Kedua, mereka memilih strategi fitnah. Fitnah, tentu sesuatu yang gak punya data. Sesuatu yang kontra-fakta. 2-3 hari muncul fitnah, diklarifikasi oleh pendukung Anies dengan data, selesai. Ini justru malah menambah poin buat Anies. Anehnya, fitnah gak berhenti juga. Hoaks terus gemar diviralkan.
Fitnah radikal. Fitnah intoleran. Fitnah politik identitas. Fitnah korupsi. Fitnah ngemis diundang acara Muhammadiyah. Fitnah hanya pandai bicara tapi gak bisa kerja. Kata Jusuf Kalla: “Mau pemimpin yang pandai bicara atau pandai marah-marah?”. Tajem banget!
DKI mendapat WTP lima kali berturut-turut, gak mungkin hanya modal bicara. Begitu juga apresiasi dan penghargaan dari KPK maupun sejumlah kementerian. Berbagai penghargaan tingkat nasional maupun dari dunia internasional tentu bukan diberikan untuk sebuah kata, tapi didedikasikan untuk sebuah hasil kerja. Prestasi!
Anies difitnah Wahabi. Secara bersamaan dituduh pula Syi’ah. Padahal, Wahabi dan Syi’ah itu musuhan. Lah terus piye iki? Ya bego murakkab! Macam-macam fitnah terus dialamatkan ke Anies hingga hari ini.
Bagaimanapun, masyarakat itu waras. Orang waras gak suka fitnah. Kepada yang difitnah, masyarakat makin empati dan simpati. Itulah yang terjadi pada Anies Baswedan.
Ketiga, lawan fokus pada Anies. Mereka tidak fokus pada calonnya masing-masing, tapi terus sibuk memperhatikan Anies. Semakin diserang, Anies semakin besar. Mengapa mereka gak fokus saja ke kandidat calonnya? Karena mereka gak yakin kandidat calonnya bisa kalahkan Anies. Kalau gak yakin, kenapa dicalonkan? Lucu juga ya?
Itulah tiga sebab mengapa setiap langkah penjegalan terhadap Anies selalu membuat mereka makin blunder. Disfungsional. Menampar muka sendiri.
Meski begitu, Anies harus tetap waspada, begitu nasehat orang bijak. Dalam politik, selalu ada medan terjal. Banyak lubang tak terlihat. Inilah jalan berliku yang harus ditempuh Anies sebelum ditakdirkan Tuhan masuk pintu istana di 2024
Jakarta, 5 Nopember 2022