Di Awal Tahun 2023, Garam Itu Kembali Ditabur di Atas Luka

Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pendekatan non-yudisial ini hanya akan melanggengkan imunitas bagi pelakunya sehingga penyelesaian melalui pendekatan non-yudisial yang diatur di dalam Keppres tersebut menjadi jalan pintas penyelesaian kasus HAM berat yang selama ini menjadi beban penguasa.

Langkah ini diambil penguasa karena lemahnya komitmen dan ketidakberanian politik Presiden dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang melibatkan banyak petinggi tentara.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Padahal penyelesaian pelanggaran HAM berat seperti kasus Talangsari, Semanggi I dan II, Trisakti atau Wasior Papua dan lain lainnya masih dimungkinkan karena diduga pelakunya masih ada, artinya masih bisa diminta pertanggungjawabannya.

Ke enam,  penerbitan Keppres No. 17/20022 dinilai lebih didasarkan pada pertimbangan dan kepentingan yang sifatnya politik, bukan sebagai bentuk kehendak politik dari Presiden untuk menjalankan kewajiban konstitusional dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan bagi korban dan keluarganya.

Hal ini sejatinya bukanlah hal yang baru dari Presiden, mengingat selama ini selalu ada ketidakselarasan antara pernyataan dan perbuatan dalam menyikapi persoalan HAM, termasuk dalam menyikapi isu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selalu tidak jelas ujungnya.

Ke Tujuh, Dalam ketentuan pasal 9 dan 10 Keppres No. 17/20022 dinyatakan bahwa tugas dari tim PPHAM itu adalah melakukan pengungkapan dan analisis terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu.

Dalam pengungkapan dan analisisnya itu, Tim diberikan rambu-rambu atau batasan yaitu semata-mata tertuju kepada:  latar belakang, sebab akibat, faktor pemicunya, dan identifikasi korban dan dampak yang ditimbulkannya.

Padahal dalam suatu peristiwa kejahatan, khususnya yang menyangkut tindak pidana pembunuhan, yang harus diungkap adalah siapa pelakunya. Sehingga sudah semestinya berbagai investigasi dan analisis harus dilakukan guna mengungkap siapa pelaku dari tindak kejahatan pembunuhan tersebut.Bukan sebaliknya, yang dianalisis atau diungkap hanya korbannya saja.

Mengingat hasil kerja tim sama sekali tidak menganalisis atau mengungkap siapa pelaku atau aktor intelektual pelanggaran HAM berat masa lalu maka hampir bisa dipastikan akan membuat para korban pelanggaran HAM berat menjadi kecewa.

Dengan model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu melalui Keppres tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu sebagaimana diatur dalam Kepres No. 17 Tahun 2022 (Keppres PPHAM) diatas, mencerminkan buruknya penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di Indonesia selama pemerintah yang sekarang berkuasa.

Karena melalui Keppres itu terkesan seolah olah Presiden Jokowi berpura-pura bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dimasa lalu padahal mungkin ada hidden agenda dibaliknya.

Karena itu Lembaga seperti Imparsial telah mendesak Presiden Jokowi agar mencabut Keppres tersebut dan kemudian meminta agar proses yudisial dijalankan melalui Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa Pelanggaran HAM Berat masa lalu.

Permintaan pembatalan juga disampaikan oleh Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menilai Keppres tersebut hanya memperlihatkan watak pemerintah yang ingin mencari jalan pintas menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.

Mereka menilai tim Penyelesaian Pelanggaran HAM berat yang ditunjuk Jokowi lewat Keppresnya adalah cara pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial yang seharus ditempuh untuk mewujudkan keadilan bagi semuanya.

Namun jangan kemudian penyelesaian secara yudisial itu dilaksanakan sedemikian rupa untuk hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka.Contoh penyelesian kasus Pelanggaran HAM di Paniai Papua, yang mulai tanggal 21 September Tahun 2022 lalu dimulai persidangannya.

Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan itu terkesan berjalan tidak seperti harapan publik pada umumnya.

Sebab bagaimana mungkin, peristiwa pelanggaran HAM berat yang syarat utamanya adalah sistematis, meluas dan massif, tetapi hanya mampu menjerat 1 orang purnawirawan, yang juga hanya sebagai seorang penghubung di Kodim Paniai 1705 ?.

Kalau penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan Tim PPHAM hanya sekadar untuk seolah olah pemerintah telah berupaya menyelesaikan kasus HAM berat yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah sebelumnya, maka kebijakan seperti ini berarti hanya penyelesaian yang sifatnya semu belaka.

Demikian pula penyelesaian kasus HAM melalui jalur yudisial yang dilaksanakan “ala kadarnya” seperti penyelesaian kasus HAM Paniai yang saat ini sedang berlangsung sidangnya, maka akan memunculkan kesan bahwa semua dilakukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka atau bahkan sekadar ingin menaikkan citra Pemerintah yang sedang berkuasa ditengah jebloknya kinerja penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

Itulah potret penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang ditangani oleh pemerintah yang sekarang berkuasa. Wajar kalau kemudian banyak pihak yang menilai minor kinerja pemerintah dalam penyelesaian HAM berat di Indonesia.

Apalagi ditengah tengah upaya yang mengecewakan itu tiba tiba Kepala negara kembali berpidato yang isinya berupa pengakuan dan penyesalan Presiden atas 12 pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) berat masa lalu  di Istana Negara. Lalu untuk apa ?

Menabur Garam Di atas Luka

Berlarut-larutnya penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu tidak hanya menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan bagi mereka yang menjadi korbannya, tetapi juga menjadi beban bagi Pemerintah yang berkuasa.

Karena secara konstitusional Pemerintah diberikan mandat untuk bisa menyelesaikan kasus kasus HAM tersebut secara adil dan transparan sesuai dengan ketentuan yang ada.

Di tengah agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih terkatung katung penyelesainnya, Presiden Jokowi kembali berpidato untuk mengungkapkan pengakuan dan penyesalannya atas terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum berhasil di tuntaskannya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *