Kosmopolitanisme

Kosmopolitanisme
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Semenjak Nabi Sulaiman (King Solomon) bertugas sebagai Khalifah meneruskan Kerajaan Nabi Daud, (King David) ayahnya, Allah telah memberi sinyal kepada Beliau bahwa era monarki Absolute dalam perjalanan peradaban manusia sudah saatnya diakhiri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sejenak ke-masa lalu

Kehidupan primitif manusia dilakoninya secara berkelompok-kelompok dalam jumlah terbatas, dengan ikatan kekeluargaan yang “ketat”. Lalu sering dengan meningkatnya jumlah populasi mereka, terbentuklah suku-suku yang hidup secara berkelompok dalam jumlah yang lebih besar, dipimpin oleh salah seorang diantara mereka yang “dituakan”. Lalu terjadi interaksi antar suku-suku, melalui cara damai dalam bentuk perkawinan maupun cara kekerasan dalam bentuk peperangan. Pemenang dalam peperangan akan memimpin gabungan beberapa suku yang mereka taklukkan, dan mengukuhkan pemimpin dari pihak pemenang perang sebagai penguasa. Makin banyak suku yang dikalahkan, makin luas wilayah kekuasaannya, makin besar kewibawaan yang diperoleh, makin besar negeri yang dipimpinnya. Maka muncullah penguasa-penguasa, berdirilah kerajaan-kerajaan yang dipimpin “orang kuat”. Dipundaknya segala pengaturan atas masyarakat yang berada dibawah penguasaannya ditentukan. Melahirkan sistem yang disebut monarkhi absolute. Ia menjadi penguasa yang membuat aturan, menegakkan aturan, dan menghukum para pelanggar aturan sekehendaknya.

Hamba sebagai fitrah kemanusiaan

Meski demikian, sehebat dan atau seperkasa apapun seorang penguasa, tetap memiliki rasa takut dalam dirinya, sehingga memerlukan sesuatu yang mampu mengatasi rasa ketakutannya. Ia membutuhkan pelindung guna memberinya rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman, adalah naluri alamiah setiap manusia, dimana setiap manusia memang diciptakan sebagai seorang hamba. Fitrah sebagai “hamba” ini ada pada diri setiap manusia. Dan inilah yang mendorong mereka untuk mencari perlindungan, seberapa besar dan luas pun wilayah yang telah ditaklukkan bersama pasukannya. Maka kita akan temukan jejak-jejak penyembahan kepada sesuatu yang dipandang sebagai Yang Maha Perkasa, Yang disembah, Yang Melindungi atau disebut sebagai tuhan pada semua peradaban manusia, berapapun usia peradaban itu telah berlalu. Dari jejak peradaban manusia masa lampau kita temukan aneka jenis penyembahan kepada Tuhan atau disebut dengan agama. Dari jejak peradaban manusia, kita bisa menemukan jejak penyembahan yang telah punah (tidak berlanjut) dan ada jenis penyembahan yang terus eksis dan dapat ditemukan jejaknya sepanjang masa. Dimana kita dapat berkesimpulan bahwa sistem penyembahan yang berkelanjutan hingga hari ini dipercayai bahwa itu sistem penyembahan yang benar, yang murni, yang abadi, yang membawa kepada rasa aman dan keselamatan. Jejak peradaban menunjukkan bahwa sistem seperti ini adalah yang mempercayai adanya suatu kekuatan tunggal, yang telah menciptakan seluruh alam semesta, termasuk manusia. Dari jejak peradaban, kita menemukan bahwa pada umumnya umat manusia yang tidak menggunakan sistem kepercayaan ini telah musnah, seberapa besar pun pencapaian kekuasaan politik yang pernah mereka raih pada zamannya. Informasi seperti ini telah disampaikan Allah dalam Al-Quran dengan sempurna, jelas, dan teliti.

