Istafti Qalbak!

Istafti Qalbak!
Imam Shamsi Ali, NYC Chaplain/Presiden Nusantara Foundation,,imam besar masjid New-York
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Imam Shamsi Ali, NYC Chaplain/Presiden Nusantara Foundation,,imam besar masjid New-York

Hajinews.id – Tulisan yang sama pernah saya tuliskan beberapa waktu yang lalu. Tapi mengingatkan “Adz-dzikra” itu selalu bermanfaat bagi yang punya iman (lil-mikminin) maka saya angkat kembali. Maklum kebohongan yang paling berbahaya adalah ketika sudah terjadi “kebohongan pada diri” sendiri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kita sepenuhnya sadar jika sekeliling hidup manusia itu, selain banyak menipu dan sangat keras (hard), juga terkadang kejam (harsh). Saking menipu dan kerasnya seringkali warna warni kehidupan disulap terbolak balik. Yang hitam bisa jadi putih. Yang putih bisa jadi hitam. Dan manusia begitu lemah mengekor kepada warna yang direkayasa sesuai kecenderungan hawa nafsunya.

Di sinilah Islam hadir memberikan solusi. Minimal ada tiga tingkatan solusi untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan menjadi korban kerasnya rekayasa warna hidup, yang kadang berujung pada tendensi kemunafikan itu.

Pertama, bersikap bagaikan pohon subur yang akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah. كشجرة طيبة اصلها ثابت. Sebuah ilustrasi bahwa orang beriman itu tidaklah mudah terwarnai oleh lingkungan sekitar. Tidak saja kuat Tapi juga subur dan memberikan buah-buah segarnya.

Kedua, Islam mengajarkan istiqamah atau konsistensi dalam warna iman kita sendiri. Pujian dan janji Allah kepada orang yang beriman (قالوا ربنا الله) lalu istiqamah (ثم استقاموا) bahwa mereka akan mendapatkan ketenangan hidup dunia akhirat. Bahkan bacaan kita: اهدنا الصراط المستقيم (tunjuki kami ke jalan yang lurus) bermakna antara lain “kuatkan kami untuk istiqamah” atau konsisten di jalan kebenaran.

Ketiga, Islam tidak saja mengajarkan orang-orang beriman untuk solid dan konsisten dalam kebenaran. Tapi lebih dari itu memerintahkan mereka untuk menjadi agen perubahan. Ajaran “amar ma’ruf nahi mungkar” bermakna antara lain agar Umat ini harus berjuang untuk “membentuk” keadaan dan jangan “dibentuk” oleh keadaan.

Tapi ada masa-masa di mana manusia lemah. Sering mengalami kegalauan akibat kerasnya alam sekitar. Apalagi di saat-saat ketika kecenderungan beragama itu mengikut arus emosi sesaat atau kepentingan sesaat. Terlebih lagi di saat kelemahan itu didukung oleh fitnah yang merajalela di mana-mana.

Di saat-saat seperti itulah kita diingatkan sebuah pesan Rasulullah SAW yang mengatakan: “استفت قلبك” (mintalah fatwa kepada hatimu).

Tentu Fatwa di sini bukan meminta sebuah keputusan hukum dalam agama. Tapi dalam bahasa yang sederhana dapat diartikan “nasehat, arahan, petunjuk, bimbingan” dan yang semakna.

Di saat fitna merajalela, trust (kepercayaan) kepada umara bahkan Ulama menurun, bahkan seringkali membingunkan. Di saat seperti itulah yang harus menjadi rujukan terakhir untuk menjadi pertimbangan dalam menyikapi dan/atau mengambil sebuah keputusan hidup adalah hati.

Pesan Rasul ini secara khusus menekankan hati sebagai bukti bahwa hati itu selama masih “hidup” harusnya bersifat suci (fitrah). Dengan kata lain, hati itu bersih, bening, berkarakter suci. Dengan kata lain karakter dasar dari hati adalah bersih, tidak kotor dan bukan dusta dan kepura-puraan.

Esensi pesan Rasul ini ada pada penekanan akan kejujuran hati. Karena memang karakter aslinya yang fitri. Sebuah karakter yang tidak akan berubah (لاتبديل لخلق الله).

Realita ini dalam bahasa sederhana biasa diungkapkan dengan “kata hati” atau “bisikan nurani”.

Sekaligus realita ini pula yang mengantar kepada kesimpulan bahwa kebohongan yang paling buruk adalah kebohongan pada diri sendiri. Karena dalam diri yang didustai itu ada kejujuran yang tak tertutupi atau fitrah manusia yang identik dengan “kesucian ilahi” (fitratullah).

Kedustaan pada diri dan kejujuran hati menjadi dua situasi yang paradoks dalam diri seseorang. Suasana yang paradoks (kontra) ini yang menjadikan seseorang itu selalu merasa terburu (being hunted). Bahkan ada perasaan tertekan yang dalam. Tidak akan merasakan kedamaian walau kadang nampak/berpura-pura tersenyum.

Dalam sebuah hadits Rasulullah mengekspos realita ini. “Al-itsmu maa haaqa fii sodrika” (dosa itu adalah sesuatu yang selalu menghantui di dadamu”. Kebohongan pada orang lain hanya akan menjadi hantu (hunting) di dada orang yang berdusta.

Dan karenanya dalam menyikapi hidup yang penuh tipuan, baik pada diri sendiri maupun orang lain, baiknya hati selalu menjadi rujukan. Mungkin jika ingin saya bahasakan secara sederhana: “jangan dustai dirimu”. Atau “jujurlah kepada hati nuranimu”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *