Islamophobia Sebagai Psiko-Abnormal

Islamophobia Sebagai Psiko-Abnormal
Islamophobia Sebagai Psiko-Abnormal
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pertama, melalui classical conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral jika stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan. Kedua, operant conditioning seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut dengan melarikan diri dari atau menghindarinya. Jenis pembelajaran yang kedua ini diasumsikan sebagai operant conditioning; respons dipertahankan oleh konsekuensi mengurangi ketakutan yang menguatkan.

Phobia juga bisa muncul melalui modelling berdasarkan vicarious learning dalam arti seseorang bisa mengalami gangguan kejiwaan berupa phobia terhadap obyek tertentu ketika mendapati orang yang yang dipercaya [tokoh] melakukan upaya-upaya verbal terhadap obyek tertentu yang akhirnya menimbulkan reaksi fobik. Jika seorang tokoh cendekiawan atau pemimpin komunitas selalu menakut-nakuti anggotanya tentang Islam secara berulang kali, maka akan muncul reaksi fobik pada komunitas sosial itu terhadap Islam. Padahal reaksi fobik itu bersifat emosional belaka, bukan rasional. Akhirnya melalui upaya verbal tokoh tersebut menimbulkan gangguan kejiwaan jamaahnya berupa islamophobia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Inilah yang terjadi saat ini, kenapa banyak orang yang tiba-tiba mengidap penyakit kejiwaan islamophobia berupa ketakutan yang irasional terhadap islam yang justru sebuah sistem dan ajaran mulia dan terbukti mensejahterakan seluruh manusia. Islam oleh Allah adalah rahmatan lil’alamin, namun jika seseorang mengidap penyakit kejiwaan berupa islamophobia, maka Islam akan dianggap sebagai monster menakutkan. Islamnya tidak salah, namun penyakit phobianya yang harus disembuhkan. Dalam perspektif classical conditioning, Islam sengaja dikondisikan sebagai kondisi yang menakutkan dengan cara dipasangkan dengan berbagai kejadian yang secara instrinsik menakutkan.

Dalam hal ini konsep Islam lebih khusus khilafah disandingkan dengan perilaku ISIS yang biadab dan mengaku mewakili Islam, maka timbullah ketakutan irasional. Padahal Islam dan khilafah itu mulia, dan perilaku ISIS adalah kondisi buatan mereka. Padahal Islam dan khilafah tidak ada hubungannya sama sekali dengan ISIS yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Maka ISIS bukan Islam, tapi dikondisikan seolah berasal dari Islam.

Efeknya banyak masyarakat yang terjebak dengan psikoterorisme ala Barat ini sehingga masyarakat justru takut dan menghindar dari ajaran Islam. Lebih dari itu kadang umat Islam sendiri justru membenci, menfitnah, memusuhi Islam dan para pejuangnya. Inilah kondisi di mana masyarakat mengalami penyakit kejiwaan berupa Islamophobia karena berhasil dikondisikan oleh Barat melalui upaya monsterisasi Islam, syariah dan khilafah.

Istilah Islam juga sering disandingkan dengan istilah anti kebhinekaan, anti pancasila dan lainnya. Karena itu jika ada orang menolak Islam, maka orang tersebut tengah mengalami gangguan kejiwaan [psiko-abnormal] berupa phobia yang harus segera disembuhkan. Reaksi fobik yang timbul dari impuls-impuls id tentang Islam, orang phobia hewan masih bisa dipahami saat melihat hewan tersebut, sementara Islam itu sebuah agama. Bagaimana bisa ada orang yang takut kepada agama yang baik bagi negeri ini, namanya juga phobia.

Islamophobia berdampak kepada kecacatan keterampilan sosial bagi pengidapnya. Dukungan terhadap model psikologi behavioral ini berasal dari berbagai penemuan yang menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki kecemasan sosial memang memiliki skor rendah dalam tingkat keterampilan sosial (Twentyman & McFall, 1975) dan bahwa mereka tidak mampu memberikan respons pada waktu dan tempat yang tepat dalam interaksi sosial (Fischetti, Curran, Sr Wessberg, 1977) , misalnya melakukan berbagai tindakan terhadap orang-orang yang mendakwahkan Islam.

Perhatikan bagaimana perspektif rendahnya keterampilan sosial ini terkait dengan teori avoidance conditioning yang telah dikaji sebelumnya. Seseorang yang keterampilan sosialnya rendah memiliki kemungkinan menciptakan situasi yang menakutkan bersama orang lain. Dalam kaitan Islamophobia, masyarakat Barat lantas memberikan berbagai gambaran yang menakutkan agama Islam ini. Ironi, orang Barat yang dikenal rasional, namun dalam soal Islam, mereka justru mengalami gangguan kejiwaan yang irasional.

Dalam perspektif psikologi abnormal, gangguan kejiwaan berupa phobia ini bisa disembuhkan melalui terapi kognitif. Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara khusus berfokus pada bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap. Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih hesar untuk menanggapi stimuli negatif, menginterpretasi informasi yang tidak jelas sebagai informasi yang mengancam, dan memercayai bahwa kejadian negatf memiliki kemungkinan lebih besar untuk terjadi di masa mendatang (Heinrichs & Hoffman, 2000; Turk dkk.,2001).

lsu utama dalam teori kognitif adalah apakah kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan menyebabkan kognisi tersebut. Walaupun beberapa bukti eksperimental mengindikasikan bahwa cara menginterpretasi stimuli dapat menyebabkan kecemasan di laboratorium (Matthews & McKintosh, 2000), namun tidak diketahui apakah bias kognitif menjadi penyebab gangguan anxietas.

Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalami kecemasan sosial telah meneliti faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-orang yang mengalami kecemasan sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain dibanding orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial (Goldfried, Padawer, & Robins, 1984), lebih memerhatikan citra yang mereka tunjukkan pada orang lain (Bates, 1990), dan cenderung melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam suatu interaksi sosial (Wallace 61 Alden, 1997).

Selain menggunakan pendekatan teori kognitif, Islamophobia juga bisa disembuhkan melalui lima pendekatan terapi psikologis berikut : [1] Flooding. Flooding dilakukan dengan cara exposure treatment yang ekstrim, yakni penderita phobia dimasukkan ke dalam ruangan kajian atau seminar tentang Islam. [2] Desentisisasi sistematis. Desentisisasi sistematis dilakukan dengan exposure treatment yang lebih ringan berupa rileksasi dan membayangkan berada di tempat yang sangat indah, nyaman, bahagia dan sejahtera ketika Islam diterapkan.

[3] Abreaksi. Abreaksi dilakukan dengan cara penderita Islamophobia dibiasakan untuk membaca tentang agama Islam melalui berbagai media. [4] Reframing. Refreming merupakan cara menyembuhkan Islamophobia dengan membayangkan kembali menuju masa lalu dimana permulaannya si penderita mengalami phobia. [5] Hypnotherapy. Hypnotherapy merupakan cara menyembuhkan Islamophobia dengan memberikan sugesti-sugesti positif untuk menghilangkan Islamophobia melalui berbagai training motivasi.

Dalam perspektif historis, orang-orang Arab yang mengalami Islamophobia sering disebut sebagai orang-orang jahiliyah. Predikat jahiliyah adalah kondisi dimana manusia didominasi oleh nafsu dan perasaan semata dengan mengabaikan akal pikiran. Kepercayaan yang irasional terhadap nenek moyang telah menutup akal orang-orang jahiliyah saat itu. Namun ketika diantara mereka mulai berfikir karena ajakan Rasulullah, maka banyak diantara mereka justru bertobat dan berbalik menjadi pejuang dan pembela Islam bersama Rasulullah. Karena itu jika masih ada manusia yang mengalami Islam phobia saat ini, maka layak disematkan kepada mereka sebagai jahiliyah modern.

Masyarakat jahiliyah dengan karakter susunan fisiologisnya tidak akan dapat menerima elemen muslim yang melakukan aktivitas dari dalam, kecuali jika aktivitas, energi dan kemampuan muslim tersebut sesuai dengan kepentingan masyarakat jahiliyah, serta mengokohkan kejahiyahannya. Mereka yang mengimajinasikan dirinya mampu melakukan aktivitas untuk kepentingan agamanya dengan cara terlibat dalam masyarakat jahiliyah dan beradabtasi dengan struktur dan perangkatnya (sistem pemerintahan) adalah orang-orang yang tidak mengenal karakter fisiologis masyarakat. Karakter ini yang memaksa setiap orang yang berada dalam masyarakat untuk beraktivitas sesuai dengan kepentingan, manhaj dan pemahaman masyarakat. Oleh karena itu, para Rasul yang mulia menolak untuk kembali kepada agama kaumnya, setelah menerka diselamatkan oleh Allah dari sana (Tafsir Fi Dhilal al Qur’an, juz IV hlm. 2092)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *