Benarkah ada Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM?

Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM
Wakil ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Dalam rentang waktu tersebut, setiap warga negara Indonesia yang pernah mencicipi pendidikan formal mulai dari tingkat dasar hingga menengah, selalu mendapatkan informasi yang lengkap tentang PKI, sehingga sikap ANTI PKI terlembagakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, setelah Orba tumbang, sejarah Pengkhianatan PKI mulai hilang dari kurikulum Pendidikan kita.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Seiring dengan itu, serangan informasi yang memposisikan PKI sebagai Pahlawan dan Pejuang Kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga banyak generasi muda yang tidak lagi mendapatkan informasi tentang Pengkhianatan PKI dalam kurikulum Pendidikan mereka.

Sebagai upaya pemerintah untuk mengingatkan betapa bahayanya ancaman PKI maka setiap tahun sejak tahun 1985, tepatnya setiap tanggal 30 September, TVRI sebagai televisi nasional selalu memutar ulang Film Pengkhianatan G30S / PKI yang diproduksi pada tahun 1984, sehingga informasi tentang bahaya PKI tersebar di seluruh Indonesia.

Namun pasca reformasi 1998 pemutaran Film Pengkhianatan PKI mulai dihentikan penayangannya. Dalam kaitan ini sepertinya memang ada tangan-tangan terselubung yang bermain untuk menghapus ingatan rakyat dari Pengkhianatan PKI terhadap bangsa Indonesia.

Sejak reformasi pula para Narapidana PKI melalui YPKP 65/66 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 / 1966) terus mencari cara untuk “PEMUTIHAN DOSA PKI”, salah satunya adalah dengan terus mendesak pemerintah agar mengajukan RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

YKPPI 65/66 dimana-mana selalu mengkampanyekan bahwa PKI adalah ”KORBAN KEJAHATAN” bukan ”PELAKU KEJAHATAN”, sekaligus memutar-balikkan Fakta dan memanipulasi data serta melemparkan semua kesalahan kepada pemerintah ”Orba”.

Dengan menempatkan posisi PKI sebagai korban mungkin nanti bisa dijadikan alasan untuk mencabut TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia.

YKPPI menyatakan : ”Target Advokasi HAM YPKP 65/66 adalah bahwasanya pengungkapan kebenaran melalui KKR merupakan pintu masuk paling halus namun berkekuatan besar untuk mengembalikan posisi ekonomi, politik dan sosial PKI”, sebagaimana dimuat diYPKP6566.Blogspot.com pada tanggal 12 September 2010.

Komnas HAM dan LSM-LSM Liberal tercatat sebagai pihak yang paling sigap dan paling sibuk dalam mendesak dan menekan pemerintah dan DPR RI agar mengesahkan RUU KKR menjadi UU, sehingga di tahun 2004 Pemerintah RI secara resmi mengajukan RUU KKR ke DPR RI untuk dibahas, meskipun pada akhirnya RUU KKR tersebut hingga kini belum jelas kelanjutannya.

Sebagai bagian dari perjuangannya untuk meneguhkan eksistensinya, neo PKI sempat pula mengusulkan agar KTP yang dimiliki warga negara Indonesia di hapus kolom Agamanya.

Usulan untuk penghapusan kolom agama di KTP itu disambut dengan gegap gempita oleh kalangan Liberal dan kelompok-kelompok berhaluan kiri beserta pendukungnya.Jika kolom agama dihapuskan maka kalangan neo PKI yang anti Agama dengan leluasa bisa memiliki KTP tanpa agama.

Pasca reformasi 1998 kita juga sering  mendengar berita aneka Seminar dan Lokakarya untuk Pembelaan terhadap PKI, begitu juga sering diadakan Reuni dan Temu Kangen Keluarga Besar PKI dan pendukungnya.

Bahkan tidak jarang Komnas HAM dan berbagai LSM Liberal terlibat dalam aneka pertemuan seperti ini, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di zaman Orba.

Anak anak keturunan PKI saat ini juga sudah menikmati hak hak politiknya dengan leluasa.Dulu pada masa Orba, setiap warga negara yang akan menjadi pejabat negara, baik di lingkungan Eksekutif dan Legislatif mau pun Yudikatif, diwajibkan mengikuti LITSUS yaitu Penelitian Khusus yang sangat ketat dan cermat serta teliti dan mendalam terhadap setiap calon pejabat untuk memastikan bahwa ia tidak ada kaitan apa pun dengan gerakan PKI.

Karenanya, kader-kader muda dari sisa Gerakan Bawah Tanah PKI tidak pernah punya kesempatan untuk menyusup ke dalam pemerintahan di zaman Orba berkuasa.

Ketika reformasi 1998, Litsus dihapuskan dengan alasan penegakan Hak Asassi Manusia (HAM), sehingga kini kader-kader muda berpaham kiri yang punya kaitan erat dengan neo PKI dengan mudah bisa melenggang jadi pejabat tanpa hambatan apapun jua.

Dengan adanya pencabutan Litsus, tentu ada tangan-tangan yang bermain untuk membuka pintu kembali bagi neo PKI agar bisa masuk dalam lembaga-lembaga negara.

Penghapusan Litsus  telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Putra Putri Keturunan PKI untuk aktif di berbagai Partai Politik, sehingga mereka pun dengan mudah masuk ke berbagai Lembaga Kenegaraan termasuk menjadi tentara.

Panglima TNI Andika Prakasa telah membuka peluang ini untuk mereka yang menjadi anak keturunan PKI masuk tentara.

Tentu kita tidak bisa dan tidak boleh melimpahkan kesalahan PKI kepada anak keturunannya. Dan tentu hak-hak POLEKSOSBUD (politik, ekonomi, sosial dan budaya) anak keturunan PKI memang sudah semestinya diakui dan diberikan kepada mereka.

Namun, anak keturunan PKI harus tahu diri, bahwa pemulihan hak-hak mereka jangan disalah-gunakan untuk menghidupkan kembali ideologi PKI dan jangan lagi membangkitkan kembali paham komunisme, serta mereka tidak perlu membuka luka lama dengan memposisikan diri sebagai Korban kejahatan Orba melalui pemutar balikkan Fakta dan manipulasi Data seolah Ulama dan Umara, khususnya NU dan TNI, adalah pelaku kejahatannya.

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Mereka tetap ngotot berjuang untuk memposisikan PKI sebagai korban sehingga harus mendapatkan pengakuan dan santunan dari negara. Hasilnya, Melalui SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) berat 1965, yang dikeluarkan KOMNAS HAM.

Dengan SKKPH, eks-PKI telah direhabilitasi statusnya yaitu berstatus sebagai korban, dan telah pula memperoleh kompensasi dari anggaran LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) berkat upaya pemutar balikkan fakta yang dilakukannya.

Sementara itu anak anak keturunan PKI semakin merajela memamerkan identitas aslinya seperti yang dicontohkan oleh Ribka Ciptaning yang menjadi anggota DPR RI melalui PDIP, bahkan menjadi ketua salah satu Komisi di DPR RI, secara demonstratif dan provokatif menulis dua buku yang masing-masing berjudul : ”Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan ”Anak PKI Masuk Parlemen”.

Tentu tak dapat dipungkiri, masuknya putra-putri keturunan PKI ke dalam berbagai Partai Politik dan Instansi Negara, dengan tetap mengusung Ideologi PKI yang dibawa oleh orang-orang tua mereka merupakan sesuatu yang sangat membahayakan eksistensi negara Pancasila.

Salah satu buktinya ketika ada usulan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Haluan Ideologi Pancasila. RUU yang di inisiasi oleh partai penguasa itu tidak mencantumkan TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai dasar pertimbangannya. Pada hal TAP MPR itu masih berlaku di Indonesia.

Bukan hanya itu, Prof Yudian Wahyudi Kepala BPIP pernah menyebut bahwa agama menjadi musuh terbesar Pancasila.

Para pejuang neo PKI juga gencar menyampaikan tuntutannya agar pemerintah yang sedang berkuasa meminta maaf kepada mereka.Wacana permohonan maaf Presiden RI atas nama Negara RI kepada PKI pertama kali muncul di zaman Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berkuasa.

Namun tidak terjadi karena saat itu gelombang penolakan dari Kelompok Islam sangat besar, khususnya FPI yang sempat menurunkan 10.000 Laskar mengepung Istana Presiden dalam Aksi Anti PKI di Jakarta.

Wacana tersebut kembali muncul di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab disebut SBY, namun lagi-lagi gagal karena mendapat penolakan keras dari Ormas dan Orsospol Islam di DPR RI.

Hal yang sama terjadi juga pada masa Presiden Jokowi yang sekarang berkuasa. Kelompok-kelompok kiri dan berbagai LSM Liberal yang terindikasi kemasukan paham neo PKI telah meminta kepada Presiden Jokowi untuk meminta maaf kepada PKI.

Namun, Jokowi menegaskan jika ia tidak akan melakukannya. “Permintaan maaf ke PKI. Tahun lalu sudah saya sampaikan, bahwa tidak ada rencana dan pikiran sama sekali mau minta maaf,” ujar Jokowi di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (27/6/2016).

Meskipun Jokowi menolak untuk meminta maaf kepada PKI, namun ada jargon Jokowi tentang revolusi mental yang ada aroma komunisnya.

Adalah Karl Marx sebagai Bapak Komunis Dunia berpandangan bahwa agama adalah belenggu dan Tuhan adalah penjajah, sehingga manusia yang beragama dan bertuhan tidak memiliki kebebasan, karena jiwanya terbelenggu dengan aturan agama.

Oleh karena itu menurut Karl Marx harus ada Revolusi mental yang membebaskan dan memerdekan jiwa manusia dari belenggu agama.

Sejak dulu hingga kini, kalangan neo Komunis memang selalu mengkampanyekan Revolusi mental, termasuk PKI di Indonesia era 1945 hingga 1965, untuk menjauhkan umat manusia dari agama. Kini, di Indonesia semenjak Jokowi menjadi Presiden RI, justru sang Presiden yang meneriakkan Revolusi Mental. Lalu ada apakah kiranya ?!

Belum lagi pernyataan aneh yang baru baru ini disampaikan oleh Menkopolhukam Mahfud MD. Ia menyatakan bahwa peristiwa 1965 bukan kasus PKI. PKI menjadi bagian dari korban peristiwa berdarah tersebut sehingga pemerintah akan memberi ganti rugi dan rehabilitasi kepada mereka, begitu katanya.

Kalau para korbannya sudah direhabilitasi dan dikompensasi maka pada saatnya nanti bisa saja PKI sendiri sebagai Lembaga akan diperlakukan serupa. Pada gilirannya ia bisa disahkan sebagai partai politik baru yang boleh berkompetisi di Indonesia. Apakah memang ini yang menjadi targetnya ?

Sejarah Pendomplengan

Seperti diketahui, melalui  TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 telah dinyatakan bahwa PKI dibubarkan dan dilarang penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme di Indonesia.

Namun meskipun sudah dinyatakan bubar, mereka tetap berupaya untuk kembali eksis dalam kancah perpolitikan nasional melalui aksinya yang pandai menyusup, berkamuflase dan menyembunyikan gerakan politisnya.

Upaya sistematis yang dilakukan oleh anasir anasir neo PKI untuk menunjukkan eksistensinya pasca reformasi 1998 sebagaimana dikemukakan diatas mengingatkan kita pada sejarah perjalanan PKI yang selalu tampil kembali meskipun sebelumnya sudah dilarang di Indonesia.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *