ILUSI ‘DAS KAPITAL’

ILUSI ‘DAS KAPITAL’
patung karl marx
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Irawan Santoso Shiddiq

Hajinews.id – Ini tentang kapitalisme. Anak kandung dari modernisme. Modernisme, tentu, buah dari produk renaissance di Eropa. Rennaisance, tentu, diadopsinya filsafat masuk ke belantara Eropa. Filsafat, semula menjadi ajang melawan dogma, tapi kemudian liar tak terkendali. Hingga melahirkan modernitas. Disitulah kapitalisme bersarang. Sebuah dogma baru, era modern.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Rennaisance harus dilihat mendalam. Ini kelanjutan fase mu’tazilah. Kala filsafat ‘di-Islam-kan’. Rennaisance, itulah fase filsafat ‘di-Kristen-kan’. Epos filsafat menjadi ajaran terlarang, itu telah lumrah. Romawi berkali-kali membredelnya. Socrates mati dalam racun cawan, bukti bagaimana bahayanya filsafat. Imam al Ghazali dalam ‘Tahafut al Falasifat’, telah memberi warning atasnya. Ibnu Khaldun dalam ‘Muqadimmah’nya, telah memberi arahan. Imam al Asy’ari, menunjukkan bagaimana pembelokan aqidah buah dari paham filsafat. Tapi renaissance kemudian memungutnya. Maka jadilah membesar kemudian membawa manusia modern pada kehancuran massa. Karena kehancuran, bukan semata persoalan rusaknya bumi. Melainkan jauhnya manusia dari Tuhan. Ian Dallas, ulama kesohor Eropa memberi gambaran. Pra renaissance, ‘Tuhan menjadi manusia.’ Pasca renaissance, ‘Manusia menjadi Tuhan.’ Karena renaissance, memaksa paham bahwa manusia adalah penentu segalanya. Inilah pondasi Karl Marx, yang menyembah bahwa ‘segala sesuatunya adalah materi.’

Marx tentu hanya secupak dari merebaknya filsafat, pasca renaissance. Tapi eranya, seolah dia memberi jawaban atas merebaknya kapitalisme, yang telah meraksasa mendunia. Virus yang membahakan manusia. Hanya Marx, dan pengikutnya, terkada kerap memberi solusi pada aksi massa dan massa aksi. Sementara peradaban, kerap mencatat sejarah, hanya persoalan Tauhidullah dan kufur, yang kerap berganti. Karena Sabda Rasulullah Shallahuallaihiwassalam menggariskan, “Kufur adalah satu millah.” Kapitalisme bukan dilawan dengan teori-teori. Kisah perjalanan para Nabi, memberi bukti bagaimana melumpuhkan dan meruntuhkan kapitalisme. Yang bersumber dari keserakahan, pangkalnya ialah nafsu syahwati.

Tapi ‘Das Kapital’ ala Marx seolah memberi solusi. Tentang rusaknya jaman oleh kapitalisme. Pasca revolusi Inggris, abad 19, kapitalisme menggeliat. Ini bukan tanpa jejak. Revolusi Perancis, 1789, menjadi titik awal. Kala kudeta kaum “Viva le nation” melawan “viva le Roi!” (Hiduplah Raja). Kudeta berdarah di Paris, Perancis, tentang ‘Vox Populi Vox Dei” menggantikan ‘Vox Rei Vox Dei” (Suara Raja Suara Tuhan). Karena pra revolusi, yang kemudian menjadi parameter bagi pengikut Marx dalam pergerakan, seolah menjadi titik tumpu untuk memulai sebuah paham. Padahal bukan.

Revolusi Perancis itu, seolah kebangkitan kaum ‘proletar’. Robbispierre, sang pemangku ajaran Jean Jacques Rosseou tentang ‘Le Contract Sociale’, seolah memberikan solusi. Perlawanan pada kedigdayaan Raja dan Gereja Roma. Penguasa Eropa, pasca runtuhnya Romawi, abad 4 silam. Masa itulah, kelas kaum Eropa terbagi tiga: bangsawan dan agamawan strata atas, kaum borjuis ditengahnya, dan kaum proletar kelas bawah. Pasca Revolusi Perancis, strata kelas berubah. Kaum borjuis mengambil alih. Kaum protetar tetap di bawah. Tak ada kelas kedua. Revolusi ternyata membawa dampak lebih buruk dibanding era ‘dogma.’ Itulah buah aksi massa dan massa aksi. Tak banyak perubahan berarti.

Karena revolusi Perancis, memantik revolusi industri di Inggris. Tak ada lagi Kebenaran. Karena Marx tak melihat bagaimana kapitalisme diproduksi. Sebab Marx melihat mesin-mesin produksi era kapitalisme, hanya dari kacamata “segala sesuatunya adalah materi.” Marx belum jauh. Dia hanya menjangkau apa yang diajarkan Rene Descartes dan Immanuel Kant. Ajaran dua ini yang seolah memulai ‘modernisme.’ Dari sanalah kapitalisme. Dan itu berlangsung sejak era renaissance. Dan, itu bermula dari filsafat. Kala Thomas Aquinas memasukkan filsafatnya Ibnu Rusyd, Al Farabi dan para mu’tazilah lainnya ke Eropa. Aquinas memulai dengan “Tweez Wardeen Theorie”, teori dua belah pedang. Aquinas mulai melawan Kebenaran tunggal ala dogma. Yang dikumandangkan Gereja Roma masa itu. Sehingga muncul kemudian Grotius. Mulailah mencuat ‘kebenaran’ ala filsafat. Maklum, masa itu Kebenaran didominasi tunggal oleh dogma, dan menampik rasionalitas. Alhasil terjadi kesenjangan.

Fase mu’tazilah, filsafat diadopsi. Tapi kemudian berdampak pada aqidah. Ini yang dilawan Imam Asy’ari, Imam al Ghazali, Ibnu Khaldun dan ulama-ulama ahlul sunnah wal jamaah. Karena filsafat, berujung pada Al Quran adalah makhluk. Yang memunculkan tragedy al mihnah. Ujian pemaksaan atas ketauhidan, yang wajib mempercayai Al Quran itu makluk.

Rennaisance, mulanya demi melawan Kebenaran tunggal ala dogma. Tapi kemudian filsafat berubah menjadi dominasi atas kebenaran. Kebenaran ala rasionalitas belaka. Ini dimulai dari Descartes. Teori ‘cogito ergo sum’nya diminati. Seolah ‘being’, muncul dari hasil olah pikiran semata. Dari situlah mulai eliminasi terhadap Kebenaran Wahyu. Inilah perbedaan filsafat skolastik dan filsafat modern. Karena era skolastik, masih menganggap adanya kebenaran Wahyu. Sementara modernitas, menampik Kebenaran ala Wahyu. Hingga hanya berpijak pada rasionalitas belaka. Dari situ, maka mencuat ajang bahwa segala hal yang berlaku pada era abang pertengahan Eropa, wajib dipikir ulang. Machiavelli mulai meluncurkan tentang teori kekuasaan. Bahwa penguasa, bukanlah ‘wakil Tuhan’, sebagaimana “Vox Rei Vox Dei’ yang kala itu bergema. Il Principe-nya Machiavelli menteorikan bahwa kekuasaan adalah sesiapa yang mampu dan memiliki jalan untuk merebut kekuasaan. Karena filsafat, meletakkan ‘qudrah dan iradah’ itu berada di tangan manusia. Bukan ditangan Tuhan. Rennaisance, mendudukkan Tuhan seolah bak pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, maka jam berjalan dengan sendirinya. Filsafat, melahirkan bahwa seolah ‘being’ itu muncul buah akal manusia, yang bersumber dari “ide bawaan’ ala Plato maupun ‘akal bawaan’ ala Aristoteles. Manusia, dianggap bisa memiliki ‘kehendak bebas.’ Ini yang dikumandangkan Thomas Hobbes, dalam Leviathan-nya. Soal ‘kehendak bebas’ inilah yang membuat manusia seolah lepas dari aturan ‘Lex Divina’. Hukum Tuhan. Karena manusia seolah memiliki kehendak dan daya, untuk membuat hukum sendiri, membuat aturan perihal keuangan sendiri, sampai menentukan pola kekuasaan sendiri. Tanpa mengacu lagi pada kekuasaan ala Tuhan. Disitulah Rosseau menelorkan ‘Le Contract Sociale” yang diamalkan masa Revolusi Perancis. Bahwa kekuasaan adalah kehendak manusia. Bukan kehendak Tuhan. Jadi, siapa yang berhak menjadi penguasa, seolah merujuk pada kehendak rakyat. Bukan kehendak Tuhan lagi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *