Kemenag Paparkan Penyebab Biaya Haji Ditanggung Jemaah Makin Mahal

Jamaah haji mengelilingi Ka’bah dengan menjaga jarak di Masjidil Haram, kota suci Mekkah, Arab Saudi (31/07/2020) (Kementerian Media Saudi / AFP)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Jakarta – Biaya haji kian mahal dari tahun ke tahun. Baru-baru ini, Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2023 sebesar Rp98,9 juta atau naik Rp514.888 dari tahun lalu.

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan dana itu dibagi menjadi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah sebesar Rp69,1 juta. Sementara itu, Rp29 juta sisanya ditanggung oleh nilai manfaat yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jika dibandingkan 2019 lalu, Rp69,16 juta, biaya haji yang diusulkan Kemenag ini naik hampir 30 persen. Alasan kenaikan ini salah satunya adalah naiknya biaya masyair atau biaya haji yang ditetapkan Kerajaan Arab Saudi dari 1.500 riyal menjadi 5.000 riyal.

Yaqut mengungkapkan Bipih yang dibebankan kepada calon jemaah haji ini meliputi biaya penerbangan dari embarkasi sebesar Rp33.979.784, akomodasi di Mekkah Rp18.768.000, akomodasi di Madinah Rp5.601.840, biaya hidup (living cost) Rp4.080.000, visa Rp1.224.000, dan paket layanan masyair Rp5.540.109.

“Komponen yang dibebankan pada nilai manfaat atau optimalisasi ini, pemerintah telah mengusulkan anggaran BPIH yang bersumber dari dana nilai manfaat untuk jemaah haji reguler sebesar Rp5.985.387.189.358,” kata Yaqut dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/1) lalu.

Nilai manfaat itu digunakan untuk biaya akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan transportasi, pelayanan di Arrafah, Muzdalifah, dan Mina.

Kemudian terdapat beban perlindungan, pelayanan di embarkasi/debarkasi, pelayanan keimigrasian, premi asuransi, dan perlindungan lainnya.

Lalu ada pula komponen biaya hidup, pembinaan jemaah haji di tanah air dan Arab Saudi, pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi, serta pengelolaan BPIH.

“Dengan penggunaan nilai manfaat Rp5,9 triliun, maka beban per jamaah untuk nilai manfaat sebesar Rp29 juta,” ucapnya.

Nilai manfaat juga akan diberikan untuk haji khusus sebesar Rp6,8 miliar. Nilai ini untuk memenuhi komponen perlindungan, dokumen perjalanan, pembinaan jemaah haji di tanah air, pelayanan umum, dan pengelolaan BPIH.

Sementara, Bipih tahun lalu yang ditanggung jemaah sebesar Rp39.886.000 itu meliputi beberapa komponen.

Beberapa di antaranya biaya penerbangan Rp29.500.000; biaya hidup (living cost) Rp5.770.005; sebagian akomodasi jemaah di Makkah Rp2.692.669; sebagian akomodasi jemaah di Madinah Rp769.334; serta visa Rp1.154.001.

Biaya Tak Wajar
Jika ditelaah lebih baik, biaya langsung (direct cost) memakan porsi yang cukup besar, meliputi biaya penerbangan jemaah, biaya operasional jemaah di Arab Saudi, dan biaya operasional jemaah di dalam negeri.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras mempertanyakan komponen biaya langsung tersebut.

Salah satunya, biaya penerbangan Indonesia-Arab Saudi yang dinilai tidak wajar.

“Seharusnya angkanya bisa jauh di bawah angka yang diusulkan oleh pemerintah,” kata Farras dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Selasa (31/1).

Sebagai pembanding, harga tiket penerbangan untuk umrah berkisar Rp10 juta hingga Rp15 juta (PP). Namun, komponen biaya penerbangan haji bisa melampaui Rp30 juta.

Selanjutnya, komponen indirect cost (biaya tidak langsung) meliputi biaya penerbangan petugas, biaya operasional petugas di Arab Saudi, dan biaya operasional petugas dalam negeri.

Menurutnya, pemerintah perlu terus melakukan kerja sama untuk terus menekan biaya ini. Misalnya, pada 2020, BPKH telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan DAMRI untuk pengadaan bus para jemaah di Arab Saudi.

Biaya Dinilai Tak Wajar
Biaya haji yang ditanggung jemaah makin mahal dari tahun ke tahun. Berikut penyebabnya.
Farras menilai kerja sama serupa ini harus ditingkatkan lagi untuk tahun-tahun ke depan.

“Dalam jangka panjang adalah dengan membangun ekosistem penyelenggaraan ibadah haji dari hulu ke hilir, sejak jemaah berangkat dari tanah air hingga kembali ke tanah air serta sejak masa persiapan hingga berakhirnya masa ibadah haji,” paparnya.

Ekosistem ini bisa dibangun melalui pembangunan hotel atau akomodasi, penyediaan konsumsi, serta transportasi bagi jemaah haji, baik di Indonesia maupun di Arab Saudi.

Tak Hanya di Indonesia
Hal senada diungkapkan Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) Budi Prasetyo.

Ia menilai pemerintah perlu melakukan optimalisasi secara jangka panjang. Budi membandingkan dengan Lembaga Tabungan Haji (LTH) Malaysia yang memiliki investasi di sektor riil akomodasi haji.

“Malaysia punya investasi riil di sektor akomodasi, dia punya hotel dan beberapa unit usaha lainnya. Jadi untuk penentuan BPIH ini memang menurut saya tidak mudah, namun perlu diusahakan,” kata Budi saat dihubungi.

Kendati demikian, menurutnya, biaya haji memang mengalami kenaikan secara merata dan dirasakan oleh negara lain, termasuk Malaysia.

Saat ini, biaya haji yang diusulkan di Malaysia berkisar di RM31 ribu, sedangkan tahun lalu hanya RM28 ribu. Untuk itu, Budi memandang penentuan BPIH ini memang dilematis jika disandingkan dengan kondisi global.

“Perlu ada upaya jangka menengah dan panjang agar efisiensi BPIH dapat tercapai. Selain itu, optimalisasi nilai manfaat dana haji oleh BPKH juga perlu ditingkatkan agar nilai manfaat semakin besar sehingga Bipig yang harus dibayar jamaah menjadi lebih efisien,” paparnya.

Selain itu, menurut Budi, ini pun salah satunya dipengaruhi oleh fluktuasi nilai mata uang rupiah kepada riyal atau dolar Amerika Serikat (AS).

“Termasuk di dalamnya biaya avtur, biaya runway, dan beberapa komponen biaya terkait operasionalisasi pesawat di bandara. Mayoritas dalam US Dollar atau Saudi Riyal ya, jadi ada terekspos risiko nilai tukar juga,” terangnya.

Anggota Badan Pelaksana Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Amri Yusuf ikut buka suara terkait hal ini. Menurutnya, selama ini BPKH tak ikut terlibat dalam penyusunan BPIH. Artinya, seluruh komponen biaya itu ditetapkan oleh Kementerian Agama.

Padahal, jika dibandingkan dengan Lembaga Tabung Haji (LTH) atau pengelola keuangan haji di Malaysia, LTH juga memiliki kewenangan untuk mengatur komposisi biaya haji. Mekanisme ini dinilai bisa memaksimalkan upaya efisiensi biaya yang ditanggung jemaah.

Selain itu, Amri juga menyadari salah satu alasan mahalnya BPIH adalah biaya pesawat.

“Kenapa semahal itu? Karena kita bayar empat flight, dia berangkat penuh, pulangnya kosong, berangkat jemput kosong, dan pulang penuh, itu kita bayar semuanya. Jadi kita bayar empat kali penerbangan buat orang pulang pergi,” kata Amri dilansir dari laman CNNIndonesia.com, Jumat (3/2).

Hal itu disebabkan Garuda Indonesia sebagai mitra penerbangan yang bekerjasama dengan Kemenag harus menyewa pesawat. Sementara, hitungan yang digunakan saat menyewa adalah running hours atau jam pemakaian.

“Ini lagi dinego, bisa nggak yang ditanggung jemaah haji itu tidak 100 persen seat yang kosong itu, tapi 50:50. Jadi 50 persen mereka (Garuda) yang tanggung,” katanya.

Lebih jauh, BPKH juga menawarkan kepada Garuda untuk memberikan uang muka (down payment/DP) sewa kepada vendor penerbangan. Pasalnya, selama ini Garuda mesti meminjam pada bank untuk uang muka ini. Mekanisme ini justru membuat biaya penerbangan semakin mahal.

“Garuda ini kalau sewa pesawat ini dia enggak punya duit, pinjamnya ke bank. Ya sudah kita saja yang bayar DP-nya, anda nggak usah pinjam bank, kita kasih DP buat anda, jadi kan itu motong cost. Kalau kita berangkat umroh kan cuma Rp11 juta, ini Rp33 juta karena 4 kali,” ungkap Amri.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *