Gelombang PHK Mulai Menghantui, Bisa Lebih Buruk Dibanding saat Awal Covid!

Ilustrasi pekerja di PHK. Foto: Dok Pixabay
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) mulai menghantui pekerja di Indonesia. Wabah PHK ini sebetulnya sudah marak terjadi sejak awal 2022.

Dilansir dari laman CNNIndonesia.com menyebutkan sudah ada lebih dari 10 perusahaan yang melakukan PHK. Sebagian besar merupakan industri startup atau berbasis digital.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Terbaru, pekerja industri tekstil dan alas kaki juga diambang ketidakpastian seiring dengan banyaknya buruh yang dirumahkan.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan sudah ada 45 ribu orang pekerja yang dirumahkan oleh pabrik tekstil tersebut.

Anton juga mengatakan perusahaan garmen (tekstil) dan sepatu (alas kaki) terpaksa menempuh PHK karena orderan atau pesanan berkurang. Bahkan, ada pembeli yang membatalkan pesanan, meski produksi sudah dilakukan.

“Sudah produksi disuruh hold. Sehingga, PHK mulai terjadi sejak saat ini dan diperkirakan hingga 2023 mendatang,” ujarnya.

Kendati, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meminta masyarakat tidak perlu panik akan isu ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri tekstil.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan JSK) Indah Anggoro Putri mengatakan pemerintah akan melakukan berbagai cara untuk mengatasi hal tersebut.

“Jadi mari kita sikapi PHK ini dengan tidak panik, kami semua ini, kita upayakan semaksimal mungkin untuk mengatasi nya,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (7/11).

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap alasan munculnya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil Indonesia.

Menurutnya, hal itu lantaran perlambatan ekonomi yang terjadi pada mitra dagang Indonesia seperti AS dan Eropa, sehingga permintaan ekspor pun berkurang.

Permintaan yang melambat ini membuat stok yang sudah diproduksi oleh perusahaan menumpuk, sehingga terjadi kerugian. Karenanya, mau tak mau pelaku usaha menghemat pengeluaran dengan memberhentikan pekerjanya.

Dengan kondisi ini, Airlangga mengatakan pemerintah akan melakukan kajian dan melihat kondisi di lapangan. Tujuannya untuk bisa mencari solusi agar PHK besar-besaran tak terjadi.

Terkait restrukturisasi kredit, menurutnya hal ini sudah dikomunikasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pemerintah dan OJK akan melihat industri padat karya mana yang memang betul-betul membutuhkan bantuan.

Kondisi industri yang mengkhawatirkan sehingga membuat pemerintah mau tak mau harus turun tangan menimbulkan pertanyaan tersendiri, apakah kondisi PHK kali ini lebih parah dibandingkan saat pandemi covid-19 melanda?

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memperkirakan ancaman PHK kali ini akan lebih buruk dibandingkan dengan saat pandemi pada 2020 lalu. Data Kementerian Ketenagakerjaan pada November 2020, saat pandemi covid-19 masuk ke Indonesia, 29,12 Juta orang terdampak.

Menaker saat menjadi keynote speaker pada peluncuran Hasil Analisis Dampak Covid-19 Terhadap Perluasan Kesempatan Kerja dan Implikasinya pada 24 November 2020 lalu merinci angka itu berasal dari pengangguran karena covid 2,56 juta orang, bukan angkatan kerja karena covid-19 sebesar 0,76 juta orang, tidak bekerja karena covid-19 sebesar 1,77 juta orang dan yang bekerja dengan mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 24,03 juta orang.

“Kalau pada saat pandemi yang PHK sektor tradisional, saat ini digital pun juga alami PHK massal. Kalau berlanjut maka ada 4 juta lebih angkatan kerja baru yang harus bersaing dengan pengangguran korban PHK. Persaingan kerja semakin ketat, dan akibatnya masalah lain yakni tekanan ke pendapatan agregat masyarakat,” jelas Bhima kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/11).

Sebab itu, yang perlu dilakukan pemerintah tidak hanya memberikan relaksasi berupa restrukturisasi kredit, tetapi juga menyiapkan paket kebijakan yang lengkap.

“Yang dibutuhkan saat ini adalah paket kebijakan yang lengkap dari mulai relaksasi perpajakan khususnya penurunan tarif PPN, diskon tarif listrik, perlindungan impor pakaian jadi, sampai peningkatan BSU dan bansos tunai bagi rentan miskin,” tuturnya.

Ekonom INDEF Nailul Huda mengatakan kondisi industri yang terombang-ambing sehingga berdampak pada PHK dipicu oleh inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral.

Ia menjelaskan saat ini inflasi global yang sangat tinggi menyebabkan permintaan barang untuk ekspor berkurang juga. Negara-negara tujuan ekspor mulai mengurangi permintaan untuk menyesuaikan permintaan dalam negeri mereka yang merosot.

Ditambah lagi, kenaikan suku bunga acuan bank sentral di negara tujuan ekspor menyebabkan konsumsi ikut melambat. Akibatnya, produsen akan mengurangi produksi barang ekspor dan berdampak pada PHK karyawan.

“Termasuk pabrik garmen yang memang sebagian tujuan ekspornya adalah ke AS. Ditambah lagi suku bunga dalam negeri juga ikut naik. Cost of fund untuk pinjam dana dan pembayaran hutang bank akan naik juga. Makanya perlu untuk restrukturisasi hutang-nya agar bisa bertahan,” kata Nailul Huda.

“Dengan tingkat suku bunga tinggi, perusahaan juga malas memperluas pangsa pasar ataupun menambah produksi. Udah bunga utangnya mahal, pasarnya juga lesu kan. Ya bagi perusahaan tidak ada jalan lain selain efisiensi tenaga kerja,” imbuhnya.

Siapkan Alih Profesi ke Bidang Pertanian

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah perlu memberikan insentif pada sektor-sektor industri yang rentan seperti tekstil, alas kaki, yang mengarah pada membantu mengurangi beban biaya produksi pada perusahaan tersebut.

“Ini kan karena bahan baku naik, logistik naik,dan harga energi naik. Ditambah lagi permintaan turun karena kondisi ekspor karena negara-negara resesi,” kata Faisal.

Sebab itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Dari sisi hulu, misalnya, pemerintah bisa beri insentif untuk membantu biaya produksi supaya mereka tidak mengurangi jumlah karyawan.

Di sisi lain pemerintah perlu bantu dari sisi pasar, penjualannya tapi itu perlu ada insentif juga karena kan mereka bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

“Kalau sudah terjadi PHK, imbuhnya, mau tak mau pemerintah harus menyiapkan BLT. Dulu kan jaman pandemi ada Kartu Prakerja yang bisa diarahkan ke BLT untuk program PHK,” tuturnya.

Adapun pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjutak mengatakan pemerintah perlu mendorong industri padat karya pengolah hasil pertanian atau bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

“Karyawan ter-PHK boleh dipersiapkan alih profesi ke bidang pertanian atau menjadi berwirausaha,” kata Payaman.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *