Cara Soekarno Melakukan Pemusatan Kekuasaan

Soekarno Melakukan Pemusatan Kekuasaan
Soekarno Melakukan Pemusatan Kekuasaan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: M. Hatta Taliwang

Hajinews.id – Kecendrungan pemusatan kekuasaan ke tangan Presiden dilakukan setelah Dekrit Presiden Kembali ke UUD45 pada 5 Juli 1959, dilakukan oleh Presiden Soekarno antara 1960an hingga 1965.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Lembaga Tertinggi negara ( MPRS), Mahkamah Agung, Jaksa Agung merangkap menjadi Menteri.

Presiden merangkap Panglima Tertinggi ABRI disebut Panglima Besar yang langsung mengomandoi ke empat Angkatan. Itu semua dilakukan karena Presiden Soekarno mulai mengintrodusir apa yang disebut sebagai  DEMOKRASI TERPIMPIN.

Presiden Langsung Memegang Komando ABRI

Seperti telah diuraikan, setelah kembali ke UUD 1945 dan Presiden langsung memegang kekuasaan pemerintah, maka memproseslah berangsur-angsur pemusatan kekuasaan di tangan Presiden.

Sekitar medio tahun 1960, di-retool lembaga-lembaga negara, ada yang secara konstitusional, ada yang secara ekstra konstitusional, dan lain-lain. Keanggotaan lembaga-lembaga tersebut disusun dengan komposisi gotong-royong sebagai pengejawantahan dari Demokrasi Terpimpin.

Maka, lembaga-lembaga tersebut tidak bisa berbuat banyak berhubung dengan pembatasan tugas oleh Presiden.

Dan, diintroduksilah apa yang disebut sebagai  Penpres-Penpres yang ekstra-konstitusional, yang semakin menyimpang dari UUD 1945.

Kekuasaan Presiden telah tak terbatas dan telah menyimpang pula dari apa yang di tulis Jendral Nasution dalam surat usulan Angkatan Darat saat mau kembali ke UUD 1945

“…Demokrasi Terpimpin tetap demokrasi dan bukan diktator, jadi kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat melalui Pemilu.”

Dalam pada itu Pimpinan TNI dihinggapi dualisme, berkiblat ke Hankam yang dipimpin Jen AH Nasution sebagai Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata ( KASAB) atau berkiblat ke Komando Tertinggi(KOTI) dan Penguasa Perang Tertingi( Peperti) Presiden Soekarno dengan Kastafnya Jen A Yani, yang menjadi instrumen utama bagi penggalangan kekuasaan Presiden, baik sebagai komando ABRI tertinggi maupun sebagai pemegang kekuasaan darurat, yang menjadi instansi satu-satunya yang dipatuhi langsung oleh semua instansi lain.

MPRS dibentuk oleh Presiden tanpa partai-partai oposisi dan merupakan pengesahan bagi rencana-rencana Soekarno.

Pada mulanya, ada usaha Pimpinan MPRS untuk melakukan fungsi konstitusionalnya, yakni suatu lembaga yang berada di atas Presiden atau yang membawahi Presiden, yakni Presiden bertanggungjawab kepada MPRS.

Nasution mendengar dari Kolonel Wiluyo Puspoyudo, Wakil Ketua MPRS. Ketika pimpinan Lembaga kedaulatan rakyat itu menghadap Presiden, mereka singgung pertanggungjawaban Mandataris.
Reaksi Presiden sederhana sekali dalam kata-kata Belanda, “Jullie kunnen naar huis gaan” (silakan pulang saja ke rumah kalian, artinya: saya tak perlukan kalian dalam kualitas itu).

Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri (PM) III Khaerul Saleh, yang secara administratif kedudukannya sama dengan Wakil Presiden. Anggota lain ialah ketua-ketua Partai Nasakom, yakni Ali Sastroamijoyo (PNI), Idham Khalid (NU), dan D.N. Aidit (PKI); ditambah oleh wakil TNI, yang ditunjuk oleh Jen Nasution  adalah Kolonel Wiluyo Puspoyudo, yang telah menjadi pembantu Nasution  dalam menjalankan rencana pembangunan ABRI kepada Dewan Perancang Nasional (Depernas).

Mereka semua diberi kedudukan sebagai Menteri, seperti juga Ketua Mahkamah Agung, Mr. Wiryono dan Jaksa Agung Mr. Kadarisman.

Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Menemukan Revolusi Kita Kembali” telah disistematisasikan oleh DPA, disahkan oleh MPRS sebagai GBHN yang dimaksud oleh UUD 1945. Kemudian, Presiden diangkat oleh MPRS menjadi Pemimpin Besar Revolusi (PBR).

Sebelumnya, telah ada rapat di Istana, di mana tokoh-tokoh eksekutif dan legislatif hadir, Nasution tak ingat acara resminya, tetapi para pembicara menyoroti posisi Bung Karno terhadap revolusi. Di situ, bermunculanlah pendapat bahwa Presiden adalah Pemimpin Besar Revolusi. Pada giliran Nasution  berbicara, secara datar  menyebut Soekarno sebagai  Bapak Revolusi Indonesia.

Fokus dari pembicaraan-pembicaraan, terutama dari Presiden ialah, kita berevolusi dan segala sesuatu adalah untuk menyukseskan revolusi. Presiden menyatakan penghargaan beliau atas pengakuan terhadap beliau sebagai Pemimpin Besar Revolusi( PBR)  itu dan mulailah membiasa sebutan Pemimpin Besar Revolusi, yang kemudian menjadi Ketetapan MPRS, TAP No. I/MPRS/1960.

Pimpinan DPR terdiri dari tokoh-tokoh kedua dari partai-partai dan mereka diberi kedudukan sebagai Menteri. Anggota yang mewakili partai umumnya masih wakil hasil Pemilu 1955, yakni sebanyak separuh. Selebihnya diangkat oleh Presiden.

Lanjutkan Membaca >>>

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *