Meski Ekonomi Indonesia Aman, Gobel Ingatkan soal Pangan

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id — Wakil Ketua DPR Bidang Korinbang yang juga Anggota Dewan Pembina Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (PP IPHI) Rachmat Gobel, mendukung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi gejolak ekonomi global akibat pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina.

“Namun dalam jangka menengah dan panjang, kita harus waspada terhadap masalah pangan kita. Juga efisiensi anggaran serta efektivitas dan penguatan koordinasi antarlembaga dan kementerian,” katanya, Senin (18/7).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pada pekan lalu, Menkeu memberikan keterangan tentang kondisi ekonomi Indonesia dengan fakta-fakta yang optimistik. Hal itu menjawab kegelisahan publik akibat krisis ekonomi yang berujung pada krisis politik di Sri Lanka. Pemberitaan sebelumnya juga menunjukkan ada sejumlah negara yang berpotensi terkena resesi. Pandemi covid-19 yang disusul konflik Rusia-Ukraina serta iklim kemarau basah juga mengakibatkan melejitnya harga-harga pangan dan energi. Bahkan harga sayuran pun ikut naik.

“Secara fiskal Indonesia cukup aman karena tertolong oleh berkah naiknya harga batu bara dan harga CPO. Hal ini mengompensasi penaikan harga BBM. Secara moneter Indonesia juga cukup aman karena inflasi masih cukup terkendali. Hal-hal inilah yang membedakan Indonesia dari negara-negara lain, apalagi Sri Lanka,” kata Gobel. Hal itu juga menunjukkan keberhasilan kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan sinergi yang baik antara pemerintah dengan parlemen.

Hanya, Gobel mengingatkan masyarakat tetap terbebani oleh penaikan harga BBM dan harga komoditas pangan. “Dalam situasi ini kita juga bersyukur ketersediaan beras dan harga beras masih tercukupi oleh petani kita dan harganya terkendali. Inilah yang menjadi pengaman sesungguhnya,” katanya. Namun harga cabai, tomat, sayur-mayur, daging, telur, minyak goreng, dan susu sudah melejit karena panen yang terganggu oleh kemarau yang basah serta karena kondisi global. “Climate change akan terus mengganggu di masa depan. Jadi perlu inovasi dalam bercocok tanam serta gotong-royong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan daging, telur, cabai, tomat, dan sayur-sayuran lain,” katanya.

Tentang pangan, Gobel mengajak pemerintah dan seluruh masyarakat untuk menguatkan sejumlah komoditas yang masih bisa dipenuhi dari dalam negeri jika diupayakan secara sungguh-sungguh seperti daging, susu, dan kacang kedelai. Untuk kacang kedelai, Indonesia pernah mandiri di masa lalu. Namun karena salah kebijakan dan tiada perlindungan, katanya, kini Indonesia sudah menjadi tergantung pada impor. “Data 2021 produksi dalam negeri kedelai hanya 213.548 ton. Sedangkan impornya mencapai 2.489.690 ton. Jadi 95% impor. Padahal pada 2016 petani kita masih mampu menyediakan 1.391.300 ton. Namun kemudian menurun terus,” katanya.

Kondisi ketergantungan terhadap impor juga terjadi pada daging dan susu/mentega/telur. “Pada 2017 impor susu, mentega, dan telur senilai US$990 juta. Namun pada 2021 menjadi US$1,394 miliar. Sedangkan impor daging pada 2017 senilai US$590 juta tetapi pada 2021 menjadi US$965 juta,” kata Gobel. Untuk produk-produk pangan ini, katanya, sebetulnya Indonesia masih bisa mengusahakan untuk memenuhinya dari dalam negeri. “Yang dibutuhkan ialah kesungguhan, perlindungan, dan koordinasi. Jadi bebannya bukan hanya ke Kementerian Pertanian tetapi juga melibatkan kementerian dan lembaga lain,” katanya.

Hal yang paling parah, kata Gobel, yaitu impor gandum. “Pada 2017 nilainya US$2,927 miliar. Namun pada 2021 sudah melonjak ke US$4,074 miliar,” katanya. Khusus untuk gandum, katanya, tanah Indonesia memang tidak cocok untuk tanaman gandum. “Kita harus melakukan diversifikasi. Kita punya tepung sagu, tepung singkong, tepung jagung, tepung talas, dan lain-lain. Jadi yang diperlukan yakni gerakan nasional mengurangi ketergantungan pangan yang berbahan gandum,” katanya.

Sebagai contoh, kata Gobel, di Kabupaten Meranti, Riau, ada mi dari bahan sagu. “Rasanya enak. Jadi saatnya kita beralih seperti Vietnam membuat mi dari beras dan Jepang membuat mi dari soba,” katanya. Demikian juga untuk kue, katanya, sudah saatnya mengandalkan tepung yang berbahan lokal. “Hal seperti ini harus menjadi gerakan nasional,” katanya.

“Saya sangat peduli soal pangan karena itu soal ketahanan nasional. Banyak pemerintahan jatuh dan suatu negara roboh karena tak mampu menyediakan pangan untuk rakyatnya. Kini kita merasakannya setelah ada gejolak politik global. Kita beruntung bisa menjaga beras walaupun sempat akan diganggu oleh petualang yang ingin cari duit cepat dengan rencana impor satu juta ton beras. Alhamdulillah pemerintah dan parlemen berhasil menggagalkannya dan terbukti kita tak butuh impor. Jika itu terjadi, petani akan kapok menanam padi seperti petani kapok menanam kedelai karena tak ada perlindungan dari negara,” katanya.

Gobel mengatakan, APBN Indonesia terus meningkat dengan pesat. “Kemampuan fiskal kita sangat kuat. Karena itu yang dibutuhkan ialah efisiensi agar dana itu termanfaatkan secara optimal,” katanya. Pada sisi lain, katanya, harus menguatkan koordinasi antarkementerian dan lembaga sehingga suatu program tidak dibebankan ke satu kementerian atau lembaga saja. “Di sini butuh figur-figur pemimpin yang kuat. Jangan semua menggantung kepada Presiden. Kita sangat beruntung memiliki Pak Jokowi yang punya kepemimpinan kuat. Namun masalah Indonesia banyak. Jadi para pembantunya harus bisa menjadi penopangnya yang baik,” katanya.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *