Prof Haedar Nashir Versus LD-PBNU Dalam Merespon Program Deradikalisasi Rezim Joko Widodo

Prof Haedar Nashir Versus LD-PBNU
Prof Haedar Nashir. Foto: Facebook Haedar Nashir
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Budi Nurastowo Bintriman

Hajinews.id – Baru-baru ini, Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (LD-PBNU) mengadakan Rakernas. Tentu ada beberapa tema yang dibahas di dalamnya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian publik, yaitu respon NU terhadap fenomena intoleransi, ektremisme, radikalisme, dan terorisme.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Isu-isu tersebut juga menjadi perhatian bagi Haedar Nashir. Perhatiannya tersebut berwujud dalam pidato pengukuhan profesornya dalam bidang sosiologi. Ia memberi judul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”.

Antara LD-PBNU dengan Haedar Nashir ternyata banyak perbedaan, bahkan pertentangan. Maka perbedaan dan pertentangan tersebut menjadi sangat menarik pula untuk diangkat ke publik. Semoga tulisan ini mendewasakan, mencerdaskan, dan mencerahkan bangsa ini, dan umat Islam ini.

Atas rumusan-rumusan yang terpublikasi (yaitu : ekstremisme, radikalisme, dan terorisme) yang hendak diberantas, tampak nyata terasa, bahwa LD-PBNU lebih fokus menyasar ke Islam. Ini bisa dirunut dengan istilah-istilah yang dimunculkan, seperti : wahabi, takfiri, tuduhan bid’ah, hijrah fest ataupun hijab fest.

Ditambah lagi, LD-PBNU merujuk pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD, bahwa ajaran wahabi sama sekali tidak cocok dengan corak, kultur, dan karakter umat Islam Indonesia. Dan Said Aqil Siraj menyatakan, bahwa ajaran wahabi adalah pintu masuk terorisme di Indonesia.

Sementara bagi Haedar, fenomena intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme mempunyai spektrum universal. Artinya semua ajaran entah itu agama, kepercayaan, filsafat dan lain sebagainya mempunyai peluang yang sama untuk terhinggapi penyimpangan-penyimpangan tersebut. Itu bukan melulu ada dalam Islam saja.

Di sini tampak jelas, bahwa LD-PBNU terlalu menyederhanakan persoalan. Akibatnya bisa terjadi distorsi yang justeru menyesatkan. Haedar mengistilahkannya justeru terjadi “bias islamophobia”.

Kemudian LD-PBNU mengusulkan kepada pemerintah agar lebih menggencarkan lagi program deradikalisasi dengan istilah Da’i Kamtibmas dan Satgas Da’i Maritim. Dan ke sini-sininya, LD-PBNU menawarkan kerjasama NU-Polri untuk program deradikalisasi pemerintah.

Istilah “Da’i Kamtibmas” dan “Satgas Da’i Maritim” sangat berbau pendekatan keamanan-militeristik. Maka itu seolah mengkonfirmasi apa yang ditengarai oleh Haedar Nasir. Cara-cara rezim Joko Widodo dalam menghadapi isu intoleran, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme masih sama dengan cara-cara rezim Orla dan rezim Orba, yaitu dengan pendekatan keamanan-militeristik.

Lebih lanjut, Haedar mengkhawatirkan, bahwa kekerasan yang dihadapi dengan kekerasan justeru akan melahirkan kekerasan baru tanpa berkesudahan. Ini terbukti dengan sangat terang-benderang, bahwa fenomena intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme tak pernah tuntas, tak pernah ada kejelasan, dan justeru semakin samar serta misterius.

Makanya Haedar malah menengarai, bahwa sebenarnya persoalan intoleransi, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme sangat erat kaitannya dengan konspirasi global. Menurutnya semua itu pasti ada backingnya, ada sponsor dan dana besar di belakangnya. Kekuatan global itu bermain dan berkelindan dengan kekuatan domestik. Tujuannya tentu untuk menangguk keuntungan besar-besaran material dari bumi Indonesia.

Parahnya, Haedar menengarai, bahwa program deradikalisasi yang bias islamophobia itu memang justeru untuk terus diproduksi meskipun sejatinya obyeknya itu sendiri tak ada. Sebab program ini beraroma proyek. Maka pihak-pihak yang mudah goyah terhadap godaan rupiah pasti menjadi pendukung program tersebut.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar