Tafsir Al-Quran Surat Al-Ahqaf 11-14: Kesalahan Cara Pandang terhadap Kehidupan akibat Kesalahan Keyakinan

Tafsir Al-Quran Surat Al-Ahqaf 11-14
Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ta’lim Bakda Subuh
Ahad, 11 Desember 2022

Oleh: Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin, Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Disarikan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin

Hajinews.id – Alhamdulillahi rabbil a’lamin. Kita dapat berjumpa lagi, baik online, maupun offline di Masjid Al-Hijri 2 dalam rangka meneruskan kajian tafsir Al-Quran pada pagi ini Hari Ahad tanggal 17 Jumadil Awal 1444 H bertepatan dengan tanggal 11 Desember 2022, untuk mendalami ayat-ayat Allah. Insya Allah kita meneruskan Surat Al-Ahqaf 11-14. Mari kita membaca Ummul Kitab Surat Al-Fatihah bersama-sama, dilanjutkan dengan Surat Al-Ahqaf ayat 11-14 tersebut. “Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” Dan sebelum (Al-Qur’an) itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan (Al-Qur’an) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zhalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqomah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”

Ada pelajaran sangat berharga dari ayat-ayat di atas sebagai referensi dalam menjalankan kehidupan kita. Cara pandang atau melihat sersuatu ternyata sangat ditentukan oleh aqidah, oleh keyakinan dan oleh agama. Jika seseorang memiliki aqidah yang benar, maka cara pandang terhadap sesuatu juga benar. Demikian sebaliknya, jika seseorang memiliki aqidah yang tidak benar, maka cara pandang terhadap sesuatu juga tidak benar. Ayat 11 di atas menunjukkan hal tersebut. Para Assabiqunal Awwalun atau sahabat nabi pada awal-awal dakhwa islam beberapa merupakan orang miskin, kaum du’afa’. Para Kafir Qurasy itu itu ragu terhadap kebenaran Al-Quran, karena para sahabat nabi itu dianggap orang hina, orang lemah, atau mustad’afin, tidak memiliki “kemuliaan” dalam kehidupan. Bahkan orang kafir itu ragu akan kebenaran Al-Quran karena para pengikut ajaran islam pada awal itu bukan orang-orang kaya. Cara pandang terhadap seseorang atau sekelompok orang ternyata ditentukan oleh status sosialnya. Ini bahayanya, jika landasannya bukan keimanan, bukan ketauhidan, maka cara pandang terhadap orang-orang miskin ini menjadi salah, karena dianggap hina. Rasulullah SAW mengajarkan cara pandang dengan ketauhidan, keimanan dan akhlaq. Ajaran islam sering meluruskan hal-hal tersebut. Misalnya dalam hal pernikahan. Seorang wanita dinikahi karena empat faktor: kecantikan, hartanya, keturunannya, dan agamanya. Rasulullah SAW memerintahkan untuk memilih faktor agamanya, sekaligus untuk mengoreksi cara pandang sosial pada masa lalu. Buya Hamka pernah membuat penjelasan logis berikut. Agama memiliki angka 1, kecantikan memiliki angka multiplikasi 0, harta 0, keturunan 0. Jika agama yang dipilih, maka ia akan mendapatkan 1. Jika agama dan kecantikan, maka ia akan mendapatkan angka 10. Jika agama, kecantikan dan harta, maka ia akan mendapatkan angka 100. Jika agama, kecantikan, harta, dan keturunan, maka ia akan mendapatkan angka 1000. Sebaliknya, jika ia hanya memiliki kecantikan, harta, dan keturunan, tapi tidak beragama atau agamanya buruk, maka nilainya 0 besar.

Bagi kita orang beriman, cara pandang berdasarkan aqidah dan keimanan akan mendapatkan kebahagiaan dan kebahagiaan, baik di dunia, maupun di akhirat. Bagi orang dzalim, cara pandang yang berdasarkan hawa nafsu, maka ujungnya bukan kebahagiaan. Orang-orang beriman, kemudian istiqamah, maka ia akan mendapatkan ketenangan, tidak ada kekhawatiran, keraguan dan kesedihan, baik di dunia, maupun di akhirat. Kalimat penghubung pada ayat 14 menggunakan kata “tsumma” (kemudian), karena kemampuan istiqamah memerlukan proses untuk melakukan iman dan amal shaleh itu. Langka pertama adalah membiasakan hal-hal baik dan amal shaleh. Kedua adalah membangun lingkungan yang baik. Lingkungan ini bisa rumah, keluarga, tempat kerja dll. Ketiga adalah membiasakan untuk saling menasehati. Keempat adalah saling mendoakan menuju kebaika. Mudah-mudahan keluarga kita, lingkungan kita, dll senantiasa mampu menuju istiqamah agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Menjawab pertanyaan bagaimana melakukan doa dalam sujud ketika shalat. Sebenarnya, doa-doa dalam shalat itu sangat dahsyat, jika kita menghayati maknanya. Misalnya, bacaan saat duduk di antara dua sujud. Di sana terdapat tujuh do’a yang akan langsung didengar oleh Allah SWT: Rabbighfirli (Wahai Tuhanku, ampunilah aku), warhamni (sayangilah aku), wajburni (tutupilah aibku) warfa’ni (angkatlah derajatku), warzuqni (berilah aku rizki), wa’hdini (berilah aku petunjuk) wa’afini (berilah aku kesehatan), wa’fu anni (maafkanlah aku). Kita memang dianjurkan untuk melakukan doa dalam sujud dan dalam tahiyat akhir, sesuai dengan tuntunan agama. Para ulama sepakat bahwa doa-doa itu harus al-ma’surat atau yang tersebut ada contohnya di dalam Al-Quran. Misalnya, untuk mendapatkan anak shalih. “Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a’yun, waj’alna lil-muttaqina imama”. Doa-doa yang lain (selain yang al-ma’surat, apalagi dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah) cukup dipanjatkan di dalam hati saja, jangan diucapkan secara eksplisit, karena hal itu membatalkan shalat. Selesaikanlah shalat, baru lanjutkan dengan doa-doa lain yang menjadi hajat atau keinginan kita. Waktu-waktu setelah shalat juga merupakan waktu yang mustajab dalam memanjatkan doa.

Menjawab pertanyaan pandangan islam tentang kebahagiaan. Ketika kita bangun malam, tahajjud, bermunajat kepada Allah SWT, di sana terdapat kenikmatan tersendiri, yang akan menghasilkan kebahagiaan. Niatnya harus lurus, untuk beribadah, karena mengharap Ridha Allah SWT. Insya Allah kita akan mendapatkan ketenangan di dalam hati. Kebahagiaan yang maksimal adalah “panjang umur dalam ibadah dan amal shalih”. Kebahagiaan dalam islam bersumber dari batin, dari dalam hati. Ketika hatinya terkait dengan Allah SWT, ia pasti bahagia. Buat apa materi yang kita miliki, jika kita membiarkan kemunkaran. Kita ummat islam mendapatkan kebahagiaan jika mampu memberi dan menolong sesama. Kita dapat melihat bagaimana begitu banyak orang-orang islam beramal shalih dan menolong mereka yang tertimpa musibah.

Menjawab pertanyaan menghapa negeri-negeri muslim banyak lebih buruk dibandingkan dengan negeri-negeri kufur? Tentu hal tersebut banyak faktor yang mempenharuhi. Jika kita merasa faktor pendidikan, maka itu harus diperbaiki. Bahkan, kita berdakwah perlu membangun optimisme, karena kita diperintah untuk memberikan solusi masa depan. Kita berdakwah bukan untuk menimbulkan masalah baru. Negeri muslim mungkin memang banyak masalah, tapi potensi kemajuan dan potensi pertolongan dari Allah SWT juga sangat besar dan perlu disampaikan secara baik. Gelaran World Cup di Qatar telah menampilkan wajah islam yang lebih baik, misalnya kita diajarkan untuk menghormati dan memuliakan tamu, dan Qatar cukup berani menjunjung tinggi syariat islam dengan melarang minuman beralkohol, LGBT dll. Sepanjang pelaksanaan Piala Dunia Sepakbola di Qatar kita mendapatkan berita cukup banyak non-muslim yang masuk islam karena ajaran islam yang menebarkan kedamaian atau kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *