Di Awal Tahun 2023, Garam Itu Kembali Ditabur di Atas Luka

Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



“Menyikapi pernyataan tersebut, Komnas HAM menyambut baik sikap Presiden atas adanya pengakuan terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan persnya, Kamis 12 Januari 2023.

Potret Penyelesaian kasus HAM Berat

Banyaknya pendapat yang rata rata menilai miring pidato pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi terkait dengan persoalan HAM berat masa lalu tersebut memang memunculkan tanda tanya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hal ini sepertinya sangat erat kaitannya dengan kinerja pemerintahan Jokowi selama berkuasa dalam menuntaskan kasus kasus HAM berat masa lalu seperti yang dijanjikan dalam kampanyenya.

Pada masa kampanye Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas bagi pelakunya.

Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita. Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Nyatanya selama masa pemerintahannya, berdasarkan laporan Kejaksaan Agung,dari 15 kasus pelanggaran HAM berat, hanya 3 perkara yang dituntaskan perkaranya.

“Ada 15 perkara pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ada 3 kasus yang sudah diselesaikan. Terdapat 12 perkara HAM yang belum diselesaikan,” ujar Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Adapun tiga kasus yang sudah dianggap selesai yakni kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.Sebenarnya bisa ditambahkan satu lagi kasus yang sudah diselesaikan pada tahun 2022 yang lalu yaitu pelanggaran HAM berat di Paniai Papua.

Namun penyelesaian empat kasus yang disebut diatas terkesan hanya untuk memenuhi kewajiban penyelesaian yudisial semata. Karena penyelesaian kasusnya terkesan sarat dengan ketidakadilan terutama di pandang dari sudut para korbannya.

Barangkali karena tidak ingin kinerjanya disebut sama saja dengan Presiden Presiden sebelumnya maka Presiden yang berkuasa sekarang telah berupaya untuk meningkatkan kinerjanya dalam  menyelesaikan permasalahan HAM berat di Indonesia.

Untuk itu Pemerintah Jokowi mengeluarkan Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu sebagaimana diatur dalam Kepres No. 17 Tahun 2022 (Keppres PPHAM).

Alih alih mendapatkan respons positif dari masyarakat Indonesia, kebijakan mengeluarkan Kepres tersebut justru memantik perlawanan dari beberapa elemen masyarakat Indonesia.

Terbitnya Kepres No. 17/2022 telah memantik reaksi dari beberapa Lembaga yang tergerak untuk mengkritisinya seperti SETARA Institute, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Koalisi Masyarakat Sipil seperti KontraS, Imparsial, YLBHI, LBH Jakarta, HRWG, PBHI, Amnesty International Indonesia, INSERSIUM, Persaudaraan Alumni 212  dan yang lain lainnya.

Mereka mencoba bersuara kritis atas kebijakan pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui Kepres No. 17/2022. Beberapa kritik yang disampaikan terkait dengab Kepres tersebut diantaranya:

Pertama, Keppres No. 17/2022 dinilai sebagai instrumen pembungkaman yang ditujukan untuk menghambat aspirasi korban dan publik menggunakan janji-janji rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa, atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban dan keluarganya.

Desain Keppres dinilai bukan cara yang diajarkan dalam disiplin hukum hak asasi manusia atau praktik internasional terkait keadilan transisi (transitional justice) atas pelanggaran HAM masa lalu.

Sebab, syarat utama penyelesaian non yudisial haruslah didahului dengan upaya pengungkapan kebenaran, verifikasi visibilitas penyelesaian secara hukum, dan dengan kerja yang tidak terburu-buru. Hal ini dipastikan tidak akan mungkin terjadi dan tidak mungkin bisa dilakukan oleh Tim PPHAM.

Kedua, Dengan pembentukan PPHAM, menunjukkan adanya ketidakpatuhan Presiden Jokowi pada mandat UU No. 6 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memerintahkan bahwa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diundangkan harus diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.

Tidak ada ruang bagi Komnas HAM maupun Jokowi untuk membelokkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM setelah tahun 2000, kecuali diselesaikan melalui pendekatan yudisial.

Lagi pula penyelesaian kasus HAM berat melalui proses peradilan adalah amanat UU karenanya perubahan atau diskresi penyelesaian secara non yudisial tidak bisa ditetapkan dengan bentuk Keppres semata.

Ketiga, ada nuansa kedustaan dalam proses penerbitan Kepres No. 17/2022 sebab Presiden Jokowi awalnya mengatakan bahwa Keppres tersebut telah ditandatangani pada 16 Agustus 2022 dan diumumkan saat Pidato Kenegaraan. Tetapi faktanya, Keppres tersebut baru ditandatangani 26 Agustus 2022.

Hal ini berarti ada ketidakjujuran teknis yang menggambarkan bahwa kehendak pemutihan pelaku pelanggaran HAM ini bukan sepenuhnya datang dari diri Presiden Jokowi, melainkan orang-orang di sekelilingnya yang diduga terlibat dalam berbagai pelanggaran HAM masa lalu.

Ke empat, sejumlah anggota Tim PPHAM dinilai sebagai orang orang yang bermasalah yang sangat erat hubungannya dengan peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Bahkan beberapa anggota diduga terlibat dalam pelanggaran hak azasi manusia.

Diantaranya ada tokoh yang jelas masuk dalam list PBB sebagai pejabat tinggi TNI yang sangat kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat di Timor Timur ketika masih menjadi bagian dari Indonesia.

Ada juga anggota Tim PPHAM yang bernama Asad Said Ali (pernah menjabat sebagai wakil Kepala BIN) yang juga diduga pelanggar HAM karena namanya sempat muncul dalam Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib sebagai orang yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Munir.

Dengan komposisi Tim yan bermasalah ini maka langkah langkah Tim PPHAM dinilai tidak akan memperoleh legitimasi publik dan pengakuan internasional.

Kelima, Pendekatan non-yudisial yang didorong oleh Presiden Jokowi melalui pembentukan Tim PPHAM dinilai akan menutup ruang bagi korban dan keluarganya untuk memperoleh kebenaran dan keadilan atas peristiwa pelanggaran hak azasi manusia.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *