Di Awal Tahun 2023, Garam Itu Kembali Ditabur di Atas Luka

Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ungkapan penyesalan sekaligus pengakuan Presiden Jokowi tanpa adanya upaya mengadili pihak-pihak yang harus bertanggung jawab hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya.

Semakin perih saja rasanya ketika garam itu kembali ditaburkan ke atas luka. Mengapa demikian ? Karena selama bertahun tahun keluarga korban sudah berjuang untuk mendapatkan keadilan tetapi yang didapat hanya sekadar pengakuan dan penyesalan yang disampaikan oleh  pemimpinnya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Rasa perih dan pedih itu antara lain di sampaikan oleh Maria Katarina Sumarsih orang tua korban Peristiwa Semanggi I Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan.

Seperti dikutip oleh media, Sumarsih mengaku, ia sempat menaruh harapan besar pada Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat termasuk tragedi Semanggi I yang merenggut nyawa anaknya.Bahkan, ia menuturkan Aksi Kamisan pada 2014 silam sempat mendukung Jokowi menjadi presiden Indonesia di periode pertama.

“Di 2014, Aksi Kamisan itu kita kampanye `ayo pilih Jokowi`, karena kan harapan kami di dalam Kamisan dalam menghapus impunitas, ini kan pengharapan itu sangat besar sekali sampai saya mau berhenti Aksi Kamisan waktu itu saking percayanya,” ujarnya.

“Harapan saya Pak Jokowi berani memerintahkan Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik ad hoc sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 3 UU pengadilan HAM, harapan saya itu,” tambahnya.

Namun harapan itu tinggal harapan belaka karena tidak pernah bisa diwujudkan seperti yang diharapkannya. Sampai dengan periode kedua masa pemerintahan yang sekarang berkuasa, harapan Sumarsih tinggal harapan hampa.

Tentu banyak lagi Sumarsih Sumarsih lain yang merasakan betapa perih derita yang harus mereka sandang ditengah ketidakpastian perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM berat yang dialaminya. Mereka sudah menanti dalam waktu yang cukup lama tapi keadilan yang diimpikan tak kunjung tiba.

Rasa perih dan sakit hati tentunya tidak cuma dirasakan oleh 12 korban pelanggaran HAM berat yang disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya tetapi tetapi juga pelanggaran HAM yang tidak disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya.

Pelanggaran HAM yang tidak disebut oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya itu misalnya pelanggaran HAM di kasus meninggalnya petugas penyelenggara pemilu pada Pemilu 2019 lalu dimana ada 5.175 petugas mengalami sakit dan ada 894 petugas yang meninggal dunia.

Ada pula pelanggaran HAM di kasus meninggalnya 6 laskar FPI yang hingga saat ini tidak jelas bagaimana pertanggungjawabannya.

Belum lagi kasus lain seperti pelanggaran yang dilakukan selama Tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996 atau peristiwa Kudatuli, dan juga  kasus pembunuhan aktifis Munir yang tidak menyentuh siapa dalangnya.

Dengan tidak disebutnya pelanggaran HAM kasus kasus tersebut sesungguhnya menjadi angin surga bagi para pelaku kejahatannya. Karena para pelakunya merasa aman aman saja dimana hukum tidak mampu menjangkaunya.

Pada hal adanya  impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia dan memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya.

Tentu ibarat luka yang masih menganga, terhadap kasus pelanggaran HAM yang tidak disebut Presiden Jokowi dalam pidatonya  ini akan semakin jauh panggang dari api untuk penyelesaiannya.

Karena disebut saja tidak apalagi harapan untuk penyelesaian kasusnya. Sehingga ibarat luka yang masih belum sembuh, akan semakin perih terasa ketika segenggam garam kembali ditaburkan diatas lukanya.Begitukah kira kira ?

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *