Benarkah ada Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM?

Neo Komunis dibalik Pelanggaran HAM
Wakil ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



PKI memang berbahaya bukan semata-mata karena ideologinya yang cenderung  anti anti agama tetapi juga karena ideologi bunglonisme (munafik, oportunis, hipokrit) yang sulit dideteksi keberadaannya.

Seperti bunglon, ia bisa berubah warna tergantung di tempat mana ia menempatkan dirinya.Lentur menyesuaikan diri dalam beragam situasi dan lingkungan yang ada. Ia bisa bermanis-manis dengan kelompok nasionalis, sosialis, bahkan agama.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ia bisa bertahan puluhan tahun di bawah tanah untuk kemudian menemukan momen yang tepat buat come back, dengan cara paling halus, samar, nyaris tak terbaca oleh orang awam pada umumnya.

Betapa licinnya pola gerak PKI, setidaknya dapat kita telusuri berdasarkan sejarah perjalanan PKI sejak sebelum Indonesia merdeka. Seperti ditulis oleh  MD Aminudin, alumni PII dan novelis Tembang Ilalang terbitan ProU Jogja, sebelum Indonesia merdeka tepatnya tahun 1914, ada Henk Sneevliet, seorang komunis warga negara Belanda.

Dia mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), dengan tujuan untuk memecah konsentrasi gerakan nasional yang menggeliat sejak awal abad 19 (Budi Utomo, Muhammadiyah, Syarekat Islam dan yang lainnya).

Snevlet tahu ISDV tak akan berkembang cepat kalau tidak mendompleng  (menumpang) ke organ lain yang sudah ada. Maka Sarekat Islam (SI) jadi sasaran untuk dijadikan kuda tunggangannya.

Snevlet memilih SI karena punya massa besar mengakar hingga rakyat bawah, anggotanya menyebar di antero Nusantara . Selain itu, SI lumayan terbuka-demokratis dibandingkan organisasi lainnya yang ada. Kalau SI bisa diobok-obok maka lebih mudah untuk pecah belah pergerakan Indonesia.

Banyak anggota SI yang kemudian kepincut ide-ide revolusioner gadungan ala Snevlet, antara lain: Semaoen, Alimin, Darsono dkk. Di bawah bimbingan Snevlet, ketiganya terus memasukan ide-ide komunisme di kalangan anggota SI Semarang dan sekitarnya.

Usaha itu berhasil, SI pecah jadi 2 blok: Sarekat Islam Putih (SI Putih) pimpinan Hos Cokroaminoto & Abdoel Moeis (kelak juga dikenal sebagai sastrawan) berpusat di Yogya, dan SI Merah pimpinan Semaoen berpusat di Semarang.

Namun dengan licik mereka tidak memproklamirkan diri sebagai organisasi komunis, tapi tetap memakai nama SI sebagai organisasi perjuangannya. Sabab jika terburu-buru memproklamirkan komunisme pasti akan terjadi penolakan oleh rakyat pada umumnya.

Dalam perkembangannya, pimpinan dan anggota SI ideologis menolak ide-ide komunisme yang diusung Semaoen dkk. Mereka tahu Semaoen hanyalah kepanjangan tangan Snevlet seorang komunis warga negara Belanda.

Pada akhirnya Keputusan Kongres SI di Madiun pada 17-20 Februari 1923 resmi mendepak Semaoen dkk sebagai bagian dari usaha SI untuk memutus pengaruh komunis di dalam tubuh organisasinya.

Tidak terima disingkirkan, kelompok Semaoen menggelar kongres tandingan pada Maret 1923 di Bandung.Keputusannya; semua cabang SI di Indonesia yang mendukung Semaoen berganti nama menjadi Sarekat Rakyat.

Inilah cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI) yang didirikan kelak pada tahun 1924 dengan Semaoen sebagai ketua pertamanya.

Setelah menimbang bahwa akar-akarnya sudah lumayan kuat, pada 1926, PKI memutuskan untuk memberontak pada pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan itu justru banyak disokong oleh orang-orang Islam yang tertipu oleh janji-janji manis PKI yang katanya berjuang demi kemerdekaan Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda saat itu berhasil menumpas pemberontakan itu dan orang orang PKI banyak yang ditangkap untuk kemudian di buang ke Digoel, Papua.

Para tokoh pendiri bangsa yang dibuang termasuk para ulama Banten, seperti Tubagus KH Achmad Chatib, Tubagus H Abdulhamid, KH Mohammad Gozali, Tubagus KH Abdul Hadi, Puradisastra, Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.

Sementara itu tokoh tokoh komunis seperti Semaoen, Alimin dan Musso sendiri malah lari ke mancanegara, mengemis suaka ke komunis internasional yang berpusat di Moskwa.

Sejak gagalnya pemberontakan itu, PKI tiarap untuk sementara.Pada 1935 Musso kembali dari pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah tanahnya. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia, lalu balik kucing lagi ke Moskwa.

Pada tahun 1940, datang seorang belanda ke kamp Digoel di Papua. Namanya Charles Olke van der Plas. Waktu itu menjabat sebagai Gubernur Jatim hingga kelak kedatangan Jepang pada 1942.

Charles merayu para Digoelis untuk membentuk front anti fasis berbasis di Australia. Singkat cerita pimpinan PKI Digoel menerima tawarannya.

Selain kelompok yang dibentuk Musso dan eks Digoelis, Van der Plas juga mendekati Amir Syarifuddin penganut komunisme , seorang ambtenar (priyayi atau pegawai pemerintah) di Departemen Ekonomi Batavia.

Pada 1940, Amir Syarifuddin ditangkap Belanda. Ia disuruh memilih dibuang ke Digoel atau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Namun Amir memilih pilihan kedua.

Van der Plas kemudian memberinya 25.000 gulden sebagai modal menyusun gerakan bawah tanahnya.Sampai di sini bisa kita simpulkan PKI mau berkongsi dengan bangsa yang menjajah Indonesia.

Dengan uang modal dari Belanda itu, PKI Amir Syarifuddin mulai membangun kekuatan bawah tanah, ‘bersetubuh’ dengan organ perjuangan Indonesia, membentuk organisasi Gerakan anti-Fasis (Geraf). Saat Amir ditangkap Jepang pada 1943, estafet Geraf dilanjutkan oleh Widarta, sang sekretaris,sebagai pemimpinnya.

Pada masa inilah ia berkolaborasi dengan DN Aidit, pemuda yang baru berumur 20 tahun, seorang Marxis anggota Komunis Internasinal (Komintren).

Mereka masuk ke kelompok-kelompok pemuda, merekrut kader untuk dibina menjadi kadernya Pada era inilah nama DN Aidit dan MH Lukman mulai  dikenal seorang seorang komunis Indonesia. Dua orang ini yang kelak memimpin PKI hingga jadi partai terbesar ke 4 pada Pemilu 1955.

Menjelang Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, kader-kader komunis seperti DN Aidit, Sidik Kertapati dan Wikana terlibat aktif dalam peristiwa Rengasdengklok yang terjadi menjelang 17 Agustus 1945.

Dalam hal ini ada catatan menarik yang diungkap Soe Hok Gie dalam Orang-orang Kiri di Persimpangan Jalan. Menurut Soe Hok Gie, pada saat itu, antara kaum komunis dan nasionalis melebur dalam satu semangat dan gerakan yang sama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tanpa membawa embel-embel ideologi yang di usungnya.

Mr Soebarjo misalnya tidak tahu jika Wikana adalah kader PKI. Mungkin ini juga strategi kaum komunis agar diterima dalam gerakan kemerdekaan yang heterogen warnanya. Proklamasi 1945 pada akhirnya memberi panggung mewah kepada para aktivis PKI.

Tokoh-tokoh komunis veteran seperti Alimin, Setiadjid, Wikana, Maruto Darusman diangkat jadi menteri. Amir Syarifuddin sendiri kelak naik tampuk kekuasaan sebagai perdana menteri sekaligus menteri pertahanan (3 Juli 1947-29 Januari 1948).

Jabatan srategis ini tak disia-siakannya. Amir menggalang penuh kekuatan sayap kiri dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan dengan mempersenjatai laskar-laskar kiri seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) hingga menjadi salah satu laskar bersenjata terkuat di masanya.

Pada 1947, kelompok kiri berhasil memasukkan 50 kadernya di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP-cikal bakal Parlemen Indonesia) dimana diantaranya ada nama  Aidit dan Nyoto. Dua sosok inilah yang kelak menjadi orang yang paling sering disebut sebagai otak pemberontakan PKI 1965.

Ada fragmen menarik yang ditulis Ahmad Masyur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid-2, tentang pertemuan PM/Menhan Amir Syarifuddin dengan Van Mook (mantan Wakil Gubernur Hindia Belanda) pada 14 Juli 1947. Sepekan kemudian, 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer ke-1.

Van Mook memang punya ikatan erat dengan kelompok komunis sejak sebelum kedatangan Jepang. Van Mook-lah yang memindahkan tahanan Digoel ke Australia dan membiayai kelompok PKI Sibar pimpinan Sardjono. Juga dengan uang Van Mooklah Amir Syarifuddin menggerakkan komunis bawah tanah selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Patut menjadi pertanyaan, apakah gerakan komunis pada masa itu—dan mungkin masa setelahnya—juga atas sponsor pihak Belanda? Ada sejumlah analisis mengenai keterlibatan van Der Plas (tangan kanan van Mook) dalam mensponsori gerakan kiri di Indonesia hingga terjadinya pemberontakan G30S/PKI pada 1965.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *