Forum R20 akan mempertemukan para pemimpin agama dan sekte-sekte dunia dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 dan negara non-anggota presidensi G20.
Total negara negara yang terkonfirmasi hadir pada perhelatan R20 sebanyak 32 negara dengan 464 partisipan. Forum tersebut akan menghadirkan 40 pembicara dari lima benua.
Sementara itu Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar menegaskan, Forum Agama G20 atau R20 mengajak para pemimpin agama untuk menjunjung moralitas dan tata krama dalam berkehidupan.
“Forum R20 mengajak untuk menjunjung moralitas dan tata krama, hasil dari masyarakat kita untuk dapat bersungguh-sungguh dan menghasilkan solusi berdasarkan tindakan keagamaan dan kemanusiaan terhadap berbagai permasalahan global yang melanda dunia,” katanya.
Organisasi NU dan Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) sebagai penyelenggara Forum R20 ini, menurut Kiai Miftach, memiliki cita-cita yang besar kepada para peserta sebagai pemimpin agama global untuk dapat mewujudkan nilai-nilai agama sebagai solusi persoalan yang melanda dunia.
Menteri Agama Republik Indonesia H Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan, globalisasi melahirkan paradoks, dua hal yang sama sekali bertentangan. Di satu sisi ada turis dan di sisi lain ada gelandangan. Turis atau wisatawan itu merupakan analogi orang kaya yang tengah berlibur dan menyenangkan, sedangkan gelandangan gambaran kaum miskin terlunta, seperti pengungsi dan kaum imigran.
Dalam Sesi Panel Forum Agama G20 atau Forum R20 di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Menag mengatakan, semua masyarakat dan wilayah dunia, antara utara dan selatan, dunia pertama dan dunia ketiga, orang kaya dan orang miskin, semua terjalin secara paradoks dalam persamaan kultural sekaligus perbedaan jurang ekonomi dan sosial. Namun, globalisasi tetap tidak mungkin menghapuskan perbedaan-perbedaan dari warga atau umat masing-masing yang suaranya diwakili di sini. Globalisasi tidak mengubah fondasi tatanan lokal, nasional, regional, dan dunia, meski salah satunya dengan homogenisasi budaya.
“Homogenisasi dalam kebudayaan bisa berarti ekstreminasi dan kekerasan simbolik. Ia menghapuskan jejak identitas dari suatu masyarakat dan budaya lokal yang sebelumnya eksis, baik itu adatnya, makanannya, sistem politiknya, dan simbol-simbol kebudayaan lainnya,” kata pria yang akrab disapa Gus Yaqut itu