Cerita Tiga Pemimpin Dunia dan Takdir Anies Baswedan

Cerita Tiga Pemimpin Dunia dan Takdir Anies Baswedan
Cerita Tiga Pemimpin Dunia dan Takdir Anies Baswedan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dengan cepat ia mengupload aplikasi ketua Mao, dan jadilah ia sebagai calon presiden seumur hidup.

Bagaimana Indonesia? Berbeda dengan Putin, Jin Ping, dan Trump, apa yang terjadi di Indonesia menunjukkan sebuah kreativitas tidak biasa. Mulai dari strategi malu-malu, tukar guling jabatan, sampai dengan menghalangi calon presiden yang antithesis rezim petahana.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dimulai dengan menggerakkan 3 tokoh partai koalisi di parlemen, ide perpanjangan masa jabatan dilemparkan. Ibarat makanan basi yang dijual di kaki lima, wacana tokoh dari tiga partai itu ditanggapi dingin dalam koalisi. Kreativitas itu menjadi tumpul, ketika dua partai pendukung utama mengirim signal tidak setuju.

PDI Perjuangan dan NasDem berdiri tegak tak menyambut gagasan perpanjangan masa jabatan itu. Dalam status tak jelas tentang wacana itu, tampillah promotor utama, yang sudah lama berada di balik tabir, atau mungkin tak berani tampil.

Tak tanggung tanggung, yang diperkenalkan adalah gagasan hibrid baru demokrasi. Namanya demokrasi digital. Klaim yang diajukan juga tak sembarang, 110 juta pengguna media sosial, ingin pemilu ditunda.

Jika Putin mengacaukan pemilihan Presiden AS yang membuat Trump menang dengan berbagai propaganda di sosial media, di negeri ini justeru perbincangan sosial media yang ingin dijadikan jusfikasi penundaan pemilu.

Itupun belum pasti ada dan benar. Kegagalan upaya merobah konstutitusi rupanya tak menghentikan impian untuk kelanjutan berkuasa.

Mungkin karena rujukan Rusia, perlu dicari Dmitry Medvedev Indonesia. Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan.

Tukar guling Rusia sangat sederhana, Presiden menjadi Perdana Menteri, sementara Perdana Menteri menjadi menjadi Presiden. Walaupun Putin sebagai presiden berpindah menjadi Perdana Menteri pada tahun 2008, dan Medvedev menjadi Presiden, semua orang tahu siapa penguasa Rusia yang sesungguhnya.

Ide untuk mengawinkan yang sempat bertanding pada dua kali Pilpres dimunculkan. Improvisasi model Rusia untuk Indonesia kemudian didapatkan rumusnya. Prabowo Subianto -pernah menjadi Capres dua kali- kini Menteri Pertahanan, menjadi presiden, sementara Jokowi menjadi wakilnya.

Apa yang terjadi? Publik tak menanggapi, dan bahkan menjadi sebuah olok-olok.

Tak berlebihan, ketua Jokowi Mania, Immanuel Ebenezer, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai sosok idealis dan objektif, mengeluarkan kritik keras, baik untuk presiden tiga periode, maupun untuk menjadi Wapresnya Prabowo.

Warna asli keinginan untuk bertahan dengan segala cara dan membendung Capres yang tak diinginkan, akhirnya terbongkar dengan sangat gamblang ketika HUT Golkar pada tanggal 22 Oktober yang baru lalu.

Dalam sambutannya, yang nampaknya seolah rileks dan penuh guyon, Presiden Jokowi melepas dua missil Javelinnya. Peringatan itu ditujukan kepada keluarga besar Golkar, anggota partai koalisi, dan bahkan publik nasional secara keseluruhan. Kedua missil itu adalah ungkapan, “sembrono”, dan “jam terbang”.

Dan itu jelas ditujukan kepada NasDem dan Anies Baswedan. Sekalipun tersenyum, ketika ia mengatakan “sembrono” ada nada dan bahasa tubuh yang mengirim pesan kepada audiens, terutama kepada Nasdem, bahwa “saya ndak suka itu”. Ketidaksukaan itu kemudian menjadi lebih terang benderang, ketika ia menyebut “jam terbang”, dan itu jelas ditujukan kepada Anies yang seolah hanya baru satu periode menjabat Gubernur.

Penafsiran tentang kepemimpinan Indonesia masa depan, kini seolah menyatu dengan diri Presiden Jokowi sendiri. Apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan, seolah itulah jalan Indonesia masa depan yang benar.

Kalaulah terlalu sukar untuk menemukan posisi Jokowi terhadap Anies Baswedan, dua ungkapan tentang Pipres 2024 pada malam HUT Golkar adalah klimaks dari seluruh ketidaksukaannya terhadap Gubernur DKI itu.

Walaupun statemennya ringan dan rileks, kedua ungkapan itu adalah refleksi emosi yang umurnya sudah tahunan. Bukan tidak mungkin, ketidaksukaan itu dimulai dari pemecatan Anies dari Mendiknas pada akhir Juli 2016, tanpa sebuah penjelasan kepada publik.

Ketidaksukaan itu terus mengalir mencapai sejumlah titik puncak, Anies mengalahkan Ahok, Anies stop reklamasi, Anies tentang Covid-19, dan Anies Formula E. Lanjutannya, Anies dicintai warga DKI, dan kini bahkan dicintai masyarakat nasional secara luas.

Pengumuman NasDem untuk pencalonan Anies sebagai Capres seolah menjadi “nubuat” final bagi rezim petahana. Sejarah kejatuhan Konstantinopel pada 22 Mai 1453 yang dihubungkan dengan gerhana bulan pada tanggal yang sama, yang disaksikan oleh Konstantin IX dan rakyatnya, seolah mempunyai analogi profetik dengan keputusan launching Anies sebagai Capres Nasdem oleh Surya Paloh.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *