Metode Unik Yang Membuat 40% Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul

Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul
Santri Planet Nufo Bisa Kitab Gundul
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ternyata ada cukup banyak faktor complicated yang mempengaruhi kemampuan para santri membaca kitab gundul. Faktor-faktor yang masih memungkinkan untuk dipenuhi itu oleh Planet NUFO diupayakan dengan keras untuk dipenuhi, sehingga hasil sementara ini sudah bisa cukup signifikan. Pada angkatan pertama santri Planet NUFO, terdapat tidak kurang dari 40% yang mampu membaca kitab gundul. Namun, sesungguhnya angka ini masih bisa ditingkatkan, jika upaya untuk lebih mendekati prasyaratnya terus diupayakan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bagaimana sesungguhnya usaha untuk itu? Berikut hasil wawancara eksklusif Planetnufo.com dengan bapak lima anak yang akrab disapa oleh para santri murid di Planet Nufo dengan Abah Nasih atau Abana:

Planetnufo.com: “Kenapa Abah Nasih sangat menekankan agar santri bisa membaca kitab kuning? Seberapa penting kemampuan membaca kitab kuning itu bagi seorang santri?”

Abana: “Saya sering menyebut bahwa hukum bisa bahasa Arab adalah wajib ‘ain. Tapi ada yang protes, katanya fardlu kifayah. Alasannya, yang wajib ‘ain itu bertanya kepada orang yang tahu, apabila tidak tahu. Padahal kita ini pada umumnya shalat memakai bahasa Arab. Kalau tidak mengerti bahasa Arab, berarti ya “membaca mantra”. Sebab, tidak mengerti artinya. Okelah. Anggap saja fardlu kifayah. Definisi fardlu kifayah ini juga harus kita rekonstruksi. Bukan sekedar jika ada satu orang yang melakukannya, maka sudah cukup. Yang lain sudah tidak dosa. Sekedar seperti shalat jenazah itu. Bukan begitu. Kifayah artinya cukup. Maka kita harus pakai rasio. Kalau rasionya terlalu kecil, maka walaupun hanya sekedar bertanya pun menjadi sulit. Agar rasionya besar, setidaknya di dalam setiap keluarga harus ada satu orang yang memiliki kemampuan bahasa Arab al-Qur’an. Lebih bagus lagi hafal al-Qur’an. Dengan demikian, kalau muncul persoalan, solusinya bisa diambilkan dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad.

Dengan begitu, sikap dan perilaku yang muncul sesuai dengan standard hidup seorang muslim, turut al-Qur’an dan Sunnah Nabi kita. Karena itulah, maka hukum bisa berbahasa Arab, lebih spesifik lagi membaca teks sumber-sumber Islam, bagi santri menjadi wajib ‘ain. Agar kalau ada keluarga, tetangga, orang sekampung mereka yang memiliki persoalan, para santri ini bisa menjadi rujukan yang memberikan solusi tepat, sesuai dengan keinginan Allah dan RasulNya.”

Planetnufo.com: “Sudahkah ada survey tentang berapa besar sebenarnya prosentase santri yang bisa membaca kitab gundul?”

Abana: “Membaca kitab gundul atau kitab kuning itu sesungguhnya istilah saja ya. Sebab, sekarang sudah banyak kitab yang tulisannya langsung dilengkapi dengan harakat dan kertasnya sudah tidak lagi kuning alias buram. Dulu kertas kan susah. Sekarang sudah lebih mudah. Maksudnya adalah mampu memahami makna teks Arab yang berisi kajian keislaman dengan memahami detil i’rabnya dan mampu menarik pemahaman yang tepat. I’rab itu posisi kata dalam sebuah kalimat, subjek, predikat, objek, keterangan, atau yang lainnya. Dalam bahasa Arab, ada posisi yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, misalnya tamyiz. Soal berapa persen, ini sebenarnya sesuatu yang sensitif. Bahkan bisa dikatakan sangat sensitif. Kalau kita menyebut angka rendah, pasti akan ada banyak guru agama atau ustadz di pesantren yang “meradang”.

Tapi, tidak apa-apalah. Kadang-kadang kebenaran memang sangat pahit. Tapi itu harus kita anggap sebagai jamu. Saya sendiri awalnya juga sangat kaget. Prosentase santri yang bisa baca kitab gundul tidak lebih dari 2%. Tapi oleh teman-teman saya yang bersikap objektif, saya malah dikritik bahwa angka itu ketinggian. Makanya, yang tidak setuju dengan data yang saya sampaikan ini, silakan melakukan riset pembanding, dan kita nanti bandingkan datanya. Lagian, data kan bisa berubah sewaktu-waktu, karena ada perubahan di lapangan. Tapi semangat kita sesungguhnya adalah untuk meningkatkan jumlah santri yang bisa membaca kitab gundul. Sebab, kita berharap, santri-santri inilah yang akan menjadi kader-kader muslim masa depan. Yang akan melakukan akselerasi kemajuan dengan menjadikan ajaran Islam sebagai inspirasi. Kalau Islam kan sumbernya jelas, al-Qur’an dan hadits.”

Planetnufo: “Berdasarkan pengalaman, apa yang menjadi faktor pendukung bisa membaca kitab gundul?”

Abana: “Ini pertanyaan yang sangat menarik. Dan sekali lagi, awalnya saya juga kurang memberikan perhatian mendalam tentang masalah ini. Namun, lama-kelamaan, karena setiap hari saya mengajar di pesantren, habis shubuh dan habis maghrib itu pasti, saya memberikan perhatian lebih. Mengajar santri yang paham dan tidak paham itu kan terasa sekali. Kalau paham, mereka nyambung. Kalau kita tanya rujukan ayatnya mana, juga bunyi. Kalau tidak paham, pandangan mata mereka kosong, bahkan ngantuk. Itu ibarat bertepuk sebelah tangan. Kita semangat, mereka loyo. Ibarat lain seperti mendorong mobil mogok, masuk gigi satu, dan hand remnya ditarik. Bisa membayangkan bagaimana rasanya mendorong mobil yang begitu? Karena itulah, saya kemudian mulai melakukan pendataan secara lebih detil. Dan sekarang sudah bisa saya bagi hasilnya. Faktor pendukung utamanya adalah: pertama, gizi; kedua, lingkungan bahasa saat anak mengalami tumbuh kembang; ketiga, guru. Sekali lagi, tiga ini yang utama. Sebenarnya masih ada yang lain-lain. Tapi kalau tiga hal utama ini beres, maka 2/3 persoalan bisa dikatakan selesai. Kita bisa mengajar anak-anak dengan hasil cukup optimal.”

Planetnufo: “Perlu diurai satu persatu ini, Bah!”

Abana: “Tentng gizi. Ini saya juga sering menemukan ustadz yang tidak bisa menerima bahwa gizi berpengaruh. Dugaan saya, karena cukup banyak pesantren yang dikelola secara apa adanya. Orang tua tidak mendukung. Bebannya kemudian ya di pak kiai. Kalau makannya harus empat sehat lima sempurna, ya boros. Lalu, mereka berargumen bahwa semua santri yang dia kenal bisa baca kitab gundul. Berbanding terbalik dengan temuan saya, bahwa jumlah yang bisa membaca kitab gundul itu hanya beberapa gelintir saja. Bahkan walaupun sudah mondok tiga sampai enam tahun, tashrif pun tidak hafal. Saya punya datanya lengkap. Kata sebagian pak ustadz ini, mereka yang bisa baca kitab gundul itu lebih sering makan pakai sambel. Kalau sudah begini ini kan saya tidak bisa menyampaikan data lagi.

Ya sudahlah, saya ngalah saja. Saya lebih percaya kepada istri saya yang dokter anak. Dan karena persoalan inilah stunting menjadi salah satu pokok persoalan yang sangat penting dalam kebijakan politik. Pak Kiai Ma’ruf Amin pun saat debat capres sudah membahas ini. Ini kemajuan. Pemimpin harus memiliki konsep untuk memastikan bahwa kekurangan gizi ini bisa diatasi. Sebab, gizi sangat berpengaruh kepada proses tumbuh kembang anak. Anak-anak yang cukup gizi, lebih memungkinkan untuk sehat. Dan kalau mereka sehat, maka proses belajar mereka juga akan lebih optimal. Nah, masalahnya, mayoritas santri ini masih berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Asupan makanannya belum empat sehat lima sempurna. Dan ini harus dimulai sejak proses kejadian, dimulai dalam kandungan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *