Tafsir Al-Quran Surat Az-Zukhruf Ayat 51-56: Kepemilikan Manusia Bersifat Amanah

Tafsir Al-Quran Surat Az-Zukhruf
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ta’lim Bakda Subuh

Oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
Ahad, 24 Juli 2022

Disarikan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hajinews.id – Alhamdulillahi rabbil a’lamin. Jamaah kaum muslimin dan muslimat, baik yang hadir secara offline di masjid, maupun yang hadir secara online di rumah. Kita dapat berkumpul bersama pada Ahad pagi ini, tanggal 24 Dzulhijjah 1443 H bertepatan dengan tanggal 24 Juli 2022, meneruskan kajian kita, mendalami ayat-ayat Allah. Insya Allah kita akan membahas Surat Az-Zukhruf ayat 51-56. Kita mulai dengan membaca Ummul Kitab Surat Al-Fatihah, lalu dilanjutkan dengan Surat Az-Zukhruf ayat 51-56, yang artinya, “Dan Fir‘aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Wahai kaumku! Bukankah Kerajaan Mesir itu milikku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; Apakah kamu tidak melihat? Bukankah aku lebih baik dari orang (Musa) yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? Maka mengapa dia (Musa) tidak dipakaikan gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?” Maka (Fir‘aun) dengan perkataan itu telah mempengaruhi kaumnya, sehingga mereka patuh kepadanya. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik. Maka ketika mereka membuat Kami murka, Kami hukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), maka Kami jadikan mereka sebagai (kaum) terdahulu dan pelajaran bagi orang-orang yang kemudian”.

Ada dua tugas yang melekat pada kita manusia, yaitu: (1) Tugas melakukan pengabdian hanya kepada Allah (akidah, ibadah, muamalah, tarbiyah, siyasah) dll, dan (2) Tugas sebagai khalifah (pemimpin) di buka bumi, yaitu amanah untuk mengelola, mengatur dan berbuat sesuatu untuk kesejahteraan manusia. Jika tugas (ibadah) pengabdian juga diberikan kepada jin dan manusia, tapi tugas amanah hanya diberikan kepada manusia. Bahkan semua makhluq lain tidak sanggup untuk memikulnya. Perhatikan Surat Al-Ahzab Ayat 72-73. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh, sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Tugas khalifah adalah tugas kepemimpinan. Ketika tugas ibadah dan kepemimpinan menyatu dalam diri manusia, maka amanah itu akan menghasilkan kebaikan. Pemimpin yang amanah akan menghasilkan kesejahteraan. Tugas ibadah dan tugas khalifah atau kepemimpinan akan menghasilkan peradaban yang baik, kesejahteraan dan keadilan. Tapi, jika pemimpin tidak amanah, maka akan menghasilkan kedzaliman dan kebangkrutan. Misalnya Fira’un yang banyak digambarkan dalam Al-Quran. Firaun tidak pernah merasa bahwa tugasnya sebagai pemimpin itu adalah amanah. Firaun merasa semuanya sebagai kekuasaannya, sebgaimana dijelaskan dalam ayat-ayat di atas.

Ketika kita merasa bahwa apa yang kita miliki ini adalah amanah, maka hal itu akan menghasilkan kesejahteraan, karena akan mengerjakannya dengan rasa tanggung jawab. Sebaliknya, ketika kita merasa bahwa semua yang kita miliki berkat jasa ilmu atau karya kita sendiri, maka hal itu akan menghasilkan kesombongan dan kedzaliman dan bahkan akan menghasilkan kecelakaan. Sekali lagi, esensi dari kepemimpinan adalah amanah. Perhatikan Surat Al-Ahzab ayat 36 “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”. Kita diperintah untuk tidak mengkhianati Allah dan Rasul-nya dan tidak mengkhianati amanah, baik sebagai hamba yang mengabdi atau ibadah, maupun sebagai khalifah. Semua yang ada pada kita adalah bersifat amanah, termasuk diri kita, umur kita, harta, anak-anak kita dll. Kita tidak memiliki hak mutlak terhadap harta, kekuasaan, keluarga, dll karena semuanya amanah. Kita tidak menguasai diri kita. Bahkan, hari esok pun kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Perhatikan Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadist bawa “Seseorang pasti kelak akan ditanya tentang 4 hal, yaitu:

  1. Usianya, akan ditanya telah dipakai untuk apa saja, dan semua akan dipertanggungjawabkan,
  2. Masa Muda, akan ditanya dipergunakan untuk apa saja, untuk leha-leha, untuk belajar dan mencari nafkah dll. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan. Desain masa depan tergantung pada pemuda hari ini;
  3. Harta yang dimiliki, dari mana atau bagaimana cara mendapatkannya, dan bagaimana cara memanfaatkannya. Inilah perbedaan penting antara ekonomi syariah dan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah, harta yang dimiliki akan ditanya bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana cara memanfaatnya, termasuk menunaikan hak-hak orang fakir-miskin di dalamnya; dan
  4. Ilmu yang dimiliki, apakah dimanfaatkan untuk kebaikan atau menghasilkan kerusakan. Sekadar catatan, ilmu yang dimanfaatkan untuk kebatilan, bahkan berdampak lebih merusak.

Contoh kedzaliman kepemimpinan Firaun yang diabadikan dalam Surat Az-Zukhruf di atas cukup jelas. Misalnya, perhatikan bagaimana bahasa atau kosa kata yang dipakai Firaun dalam memimpin negara dan bangsanya. Bangsanya dianggap tidak mampu berfikir atau bodoh, karena cenderung akan mempercayai Nabi Musa AS, bukan dirinya yang merasa maha perkasa. “Bukankah Kerajaan Mesir ini adalah milikku? Bukankah sungai-sungai ini mengalir di bawah kekuasaanku?” dst. Di sekitar Sungai Nil dan Istana Firaun itu landskap dan pemandangannya memang sanat indah. Dalam Shofwatut Tafsir, sungai-sungai yang bersambung dengan Sungai Nil adalah Sungai Malik, Sungai Tawaf, Sungai Rais, dan Sungai Yaiz, yang semuanya bersambung Sungai Nil. Firaun terlihat marah kepada kaumnya, apalagi tokoh laki-laki itu (Nabi Musa AS) adalah orang hina dan tidak dapat berbicara secara baik”. Kita masih ingat cerita-cerita masa kecil bahwa Nabi Musa AS pernah makan bara api ketika kecil, sehingga bicaranya pun cedal atau tidak jelas. Nabi Musa berdo’a kepada Allah agar dibantu seorang Wazir dari keluarganya, yaitu Saudaranya sendiri, Nabi Harun AS untuk membantu berbicara atau menjadi juru bicaranya, yang mampu menjelaskan dakwah kepada kaumnya. Pada ayat-ayat di atas, terlihat bahwa Bangsa Mesir memang mentaati perintah Firaun, karena takut dibunuh, takut dipancung, bukan karena respect karena akhlak dan perbuatannya. Firaun merasa bahwa semuanya adalah miliknya yang mutlak, hingga Allah SWT murka dan menenggelamkan Firaun dengan pengikutnya di Laut Merah. Itulah esensi dari tafsir ayat-ayat ini. Dalam Al-Quran terdapat banyak sekali sejarah orang baik, sejarah orang buruk, dll. Ini merupakan ibrah atau pelajaran penting dari kisah-kisah manusia terdahulu.

Menjawab pertanyaan tentang pemimpin dzalim hanya dapat berhasil jika didukung oleh orang-orang di sekelilingnya. Sekali lagi, pemimpin yang adil dalam sejarah adalah pemimpin yang amanah. Khalifah pertama sampai keempat (Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), bahkan sampai Khalifah ke-5 Umar bin Abdul Aziz, merupakan pemimpin yang amanah. Kita diajarkan bahwa kedzaliman itu akan mendapatkan balasan di dunia, tidak harus menunggu di akhirat. Dua perkara yang akan dibalas di dunia, yaitu: berlaku dzalim dan berlaku buruk pada orang tua. Tapi, kapan pemimpin dzalim di dunia ini akan hancur, itu merupakan hak dari Allah SWT. Kita tidak perlu memimirkannya kapan ia akan jatuh. Allah Yang Maha Tahu. Perhatikan Surat Al-Baqarah ayat 214, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *