1 Abad NU: Mengubah Politik Pragmatis dan Meredam Syahwat Politik

1 Abad NU
1 Abad NU
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.idNahdlatul Ulama (NU) merayakan usianya yang satu abad. Salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia ini telah memberikan kontribusi bagi kehidupan bangsa sejak didirikan pada tahun 1926.

Mulai dari dikeluarkannya Resolusi Jihad tahun 1945, ikut serta merumuskan Pancasila melalui Piagam Jakarta, menjadi partai dalam pemilu (1955), hingga terbitnya Khittah’26 di Kongres tahun 1984.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bahkan, cucu pendiri NU dan mantan Presiden PBNU periode 1984 hingga 1998, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini sukses menjabat sebagai presiden pada periode 1999 hingga 2001.

Ormas yang didirikan Hasyim Asyari selama perjalanan 100 tahunnya dinilai dinamis dan sering muncul konflik kepentingan dalam politik praktis jelang pemilu. Depolitisasi NU kemudian terjadi pada era kepemimpinan presiden PBNU Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.

Yahya menyesalkan pada Pilpres 2019 lalu ada mobilisasi dukungan dengan jadikan identitas NU sebagai senjata. Ia kemudian mengaku hal ini terjadi karena masih ada kecenderungan politik identitas yang kuat dalam tubuh NU.

Lebih dalam ia menyebut kecenderungan politik identitas itu bertalian dengan syahwat kader NU yang menurutnya masih kuat. Saat terpilih menggantikan Said Aqil Siradj, Yahya mendeklarasikan tidak ada lagi capres dan cawapres dari PBNU di Pilpres 2024.

Dia pun ogah PBNU dijadikan alat politik oleh kelompok mana pun. Yahya kemudian menyinggung relasi dekat PBNU dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

“Relasi NU dengan PKB saya kira alami sekali karena dulu PKB dulu sendiri diinisiasi, dideklarasikan oleh pengurus-pengurus PBNU, itu satu hal, tapi sekali lagi tidak boleh lalu NU ini jadi alat dari PKB atau dikooptasi dengan PKB,” ujar Yahya.

Pengajar departemen sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Akhyat menerangkan, format politik ideal PBNU ialah politik yang tidak berorientasi pada politik merebut kekuasaan, melainkan politik pemberdayaan.

“Ideal politik NU ya bukan politik kekuasaan tapi politik yang empowering dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan ini menurut saya ini lebih urgent lebih menjadikan NU lebih kuat,” kata Arif kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/2).

Ideal yang dimaksud Arief dalam hal ini ialah sudah sepatutnya PBNU berperan sebagai stabilitator antar kekuatan dan etnis yang bergejolak.

“Tetapi, kalau kita bicara ideal di negara yang heterogen, maka sebenarnya politik ideal NU adalah ideal untuk menyeimbangkan antar etnis, antar kekuatan, antar struktur. Itu politik ideal bukan politik dalam arti merebut kekuasaan,” ujarnya.

Kendati begitu, Arif menyebut positioning PBNU yang ideal ini akan bergantung pada pemahaman fiqh politik kader NU yang berbeda-beda. Sehingga, menurut Arif tidak ada satu konsepsi yang betul-betul ideal ihwal tersebut.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *