Siapa Yang Menggelorakan Politik Identitas ?

Politik Identitas
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.idPolitik Identitas seringkali di nisbahkan kepada politisi yang menggunakan simbol-simbol primordial seperti suku, agama, rasial. Fenomena pemanfaatan politik identitas ini tidak hanya terjadi di negara-negara dengan tingkat perkembangan ekonomi, sains yang masih terbelakang, namun juga kita masih lihat pada semua strata sosial di berbagai negara, termasuk di negara maju. Di Tiongkok misalnya, suku Han, menjadi etnis yang dominan dalam beberapa dasa Warsa semenjak negara itu merdeka. Dominasi suku Han ini terus menekan suku-suku bangsa lain, seperti Hui, atau Uighur sekalipun dalam kasus Uighur misalnya orang-orang Han lebih menonjolkan sentimen anti Islam (Islamophobia) untuk menekan kebangkitan suku Uighur dalam pentas politik di Tiongkok. Di Amerika, Yahudi Ortodoks masih menguasai panggung politik Amerika. Mazhab wall street ini memiliki lobby yang sangat kuat dan bermain dipercaturan politik Amerika. Penggunaan politik identitas menguat terutama pada masa Presiden Trump. Hal yang sama terjadi di India, dimana partai yang berkuasa, berhasil mempertahankan dominasi kekuasaan mereka dengan menggelorakan fanatisme keagamaan, dalam hal ini Hindu. Kekerasan berbau SARA meningkat tajam dalam beberapa dasawarsa terakhir di India. Yang mutakhir adalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, yang dilakukan oleh politisi BJP dan memicu gelombang protes di berbagai negara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di Indonesia politik identitas ini terutama meningkat pada dua pilpres terakhir, berawal dari Pilgub DKI, bahkan masih terus terasa hingga saat ini. Jika kita amati lebih dekat, upaya membangun sentimen Rasisme dalam penerapan politik identitas justru banyak di gelorakan oleh para kelompok yang anti-agama. Mereka kerap memancing emosi para pemeluk agama dengan mencaci-maki simbol-simbol agama tertent. Merekayasa aksi bersimbol agama tertentu untuk memicu ketegangan politik. Yang terbaru kita saksikan muncul kelompok yang menamakan diri mereka FPI Reborn. Di duga kuat, kelompok aksi bayaran ini di buat oleh kelompok yang sering mengklaim diri mereka nasionalis. Mereka ingin memojokkan umat Islam, memompakan islamophobia dalam rangka menaikkan pamor capres yang mereka dukung. Prilaku rasisme seperti ini nampaknya akan meningkat seiring dengan makin memanasnya suhu politik menjelang pilpres.

Penggunaan identitas keagamaan, maupun kesukuan tentu saja merupakan hak para penganut agama, maupun warga suku bangsa yang bersangkutan. Jika warga suku bangsa yang bersangkutan menggunakan pakaian adat atau suku mereka maka tentu hal itu tidak dapat disebut politik identitas. Misalnya kalau suku-suku di Papua menggunakan Koteka, tentu itu bukan politik identitas, karena memang itu pakaian adat mereka. Tapi misalnya, jika politisi dari Jawa, ke Kalimantan, lalu di Kalimantan dia menggunakan pakaian adat Dayak, itu namanya politik identitas. Demikian halnya dalam hal agama. Jika seorang pastor menggunakan atribut Gereja, atau seorang umat Islam menggunakan atribut seorang Muslim, tentu itu tidak bisa disebut politik identitas, karena memang itu kebiasaan mereka. Tapi kalau seorang politisi Kristen misalnya, menggunakan simbol umat Islam, demi memperoleh dukungan politik umat Islam, itu namanya politik identitas. Demikian sebaliknya, jika politisi dari kalangan umat Islam, menggunakan atribut agama lain, demi memperoleh simpati secara politik, itu namanya politik identitas.

Hal-hal seperti ini mesti di pahami, supaya jangan sampai seseorang menggunakan pakaian agamanya, simbol agamanya sendiri lalu di tuduh melakukan politik identitas. Atau seseorang menggunakan pakaian adat suku bangsanya sendiri, lalu di tuduh melakukan politik identitas.

Lebih jauh, kita ingin agar dalam proses berdemokrasi, tatanan sosial masyarakat tidak menjadi korban dari prilaku para politisi. Kekayaan budaya bangsa yang tersebar di berbagai suku, etnis maupun agama, hendaknya jangan di korbankan dalam pertarungan politik. Keadaban politik hendaknya benar-benar ditunjukkan oleh para politisi dalam meraih simpati masyarakat.

Partai-partai politik, sebagai salah satu pilar demokrasi hendaknya terdepan dalam mengatasi hal-hal di atas. Demikian pula dengan media massa, media sosial supaya dewasa di dalam mendorong politik demokrasi yang lebih baik.

Kita berharap bahwa proses kontestasi politik demokrasi kita makin dewasa dengan tampilnya tokoh-tokoh politik yang “dewasa”, yang memiliki “jiwa besar” sebagai negarawan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *