Dalam rapat kerja yang berbeda, Ahok juga melontarkan pernyataan-pernyataan ngelantur bernuansa SARA. Rekaman video dibuat dan mulai beredar September 2016. Jadi sebelum pilkada 2017. Pernyataannya seperti ini:
“Pasangin wifi. Nanti kita bisa bikin tuh sama si marbotnya. Ada paswordnya tuh wifi, ya nggak? Surat Al Maidah 51, ya kan? Passwordnya kafir.”
Tak ada yang berani menegurnya. Bahkan Djarot Saiful Hidayat, Wagub, yang duduk di sampingnya terlihat ketawa-ketiwi juga saat Ahok melontarkan kalimat-kalimat kasar tersebut. Bila Djarot berpikir tentang persatuan dan kebangsaan, sudah seharusnya dia berani menegur ucapan Ahok. Sebab, ucapan tersebut sangat sensitif.
Begitu pun Ahok. Bila dia berpikir sebagai negarawan dan memikirkan persatuan dan perdamaian, sudah seharusnya dia tak mengucapkan hal itu. Ucapan-ucapan tersebut justru yang memecah warga negara dan terkotak-kotak.
Celakanya, dia punya buzzer-buzzer yang membenarkan semua tindakannya. Meskipun di mata kebijakan publik atau pun hati nurani, ucapan dan tindakan tersebut salah, tapi tetap dibela dan dianggap benar.
Para buzzer, melengkapi buah busuk yang ditebar oleh Ahok. Buah tersebut, oleh buzzer dilempar ke pihak lain dan dituduhkan sebagai pemain politik identitas. Padahal, Ahok sendiri yang memulainya. Sekarang, buah busuk tersebut dilemparkan ke pihak lawan, khususnya Anies Baswedan. Padahal, buah tersebut ditebar oleh kelompok mereka.
Tapi, ada satu pertanyaan penting. Mengapa Anies Baswedan diserang terus dengan isu politik identitas dan intoleransi? Padahal fakta di lapangan Anies Baswedan sangat toleran. Mengapa?
Sebab mereka tahu, tak mungkin menyerang kinerja Anies Baswedan. Semua program Anies terbukti menerapkan keadilan sosial dan mampu membahagiakan warga Jakarta. Jadi, tak ada cela bila harus mengkritik program kerja Anies Baswedan.
Begitulah kelompok mereka. Menebar buah busuk, lalu melemparkannya ke pihak lain.