Berakhirnya Era Monarki Absolut

Dari Al-Quran kita memperoleh informasi mengenai silih bergantinya para pemimpin selama ribuan tahun, dalam sistem politik monarki absolut. Seperti Namrud (Naram Sin), para Faraoh di Mesir, Thalut, dan Jalut, Daud dan Putranya Sulaiman. Tentu saja masih banyak lagi lainnya belahan bumi lain, seperti Mohenjo Daro di India, Sungai Kuning di Tiongkok, di Peru dan lain-lain.

Pada masa Nabi Sulaiman atau King Solomon berkuasa di Palestina, nampaknya inilah babak akhir dari era kejayaan monarki absolut itu. Tentu masih banyak kerajaan-kerajaan pasca Nabi Sulaiman itu, tapi semuanya sedang berproses menuju kehancurannya.

Nampaknya, Allah memang telah menerima permohonan Nabi Sulaiman, ketika Nabi Sulaiman berdoa agar diberi kerajaan yang tidak akan pernah lagi diberikan kepada siapapun setelahnya.

Allah SWT berfirman;

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ

qāla rabbigfir lī wa hab lī mulkal lā yambagī li’aḥadim mim ba‘dī, innaka antal-wahhāb

Dia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (Q.S Shad [38] : 35)

Karena itu praktis pasca Nabi Sulaiman memimpin kerajaannya, tidak ada lagi Kerajaan dengan sosok Raja yang sebijaksana Nabi Sulaiman dalam memimpin. Peradaban manusia memasuki era transisi dari monarkhi Absolute ke sistem pemerintahan yang demokratis. Era transisi ini berlangsung dalam situasi masyarakat yang diliputi kegelapan. Moralitas penguasa maupun rakyat kebanyakan rusak, penyembahan kepada berhala kembali mengemuka, anarkhi dan kekerasan melanda. Sedemikian rusaknya para Nabi yang diutus ke tengah-tengah mereka di kejar-kejar, dibunuh, di salib. Seperti yang dialami Nabi Zulkifli, Zakariah, Yahya, hingga Nabi Isa (Yesus).

Seribu tahun kurang lebih, era kemerosotan moralitas itu berlangsung, dan mencapai puncaknya pada masa dimana masyarakatnya disebut dengan jahiliyyah.

Negara Kota (Madinah)

Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang lalu mengutus Nabi Muhammad SAW ke tengah-tengah masyarakat yang jahiliyyah (dilanda kerusakan moral yang hebat) ini dalam rangka memperbaiki akhlak manusia.

Nampaknya, sebagaimana doa Nabi Sulaiman di atas, Nabi Muhammad SAW tidak mendirikan kerajaan. Sudah barang tentu karena tidak ada perintah dari Allah untuk meneruskan sistem politik bercorak monarki absolute itu. Alih-alih Nabi Muhammad SAW justru diperintahkan membangun suatu masyarakat baru yang bercorak kosmopolitan. Sebuah masyarakat baru yang oleh Nabi Muhammad SAW di namanya dengan Madinah. Dengan demikian “Madinah” adalah episode baru dari sistem tata kelola masyarakat yang diperuntukkan menggantikan sistem monarki absolute yang telah diakhiri era berlakunya di masa Nabi Sulaiman.

Madinah adalah sebuah konsep tentang masyarakat kosmpolitan, yang inklusif, demokratis, ditegakkan diatas pondasi Tauhid (hanya menyembah kepada Allah saja), didukung oleh ilmu pengetahuan, bukan sihir atau tahayyul, apalagi prasangka buruk. Sebuah negara yang dibangun bersama-sama oleh warga negara, melalui perjanjian yang disepakati bersama yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.

Era Nabi Muhammad SAW, ada prototype dari sistem sosial yang baru ini. Karena program ini dilaksanakan berdasarkan kehendak Ilahi, Allah SWT, dalam rangka menggantikan sistem sosial
monarki absolut yang bercorak otoritarianisme, maka seiring dengan kerja keras Nabi Muhammad dan para sahabatnya (mempersiapkan masyarakat baru ini), dilain pihak Allah perlahan meruntuhkan kerajaan-kerajaan yang despotik, tiran. Kala itu ada dua Kerajaan besar, Persia dan Romawi, keduanya menyembah berhala (paganisme). Sekalipun perlu di catat secara terpisah bahwa Romawi pada masa itu telah memeluk Kritianitas, namun tidak lagi murni menjalankan ajaran Tauhid Nabi Isa, dan telah menyimpang dengan trinitasnya. Hanya sekelompok kecil yang masih murni melaksanakan ajaran Nabi Isa yang kala itu berpusat di Etopia atau Abbessinia, yang kenal dengan Kristen Koptik.

Madinah yang dibangun Nabi Muhammad, menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dimana urusan-urusan kemasyarakatan dijalankan Nabi dengan musyawarah. Di lain pihak tentu saja hal-hal yang bersifat Ubudiyah, (peribadatan) sepenuhnya ditentukan Allah dan disampaikan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada masyarakat.

Sebab itu, meskipun pada Nabi Muhammad bertindak sebagai Nabi (dan dengan demikian beliau adalah Pemimpin spritual tertinggi), beliau juga pemimpin masyarakat, akan tetapi jelas nampak adanya pemisahan antara urusan Ubudiyah dengan urusan muamalah. Tidak ada toleransi dalam urusan Ubudiyah, namun dalam urusan muamalah berlaku musyawarah dan dalam musyawarah niscaya diperlukan adanya toleransi.

Sebab itu dari jejak pemerintahan Nabi Muhammad SAW, kita kemudian menemukan perkembangan Negara Kota (Madinah) yang sangat maju, tinggi nilai peradabannya. Sebuah kota dengan konsep smart city yang dihuni oleh individu-individu dengan ketinggian ilmu pengetahuan serta keluhuran budi pekerti. Sebuah kota yang terbuka bagi semua manusia, plural. Kota yang menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan green city. Dan dalam waktu yang singkat tampil sebagai pusat peradaban. Karena perhatikanlah hanya dalam kurun waktu dua dekade pasca Nabi wafat, seluruh wilayah Romawi dan Persia telah tunduk dibawah Madinah.

Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pusat peradaban itu telah menghadirkan sistem tata kelola pemerintahan yang berbeda dengan sistem monarki absolut yang memang telah Allah akhiri pada fase kenabian Sulaiman Alaihissalam.

Kita tentu tahu dalam perkembangannya umat Muhammad SAW melakukan penyimpangan dengan menghidupkan kembali pola pemerintahan monarki pada masa Umaiyyah, dan Putranya Yazid. Dan tentu saja Allah SWT menghukum umat Islam ini dengan datangnya serbuan bangsa Tartar ke Baghdad. Semenjak itu masa kelam, dan kegelapan menyelimuti peradaban Madinah.

Meski demikian, rencana Allah SWT tentu saja terus berlangsung, dan kemudian kita dewasa ini telah berada di suatu era di mana kota-kota kosmopolitan bertebaran diberbagai belahan dunia. Tidak ada lagi negara besar yang adidaya, dijalankan dengan sistem monarki absolut.

Nabi Muhammad SAW itulah yang memulai suatu tatanan masyarakat baru yang demokratis, kota yang kosmopolitan, dengan nilai-nilai yang tinggi, mulia, berkeadilan sosial dan dijalankan dengan penuh hikmah kebijaksanaan. Dalam perkembangannya negara Madinah itulah yang melahirkan konsep negara bangsa dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Sistem pemerintahan demokrasi memerlukan pemimpin yang kuat (strong leadership), namun kuat bukan secara pisik semata, namun kuat karena hikmah kebijaksanaannya dalam memimpin.

Dan itulah fase mutakhir dari peradaban manusia, yang jika dijalankan akan membawa manusia kepada puncak pencapaian yang membahagiakan.

Ingatlah bahwa ajaran Islam, Al-Qur’an itu Allah turunkan bagi semua manusia. Negara atau masyarakat manapun yang menjalankannya, itulah yang akan meraih kesuksesan dunia maupun akhirat.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *