Anies Dan Politik Identitas

Anies Dan Politik Identitas
Anies Baswedan, Foto: Facebook Anies Baswedan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pada tahap ini, identitas pribadi seorang figur di dalam suatu kelompok politik berperan mewarnai dinamika kelompok politiknya melalui pencitraan pribadi. Itu sebabnya, di dalam kajian-kajian tentang modernitas, identitas dihubungkan dengan teori tentang diri ( the self) dan interpretasi diri terhadap dirinya sendiri ( self’s interpretation of itself) yang oleh banyak ahli dibedakan dalam dua kategori, yaitu identitas individu ( how a person is) dan identitas kelompok ( how a person are).

Identitas Anies

Politik identitas adalah produk sejarah bangsa Indonesia. Sejak zaman pergerakan Indonesia, politik identitas menjadi satu-satunya pilihan untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kolonialisme dan imperialisme. Mulai dari zaman Budi Utomo 1908, ada nama Wahidiin Sudirohusodo, Sutomo, Soeradji, adalah nama-nama priyayi kelas menengah Jawa yang berpendidikan moderen dan berprofesi dokter tapi berpikir tentang Indonesia. Kemudian di era 1928 ditandai dengan Sumpah Pemuda dimana kelas menengah pelajar dan pemuda menyuarakan identitas kedaerahan dan kelompok sosialnya. Ada Jong Sumatera, Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, tapi mereka semua berbicara tentang Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pada era kemerdekaan, kelompok-kelompok kelas menengah Indonesia membentuk partai-partai politik yang berhaluan primordialis, sosialis, komunis dan Islamis. Semua mereka berbicara tentang Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Politik identitas itu tergambar 67 Anggota BPUPKI di tahun 1945 juga di era Demokrasi Liberal (1950-1956), dari 155 anggota yang duduk di Majelis Konstituante adalah representasi politik identitas aliran, golongan, agama, kelompok sosial dan wilayah. Puncaknya adalah identitas Islam dan nasionalisme yang kesemuanya berbicara tentang Indonesia yang adil dan makmur.

Di era Demokrasi Terpimpin (1956) Soekarno sendiri menggagas identitas nasionalisme, agama dan komunisme (Nasakom) sebagai antitesa terhadap demokrasi parlementer yang banyak konflik. Bahkan jauh sebelumnya di tahun 1927 (setahun sebelum Sumpah Pemuda), Soekarno telah mengumandangkan politik identitas lewat artikel yang dimuat di Indonesia Moeda, sebuah publikasi terbitan “Klub Studi Umum” ( Algemeene Studie Club/ASC) yakni kelompok diskusi yang dia dan teman-temannya bentuk sewaktu kuliah di Bandung. Dalam artikel itu, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum nasionalis, Islamis dan Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Memasuki Indonesia moderen, partai-partai politik zaman Orde Baru hingga orde reformasi menggunakan atribut keagamaan dan jargon-jargon nasionalisme sebagai identitas. Megawati Soekarnoputri dan kini diikuti anaknya Puan Maharani di spanduk dan baliho tertulis kata “Merdeka” dengan kepalan tangan dan gambar Soekarno di belakangnya. Itulah politik identitas sebagai pelanjut Soekarnoisme. Pasca Baru, sinetron-sinetron islami mewarnai layar televisi Indonesia. Oleh Ariel Heryanto (2018) budaya pos-Islamisme ini digandrungi banyak orang lalu kaum perempuan mengganti tren berbusana Muslimnya mengikuti budaya layar ini tetapi perusahaan-perusahaan televisi itu tidak dituduh melakukan politik identitas.

Politik identitas pada masa Soekarno tentu berbeda pemaknaannya dengan politik identitas yang berkembang di masa Jokowi. Gerakan sosial 212 yang diklaim berhasil memenangkan Anies sebagai gubernur DKI mengalahkan Ahok dinilai sebagai politik identitas. Juga ketika alumni gerakan 212 menyatakan dukungan kepada Prabowo-Sandiaga-Uno dalam Pilpres 2019 dicap sebagai politik identitas. Sementara kalau perkumpulan orang Batak dan orang Manado mendukung pasangan capres Jokowi-Ma’ruf Amin tidak dianggap politik identitas. Politik identitas adalah persamaan dan perbedaan, mengapa harus takut?

Mari kita memahami sejarah politik kebangsaan para the founding fathers bangsa Indonesia. Siapa yang tidak mengenal H.O.S. Tjokroaminoto, pendiri Syarikat Islam (selanjutnya menjadi Sarekat Dagang Islam) adalah seorang guru. Dia adalah seorang sosialis Muslim yang darinya Soekarno, Semaun, Kartosuwiryo, Alimin, Muso dan Tan Malaka belajar tentang nasionalisme Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Mr. Kasman Singodimedjo, yang pernah menjabat Jaksa Agung dan juga Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah anggota aktif Muhammadiyah dan mantan Sekjen Partai Islam Masyumi. Siapa yang tidak mengenal Mohammad Natsir, seorang ulama, politikus dan pejuang. Ia merupakan pendiri dan pemimpin partai Islam Masyumi dan pernah menjabat Menteri dan Perdana Menteri, sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia (World Mosque Council). Siapa yang tidak mengenal Alexander Andrias Maramis, orang Manado Kristen yang menjadi salah satu anggota Panitia 9 (dari 67 anggota BPUPKI) yang merumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Ia juga aktif di KNIP dan menjadi Menteri keuangan dan duta besar Indonesia di Finlandia.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *