbott memberikan pernyataan media bahwa vaksinnya hanya akan tersedia untuk warga negara Australia.

Meskipun hal ini kemudian dibantah oleh Robert McClelland dari Partai Buruh, bahwa kebijakan partai untuk berbagi vaksin CSL dengan Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya adalah untuk penyebaran penyakit ini.

Namun, hal ini kemudian memicu berhentinya kiriman contoh virus flu burung dari Indonesia ke seluruh dunia.

Pada tahun yang sama, 2007, Siti sebagai Menteri Kesehatan RI mengumumkan bahwa Indonesia tidak akan lagi memberikan virus-virus flu burung kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lewat Divisi Jaringan Pegawas Influenza (GISN).

Menurut Siti, GISN tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan negara berkembang.

Siti juga berpendapat bahwa WHO telah melanggar peraturan-peraturannya sendiri di mana virus dipindahtangankan menggunakan standar ganda, diterima dari negara yang terkena virus melalui GISN, dan diserahkan ke perusahaan komersial untuk pengembangan vaksinnya.

Kemudian, vaksin ini menjadi sangat mahal dan tersedia di negara yang terkena dampak virus, sementara negara-negara industri yang kaya sibuk menggunakan vaksin itu hanya untuk berjaga-jaga saat wabah melanda.

Pernyataannya ini kemudian dibukukan dengan judul Saatnya Dunia Berubah.

Dalam bukunya, Siti mengungkapkan bahwa sejak tahun 1952, sebanyak 110 negara yang memiliki kasus flu, wajib berbagi contoh virus spesimen tanpa syarat.

Virus-virus ini dikumpulkan oleh GISN, menjadi milik mereka, dan oleh ahlinya, kemudian melakukan pertimbangan risiko dan penelitian, dan sampingan lainnya, yakni membuat benih virus yang kemudian dibuat vaksin.

Virus yang digolongkan sebagai ganas, kemudian diumumkan pada Pusat Kolaborasi WHO (WHO-CCs), yang merupakan laboratorium-laboratorium yang bekerja sama dengan WHO, dan menjadi laboratorium rujuk

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *