Runtuhnya Negara Demokrasi Konstitusional Melalui Perppu Cipta Kerja

Runtuhnya Negara Demokrasi Konstitusional
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Menurut Mahkamah Konstitusi ada tujuh hal pentingnya partisipasi masyarakat. Secara doktriner tujuh alasan tersebut yaitu: pertama, menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan.

Kedua, menurut MK membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; ketiga, meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; Keempat, memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; kelima, meningkatkan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; keenam, memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan Ketujuh, menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Perppu 2/2022 yang dikeluarkan oleh presiden kehilangan unsur-unsur penting yaitu filosofis, sosiologis dan historis. Secara filosofis, keluarnya Perppu tidak mempertimbangkan alasan yang menggambarkan meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Sebab dalam salah satu pertimbangan hukumnya, Perppu itu dikeluarkan karena adanya perang Rusia dan Ukraina. Apa landasan sehingga perang di negara lain menjadi falsafah pembentukan undang-undang di Indonesia?

Secara sosiologis pertimbangan keluarnya Perppu tersebut tidak menggambarkan bahwa Perppu yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, dan tidak pula menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

UU Cipta Kerja yang kemudian di Perppu-kan oleh Presiden bukan sebuah kebutuhan hukum, tetapi kebutuhan oligarki kuat dibelakangnya. Sebab, buruh dan elemen masyarakat masih belum menerima materi dari undang- undang tersebut, karena banyak pasal yang dianggap merugikan masyarakat secara luas.

Secara historis undang-undang cipta kerja mulai dari perencanaan, pembahasan, pengundangan mendapat perlawanan dari buruh, mahasiswa/pelajar, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya dengan demonstrasi besar-besaran dan selanjutnya digugat ke Mahkamah Konstitusi, selanjutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional.

Sementara secara yuridis alasan keluarnya Perppu untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum tidak terpenuhi, karena suatu Perppu atau undang-undang harus mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Semua ini tidak terpenuhi, sehingga terkesan Perppu adalah pemaksaan presiden untuk memberikan karpet merah bagi oligarki untuk mengangkangi hukum. Lalu untuk apa Perppu kalau hanya sekedar memberikan karpet merah bagi segelintir orang?

Selanjutnya, Perppu adalah kewenangan subjektif Presiden yang keluar secara otoritatif dan tidak partisipatif, berdasarkan kewenangan subjektif yang jauh dari partisipasi publik. Karena itu keluarnya Perppu bukan hanya melawan putusan MK, tetapi memang memperlihatkan penggunaan kewenangan prerogatif yang melampaui konstitusi. Seharusnya Presiden menggunakan jalan konstitusional dan cara yang konstitusional, bukan menggunakan otoritas.

cara-cara yang sah dan konstitusional diabaikan, sehingga presiden terkesan melampaui konstitusi dengan memaksakan kegentingan untuk membuat kegentingan memaksa supaya perppu dikeluarkan. sehingga syarat objektif keluarnya Perppu tidak terpenuhi sebagaimana dalam hal ihwal kegentingan memaksa Presiden dapat mengeluarkan Perppu. Kegentingan Memaksa itu menurut MK dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Syarat keluarnya Perppu juga Menurut MK ada 3 yaitu: (1) Adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; (3) Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Alasan keluarnya Perppu Ciptaker ini tidak memperlihatkan kebutuhan mendesak, karena undang-undang yang ada (undang-undang yang dirangkum dalam Omnibus Law Ciptaker) masih dapat digunakan, tidak ada kekosongan hukum, dan proses perbaikan bisa dilakukan karena DPR masih dapat bersidang selama dua tahun itu.

Artinya Perppu Ciptaker keluar jauh dari tiga poin tersebut yang menjadi landasan keluarnya Perppu, sehingga menimbulkan anggapan bahwa presiden tidak taat konstitusi dan tidak mengindahkan putusan MK karena memaksakan keluarnya Perppu tanpa alasan yang jelas untuk menjadi dasar keluarnya Perppu.

Hal itu tercantum dalam amar putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu sebenarnya sangat substansial, yaitu DPR dan Presiden memperbaiki proses legislasi sambil memperbaiki materi undang-undang itu. Sebenarnya itulah perintah dari putusan MK itu. Namun, setelah keluarnya perppu tersebut Putusan MK menjadi tidak berarti dan proses perbaikan terhadap UU Ciptaker tidak dilakukan.

Maka konsekuensi dari keluarnya Perppu tersebut adalah, presiden bukan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga telah menyangkal konstitusi secara terbuka. Pelanggaran pertama adalah tidak mentaati putusan pengadilan, kedua memaksakan keadaan genting padahal tidak ada kegentingan yang memaksa, ketiga Presiden mengangkangi hak legislasi DPR.

Karena itu menurut saya Perppu ini telah mewariskan kebiasaan otoritarianisme, yaitu membiasakan diri untuk mengenyampingkan hukum (state of exception) dengan memaksakan kondisi darurat (state of emergency). Hal itu meruntuhkan demokrasi konstitusional dan melawan hukum.

Kalau ditanya apakah cukup alasan untuk memakzulkan Presiden, menurut saya sangat cukup alasan itu, tapi pemakzulan adalah langkah politik, maka kita kembalikan kepada DPR sebagai kekuatan politik yang diberi kewenangan untuk menyatakan pendapat apabila Presiden dianggap telah melakukan pelanggaran sebagaimana maksud dari pasal 7B UUD NRI 1945. Kemauan politik partai politik di DPR lah yang menentukan itu.

Tetapi secara konstitusional, keluarnya Perppu 2/2022 adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari segi filosofis, sosiologis dan historis. Sebab setelah reformasi, paradigma pembentukan UU di Indonesia tidak lagi pada lembaga eksekutif sebagai pemegang otoritas, tetapi telah beralih ke legislatif. Persetujuan DPR menjadi mutlak berlakunya suatu undang-undang, baik itu undang-undang yang diusulkan oleh Presiden, maupun undang-undang yang diusulkan oleh DPR.

Kalau kita bandingkan dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dikaitkan dengan pasal 20 dan pasal 21 UUD 1945 maka ada kekuasaan timbal balik, bahwa apabila rancangan undang-undang yang diusulkan oleh Presiden tidak disetujui oleh DPR maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Dalam pasal Pasal 21 disebutkan kalau rancangan undang-undang itu diusulkan oleh anggota DPR maka rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *