Tafsir Al-Quran Surat Al-Jatsiyah Ayat 21-26: Mempertuhankan Hawa Nafsu Penyebab Utama Kecelakaan Hidup

Tafsir Al-Quran Surat Al-Jatsiyah Ayat 21-26
Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ta’lim Bakda Subuh
Ahad, 6 November 2022

Oleh: Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Disarikan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin

Hajinews.id – Alhamdulillahi rabbil a’lamin. Kita dapat berjumpa lagi dalam Penhajian Tafsir di Masjid Al-Hijri II pada pada pagi ini Hari Ahad tanggal 11 Rabiul Akhir 1444 H bertepatan dengan tanggal 5 November 2022, untuk meneruskan kajian Tafsir Al-Quran dan mendalami ayat-ayat Allah. Insya Allah kita melanjutkan kajian tafsir kita pada Surat Al-Jatsiyah 21-26. Mari kita membaca Ummul Kitab Surat Al-Fatihah bersama-sama, dilanjutkan dengan Surat Al-Jatsiyah ayat 21-26 tersebut, yang artinya, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk (hidayah) sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan: “Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar”. Katakanlah: “Allah-lah yang menghidupkan kamu kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Ada beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas. Pertama, Allah SWT menciptakan manusia berbeda antara satu dan lain. Perbedaan itu ada yang bersifat given, yang harus diterima apa adanya. Kita diciptakan sebagai laki-laki, perempuan, dengan warna kulit, berbangsa-bangsa, dll. Tidak boleh kita berbangga karena keturunan, karena kesukuan, kebangsaan, warna kulit dll. Perbedaan itu bersifat given, tidak ada unsur usaha manusia, sehingga kita tidak ada pilihan lain untuk itu. Kedua, Allah SWT juga menciptakan manusia secara berbeda secara takdir dan ikhtiari, termasuk yang berkaitan dari keimanan, hidayah, kasbi, dll. Allah SWT yang memberikan hidayah kepada kita kepada yang dikehendaki-Nya. Tapi, kita diperintah untuk mengundang atau menjemput hidayah itu. Perhatikan Surat Al-Kahfi ayat 29. “Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. Jelasnya adalah, barang siapa di antara kalain menghendaki iman, maka dia akan beriman dan barang siapa yang menghendaki kufur, maka dia akan kufur. Ketentuan tentang hidayah ini akan diberikan kepada manusia yang benar-benar mengusahakan. Dalam setiap shalat, kita membaca Surat Al-Fatihah, berdoa agar ditunjukkan pada jalan lurus. Di sini terdapat dua hal sekaligus, ada upaya manusia dan ada juga ketentuan Allah SWT.

Allah SWT akan bersama dengan orang-orang yang baik (ihsan). Perhatikan Surat Al-Ankabut ayat 69. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. Allah SWT akan bersama dengan orang-orang yang ihsan, yang terbaik untuk meraih hidayah dari Allah SWT. Di sinilah perbedaan substansial, antara muslim dan non-muslim. Allah SWT membedakan orang-orang yang muslim dengan non-muslim. Ayat-ayat dalam Surat Al-jatsiyah ini menjelaskan perbedaan orang yang beriman dan tidak beriman. Kita tidak boleh menganggap bahwa semua agama sama. Setiap agama pasti berebda. Kita diperintah untuk menghargai perbedaan agama itu, karena memang ada yang berbeda. Perbedaan aqidah dan cara pandang akan menyebabkan pemikiran, perilaku dan keputusan yang diambil. Ada orang dikendalikan oleh harta, keturunan, jabatan dll. Tapi, orang-orang beriman akan dikendalikan oleh keimanannya, sehingga perilakunya menunjukkan tingkat keimanan itu. Bahkan malaikat dalam mencabut nyawa pun berbeda, bagi orang-orang beriman dan orang-orang kafir dan yang maksiyat. Perhatikan Surat An-Nazi’at ayat 1-2, “Demi (malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras. Demi (malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah lembut”.

Sungguh beruntung orang-orang yang membersihkan hatinya, jiwanya, dan meluruskan niatnya. Proses menuju amal shalih itu juga dihargai oleh Allah SWT. Jika kita menggunakan pendekatan proses, insya Allah ada optimisme. Hasil akhirnya kita serahkan pada Allah SWT. Perhatikan Surat An-Nahl ayat 125. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. Kita diperintah jangan putus ada dalam berdakwah, apalagi merasa telah banyak yang disampaikan atau diusahakan, tapi hasil akhir-nya belum banyak. Jangan membandingkan hasil akhir dari dakwah kita misalnya dengan hasil akhir dari dakwah Rasulullah SAW, yang “hanya” berlangsung dalam 23 tahun. Kita perlu paham bahwa ada juga dakwah para nabi yang hanya mampu membuat 60 orang beriman, walaupun telah berdakwah selama 50 tahun. Kita diperintah untuk mengikuti proses dalam berdakwah atau mengajak orang beriman itu dengan sabar.

Pada ayat-ayat yang kita baca tadi juga dijelaskan tentang makna “Kaum Dahriyah”, yang sebenarnya merujuk kepada kaum kafir. Arti kata dahri adalah zaman, sehingga kaum, dahriyah ini juga disebut kaum materialis, bahkan sebenarnya adalah atheis. Misalnya, ada anggapan bahwa jika ada orang meninggal dunia, hal itu karena waktunya telah tiba. Mereka menganggap bahwa hidup ini hanyalah di dunia, sehingga mereka tidak percaya pada Hari Akhir. Semoga ayat-ayat ini menambah keimanan dan optimis dalam menjalani kehidupan dan menegakkan dakwah agama Allah SWT.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *