Urgensi Penambahan Jumlah Dokter Spesialis Lewat RUU Kesehatan

Penambahan Jumlah Dokter Spesialis
RUU Kesehatan
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Prof Dr Ario Djatmiko

Hajinews.id – Ada permintaan, ada penawaran. Ini adalah hukum pasar paling dasar. Hal ini juga harus menjadi dasar pelayanan kesehatan, karena tujuan pelayanan kesehatan tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tetapi apakah kebutuhan ini terpenuhi?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Padahal, akses ke dokter spesialis sangat sulit bagi masyarakat. Tanpa menyalahkan siapapun, dapat dikatakan bahwa sistem yang ada saat ini belum mampu menyediakan dokter spesialis yang memenuhi kebutuhan masyarakat.

Pertanyaan selanjutnya, apakah kita sudah bisa menempatkan spesialis yang mumpuni? Namun, jika bicara soal dokter, dua hal tidak bisa dipisahkan, yakni kuantitas dan kualitas.

Jumlah cukup tapi kalau kualitas rendah akan mengundang masalah nantinya. Terlebih, bila jumlahnya rendah dan kualitasnya pun rendah. Pastinya, masyarakatlah yang akan sangat dirugikan.

Sudah 77 tahun kita merdeka, tapi human development index kita masih jauh tertinggal, bahkan dari negara-negara tetangga. Saya merenungi ucapan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sebuah forum. Tiap tahun, ada sekitar 20.000 anak yang harus dioperasi untuk mengatasi kelainan jantung bawaan. Namun hanya sekitar 1.600 anak yang bisa tertangani. Berarti kita membiarkan 18.200 anak meninggal setiap tahun, hanya karena kita tidak memiliki cukup dokter spesialis.

Ini baru jantung yang infrastrukturnya paling dekat dan dokter spesialisnya lengkap. Bagaimana dengan penyakit yang lebih sulit lagi seperti kanker? Kesenjangan antara kebutuhan dengan penawaran sangatlah jauh, bagai bumi dan langit.

Lantas apa yang bisa dilakukan? Pemerintah perlu melakukan penilaian sebagai benchmark yang meliputi seberapa besar kurangnya, serta apa yang dibutuhkan masyarakat saat ini dan di masa depan.

Setelah benchmark tadi dilakukan, kita sebagai dokter perlu melihat ke dalam. Apakah ada gap antara kita dengan kebutuhan tersebut. Seberapa besar gap-nya? Bagaimana cara kita menutup gap tadi?

Yang pasti kita tidak akan bisa mengejar bila tetap bersikeras melakukan cara lama. Kita harus melakukan cara yang luar biasa untuk menambah dokter spesialis dalam waktu cepat.

Sekarang sudah ada smart hospital. Namun apakah kita sudah memenuhi syarat sebagai smart worker? Bila sistem pendidikan kesehatan kita masih konvensional, maka hal tersebut akan melahirkan tenaga kesehatan yang konvensional pula.

Kolegium berperan menentukan menu pendidikan serta melakukan penilaian pada proses pembelajaran, sehingga pendidikan tanpa kolegium akan pincang. Yang perlu dikritisi, kolegium diharapkan menjadi yang terdepan dalam keilmuan dan teknologi. Bila kolegium tidak terdepan, maka sebenarnya kolegium memberikan menu-menu di bawah standar.

Belum lama ini KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) mengumumkan, dokter WNI yang bekerja di luar negeri akan dipermudah. Dokter ini adalah produk dari kolegium tempat lain. Logikanya, kolegium yang high tech bisa menilai yang lebih rendah, tapi yang lebih rendah tidak bisa menilai yang lebih tinggi.

Sementara itu, setiap teknik membutuhkan sertifikasi lisensi. Misalnya dokter tersebut kembali ke Indonesia dengan keahlian robotik. Bagaimana bisa kolegium kita menilainya kalau kita tidak memiliki teknologi robotik. Jadi kita harus melihat, kolegium ini update atau tidak.

Kemudian, fokus pendidikan harusnya berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan dari atas seperti sekarang. Bila berpusat pada masyarakat, dengan sendirinya jumlah dan kualitas akan mengikuti.

Namun bila berpusat pada staf pengajar, maka bisa terjadi ‘monopolistic behavior’. Kita bisa belajar dari sistem pendidikan di negara lain, misalnya soal ahli bedah onkologi. Di Indonesia, urutannya yaitu dokter mengambil spesialis bedah umum. Lalu melanjutkan sub spesialis onkologi.

Di luar negeri, tidak ada bedah onkologi, yang ada misalnya breast surgeon. Dia adalah seorang ahli bedah umum yang diberikan kompetensi tambahan, jadi bukan sub spesialis.

Dokter harus diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Misalnya ada ahli bedah umum di Papua. Di daerah tersebut banyak kanker payudara. Maka seharusnya dia tidak harus meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi ahli onkologi, melainkan dipanggil untuk menjalani fellowship untuk memperdalam ilmu sebagai ahli bedah payudara, lalu kembali lagi ke daerah sebagai ahli bedah umum dengan kompetensinya yang ditambah. Jadi jangan dibagi di tataran atas padahal sebenarnya tidak menjawab permasalahan yang ada di bawah.

Ada sedikit perbedaan antara pendidikan dengan training. Pendidikan itu membangun manusia, sedangkan training adalah peningkatan kemampuan. Kita bangun ahli bedah dengan keilmuan dan karakter yang kuat, lalu kita tambah kompetensinya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *