Bak pepatah menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Calon-calon presiden yang pendukungnya menyebar isu politik identitas ternyata juga tampil dengan pakaian muslim. Berkopiah, berkerudung, mendatangi masjid dan pondok pesantren. Pakai politik identitas juga.
Maka muncul joke Partai Setan Gundul pun memakai politik identitas. Politik tanpa identitas itu politik gak jelas. Istilah petugas partai itu politik identitas. Sebab orang yang sudah terpilih jadi presiden itu berjuang untuk bangsanya. Bukan dikendalikan oleh orang-orang partainya.
Integritas
Pemimpin itu diukur dari integritas, kapabilitas, dan kualitas. Jangan memilih karena isi tasnya saja. Lihat track record-nya. Fakta yang tak bisa disangkal, praktik demokrasi kita sudah rusak. Pemilu memunculkan transaksi duit antara politikus dengan pemilih. Petugasnya bisa disuap untuk mengubah suara. DPR, gubernur, bupati, walikota, pejabat menjadi koruptor.
Sudah 77 tahun merdeka. Tapi cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum mewujud. Yang makmur sejahtera baru kumpulan pengusaha yang dekat penguasa. Seperti Sembilan Naga itu. Atau konsorsium 303 itu. Oligarki namanya. Pancasila masih jadi slogan yang cuma diteriakkan. Setelah teriak lalu ditangkap KPK karena korupsi.
Cita-cita persatuan Indonesia sudah terbelah oleh buzzer menjadi kadrun dan cebong. Kemanusiaan yang adil dan beradab telah berubah menjadi bangsa biadab. Polisi membunuh rakyat seenaknya karena merasa berkuasa. Seperi pembunuhan enam laskar FPI, pembunuhan Brigadir Joshua, Tragedi Stadion Kanjuruhan, penembakan dan pemukulan sampai mati demonstran.
Masihkah praktik demokrasi seperti di Indonesia ini diteruskan? Kalau dilanggengkan tak lama negara ini makin rusak dan hancur. Atau kita serahkan saja urusan politik negara ini ke politikus Inggris. Siapa tahu bisa jadi makmur. Atau jangan-jangan malah ketularan politikus kita. Menuduh lawan pakai politik identitas. Padahal dia sendiri yang memainkan.