Teater Politik Indonesia: Drama “Inkonstitusional Bersyarat”

Inkonstitusional Bersyarat
Zainal Bintang -  Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Zainal Bintang –  Wartawan Senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya

Hajinews.id – PRODUK legislasi yang mana saja yang telah diproduksi oleh pembentuk UU –dalam hal ini legislatif dan eksekutif selama era reformasi yang sudah berjalan 24 tahun– yang dapat disepakati sebagai produk yang demokratis. Dalam pengertian telah memenuhi aspek partispasi proaktif dari publik?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Belakangan ini muncul pertanyaan besar ini: dari publik, oleh publik, dan untuk publik.

Pertanyaan yang mengandung kecemasan kolektif dari ranah masyarakat sipil (civil society) bukan tanpa alasan. Karena telah menjadi penyebab laten kasus disharmoni di dalam ritme kehidupan politik.

Sederatan regulasi  –yang kini berlaku dan diperlakukan pemerintah mengatur tata kehidupan berbangsa dan bernegara– yang dinilai mengandung “cacat bawaan”. Sebutlah –yang lagi trending topic saat ini– diskursus pro kontra ancang-ancang pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana).

RKUHP itu sedang berada dalam kondisi tarik-ulur: antara pembentuk undang-undang dengan kalangan masyarakat sipil. Ditengarai bermuatan besaran bobot pemaksaaan dengan melalui prosedur dan proses gelap demokrasi. Alias tidak demokratis.

Suatu reproduksi penyimpangan koridor sebagaimana yang menimpa beberapa UU strategis pendahulunya.

Proses sejarah disharmoni revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja sampai sekarang dirasakan publik menggoreskan memori kolektif yang destruktif. Fakta realitas kelam menyertai riwayat kelahiran keduanya. Cacat prosedural alias penafian aspirasi publik terus disoal.

Penafian aspirasi publik yang terjadi itu, bukan sekedar publik opini alias suara “man on the street”. Peneguhan antidemokrastis itu ditemukan pada Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang UU Cipta Kerja yang menggolongkannya: ‘inkonstitusional bersyarat!”

Upaya uji coba pelestarian terobosan terabasan jalur cacat prosedural masih terus berlanjut. Ada upaya melembagakan menjadi perangkat instrumen ekstra duet maut eksekutif–legislatif.

Keduanya segendang dan sepenarian. Ibarat serupa tapi tak sama. Superaktif memproduksi regulasi demi regulasi nir paritispasi publik. Jamak disebut sebagai regulasi ugal-ugalan.

Berbekal narasi klise: partisipasi publik telah dilibatkan. Menggunakan nomor bukti absensi tumpukan nama pakar lintas ilmu. Dengan sederet gelar akademik yang wah…

Persoalan kemudian muncul. Semakin ruwet. Terkait perbedaan cara pandang asimetris. Tentang, apa itu partisipasi publik dari kacamata pembentuk undang-undang versus sudut pandang dari kacamata masyarakat sipil.

Pembentuk undang-undang menggunakan senjata kuantitas berbasis data dan fakta absensi. Kelompok masyarakat sipil bertahan pada keutamaan dimensi kualitatif dan kedalaman substansi.

Sejumlah pakar memang dilibatkan. Namun, hasil akhir menunjukkan keputusan final tetap saja didominasi kepentingan pembentuk undang-undang.

Tindakan berani bercampur nekat pembentuk undang-undang itu, menimbulkan rasa curiga masyarakat. Berbagai analisis dan pengkajian menuduh duet maut pembentuk undang-undang itu sepertinya menyimpan “hidden agenda” (agenda tersembunyi).

Berbau, ada aroma maksud-maksud tertentu bergeser kepada penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Paling tidak mengulur minimal menghasilkan keputusan: masa kerja kekuasaan sampai dengan tahun 2027.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan pada periode 2019-2024 ini lembaga yang ia pimpin tidak melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terkait Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *