Arena bermain bagi anak-anak. Memberi ruang menuntaskan masa kecil yang bahagia. Menumbuhkembangkan menuju kedewasaannya. Kaya akan pembelajaran edukatif praktis. Mengasah kemandirian, tanggung jawab, dedikasi, kerja bareng, bersih dan rapi dan lainnya sejak dini.
Rumah sebagai last battle, pertahanan terakhir keluarga. Rumah jebol, pertanda masyarakat akan runtuh. Kita turut prihatin dengan anak-anak yang tumbuh besar di jalanan yang keras dan minim pendidikan moral. Nilai yang ada hanyalah yang kuat yang berkuasa dan yang lemah dijajah habis. Keluarga yang broken home memicu penghuninya menjadi liar dan terbawa ke lingkungan yang semau gue. Mereka tercerabut dari pondasi kemanusiaannya.
Sebagai pertahanan terakhir, rumah menjadi harapan bangsa. Dari rumah, anak negeri dipersiapkan psikis dan fisiknya. Dari rumah, mereka ditempa kepribadiannya. Dari rumah pula hakikat belajar sesungguhnya diajarkan.
Belajar dari pandemi Covid kemarin, sebenarnya Tuhan mengajari orang tua, bahwa tanggung jawab pendidikan sepenuhnya di tangannya. Guru di sekolah tidak lebih hanya kepanjangan tangan saja. Pembentukan akhlaqul karimah adalah domen orang tua. Seperti halnya para nabi mendidik langsung para pewarisnya.
Mawaddah
Mawaddah berasal dari kata wadada artinya cinta. Al Wadud, salah satu nama Allah SWTdalam asma’ul husna berasal dari akar kata yang sama dengan wadada, artinya cinta yang banyak. Dalam sebuah hadits Rasul bersabda, “Tawwaju al-waddud wal-walud,” artinya, “Nikahilah orang yang banyak cintanya dan banyak anak.”
Secara alami, seseorang tertarik kepada lawan jenisnya mulamula melalui pertimbangan jasmaniah. Jatuh cinta dalam fase ini dalam bahasa Arab disebut mahabbah, yang merupakan tingkat permulaan atau paling rendah (primitif) dari proses hubungan pria dan wanita.
Psikolog Sigmund Freud menengarai ketertarikan ini berkait dengan libido, muaranya banyak berurusan dengan hasrat pemenuhan kebutuhan biologis. Meminjam bahasa agresifnya, naluri penyaluran seksualitas telah terpenuhi.
Dari Mahabbah ke Mawaddah
Tingkat yang lebih tinggi ialah ketertarikan seseorang berdasarkan pada hal-hal yang lebih abstrak, misalnya segi kepribadian atau nilai lainnya yang terdapat pada seseorang. Cinta-kasih antarjenis pada tingkat yang lebih tinggi ini disebut mawaddah.
Sebagai tingkatan yang lebih luhur, mawaddah umumnya berpotensi untuk bertahan lebih kuat dan lama karena memiliki unsur kesejatian yang lebih mendalam, sehingga juga dapat memberi rasa bahagia yang lebih agung daripada mahabbah. Pada tingkat ini, segi lahiriah sasaran cinta tidak lagi terlalu banyak menjadi pertimbangan. Kualitas kepribadiannya adalah lebih penting baginya dan lebih utama daripada penampakan fisiknya.
Seorang hamba yang merefleksikan sifat wadud Ilahi tergambar ketika dia sudah sedemikian rupa sejak pagi sampai larut malam beribadah dan beramal salih di muka bumi ini. Namun demikian, dia dalam doanya tetap mengaku betapa minimnya waktu dan energi yang dipersembahkan untuk Rabb-nya.
Maka, cerminan seorang suami yang mawaddah adalah analog dengan gambaran sifat Ilahidi atas. Meskipun waktu, tenaga, dan harta telah tercurahkan untuk sang istri tercinta, dalam pengakuannya dia belum bisa berbuat banyak untuk membangun jalinan cintanya. Demikian pun sebaliknya, seorang istri terhadap suami tersayang apabila mempunyai sifat mawaddah tampak seperti ilustrasi tersebut.
Rahmah
M. Quraish Shihab (2007) dalam Pengantin Al-Quran, menggambarkan rahmah sebagai kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan melakukan pemberdayaan. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing-masing, suami dan istri, akan sungguh-sungguh, bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.