Oleh: Muhamad Saleh, peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dosen Universitas Siber Muhammadiyah
Hajinews.id – Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat (30/12/2022). Polemik berkepanjangan pada proses pembentukan, pemberlakuan, dan pengujian UU Cipta Kerja ternyata belum usai. Perppu ini menambah daftar panjang problem legislasi di Indonesia setelah sebelumnya kita mengetahui ada cukup banyak undang-undang yang melanggar standar moralitas karena kerapkali dilakukan dengan minim partisipasi, prosedur yang kerap disiasati, dan minimnya ketaatan terhadap standar yang baku.
Problem Perppu
Melalui pendekatan perundang-undangan terdapat sejumlah catatan atas penerbitan Perppu Cipta Kerja. Pertama, penerbitan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020. Melalui putusan tersebut MK memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang (DPR-Presiden) untuk menyempurnakan UU Cipta Kerja dalam tiga hal. Secara metode melalui penyesuaian terhadap UU 13/2022, penyempurnaan terhadap asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan dan penguatan partisipasi publik dengan menerapkan indikator (meaningful participation).
Kedua, penyimpangan terhadap spirit supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi di samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi. Oleh karena itu, aturan-aturan dasar konstitusional harus dilaksanakan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Prinsip ini mengikat bagi seluruh lembaga negara, termasuk presiden.
Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan bahwa putusan MK bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Dengan demikian mestinya presiden dapat mentaati putusan MK terkait dengan langkah-langkah penyempurnaan UU Cipta Kerja dan melaksanakannya. Bukan kemudian disimpangi dengan penerbitan Perppu.
Ketiga, lemahnya kriteria kegentingan yang memaksa. Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa yaitu adanya kebutuhan mendesak, kekosongan hukum, dan kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa. Namun jika diuji tiga syarat tersebut masih belum terpenuhi misalnya secara sosiologis dan faktual belum terdapat satu pun implikasi langsung yang dirasakan oleh Indonesia terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi, resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.