Motifnya dapat kita baca adalah dalam rangka men-down-grade elektabilitas Anies Baswedan. Karena Prabowo dari Gerindra, akan kalah pamor dengan Anies jika maju bersama sebagai Capres dalam Pilpres 2024.
Jadi, Anies dan Sandiaga, Anies dan Gerindra yang dulu karib dalam Pilkada DKI Jakarta, sekarang pecah kongsi. Itu mengkonfirmasi, memang tak pernah ada kawab abadi.
Keempat, masalah utang ini seolah menjadi beban Anies, namun utang Prabowo kepada pendukungnya yang lebih besar, baik utang waktu, pikiran, tenaga hingga uang sumbangan, tidak dipersoalkan. Karena itu, kita dapat memahami bahwa masalah utang Anies ini dijadikan komodity politik untuk menyerang Anies.
Kelima, yang paling mengkhawatirkan adalah, pertanyaan yang menyelimuti benak publik, yakni berapakah utang Anies untuk kebutuhan kampanye Pilpres 2024? Saat Pilkada DKI tahun 2017 saja Anies utang Rp50 miliar kepada Sandiaga. Untuk Pilpres, berapa utang Anies? Rp100 miliar? Rp500 miliar? Rp1 triliun? utang kepada siapa? apakah juga dengan mekanisme dianggap lunas saat Anies menang Pilpres?
Tentu saja, pinjaman atau investasi politik oleh oligarki bukan sumbangan yang tujuannya mencari pahala. There isn’t free lunch. Tidak ada makan siang gratis, semua investasi ada pamrihnya.
Sistem politik demokrasi benar-benar sudah dikuasai uang. Yang bicara dan berkuasa adalah kedaulatan uang, bukan kedaulatan rakyat. utang Anies Rp50 miliar ke Sandiaga, mengkonfirmasi hal itu. Lalu, apakah rakyat akan sejahtera pasca Pilpres 2024?