Menjadi NU Pada Waktunya

Menjadi NU Pada Waktunya
Satu Abad NU
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Abu Rokhmad Musaki, Wakil Ketua LPBH PBNU Jakarta

Hajinews.id – Saya hadir dan merasakan langsung atmosfer resepsi puncak peringatan Satu Abad NU yang berlangsung luar biasa di Sidoarjo (7/2). Modern, berkelas, meriah dan hikmat. Stadion Delta menjadi saksi antusiasme nahdiyyin berebut barakah raksasa dari NU yang telah berkhidmah seabad dalam melayani umat. Jutaan nahdliyyin berkumpul untuk merayakan syukurnya dan melangitkan doa terbaik untuk ormas Islam terbesar ini pada kiprahnya pada abad II nanti.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Rangkaian kegiatan menuju resepsi puncak Satu Abad NU cukup banyak dan beragama. Sejak pertengahan tahun lalu, dihelat kegiatan akademik yang mengundang narasumber dalam dan luar negeri seperti halaqah dan seminar internasional tentang fikih peradaban dan forum R-20 di Bali. Ada pula event kesenian dan olahraga yang digelar di Solo. Berbagai kegiatan dilaksanakan oleh hampir semua banom, lembaga dan lajnah di bawah PBNU untuk menyambut resepsi puncak satu abad NU ini. Hadtarus Syekh Hasyim Asy’ari tentu sangat bangga menyaksikan jam’iyyah yang didirikannya kini berusia 100 tahun. Dan perjalanan NU pada abad II dimulai dari sekarang.

NU telah membuktikan dirinya bermanfaat dan maslahat untuk publik. Begitu banyak harapan yang digantungkan pada NU untuk menjadi kompas kehidupan di dunia dan akhirat. Ada harapan besar jika NU eksis maka NKRI tetap utuh. Terbukti NU selalu konsisten pada konsensus bangsa yang telah disepakati. NU telah teruji merawat dan menjaga NKRI dan tidak pernah menggadaikan komitmen kebangsaannya untuk tujuan politik praktis.

Gembira dan Bersyukur

NU yang sering diidentikkan sebagai organisasi Islam tradisional, kaum sarungan, organisasi santri dan sejenisnya ternyata mampu berkhidmah untuk umat hingga satu abad. Suatu pencapaian yang tidak mudah dan penuh ujian, apalagi NU tetap utuh, solid dan berpotensi menjadi kekuatan yang nggegirisi pada abad II nanti.

NU memiliki keliatan untuk bertahan menghadapi tantangan zaman. Pada sifat kesederhanaan nahdiyyin yang berasal dari desa (orang kampung), NU berkiprah dan berhasil berdialog dengan lapisan masyarakat paling bawah dan memahami denyut kehidupan serta problem yang mereka hadapi. Kyai-kyai NU menjadi rujukan dan tempat bertanya tentang apa saja, baik urusan dunia dan lebih-lebih urusan akhirat. Kyai bukan sekedar cultural broker tetapi juga imam dalam pengertian yang sesungguhnya.

Sekalipun sering diuji dan dijadikan sasaran tembak kekuatan eksternal dan internal, NU berhasil melewati tantangan itu dengan baik. Jalan beragama di tengah (wasathiyyah/ moderate) yang dipilih NU dan disebut sebagai Islam Nusantara sering dinista sebagai bukan Islam dan dicap bid’ah. Hampir semua amaliah NU dianggap tidak benar. Mereka bersepakat mendiskreditkan NU secara massif dan sistematis.

NU dan nahdliyyin menghadapinya dengan santai dan argumentatif. Serangan terhadap amaliah NU ini justru melahirkan berkah tersendiri. Akhirnya, makin banyak penjelasan yang diberikan oleh para kyai dan santri dan kian banyak pula umat Islam yang sadar bahwa amaliah NU memiliki cantolan keagamaan yang kuat. NU dan nahdliyyin tidak mengambil posisi ofensif terhadap ormas Islam lain, kecuali jika ormas itu sudah keblablasan lisan dan lakunya yang dapat membayakan Islam dan keutuhan NKRI.

Sejak lama, NU berdiri di tengah, membela keragaman bangsa Indonesia dan menjaga keutuhannya. NU dan nahdliyyin tak berniat mengklaim dan merasa paling NKRI dan paling Islam. Kecintaan kepada NKRI memang sengaja ditunjukkan NU untuk menggugah nasionalisme dan patriotisme masyarakat pada bangsanya. Sebab ada sekelompok umat Islam yang hidup di Indonesia tetapi justru ingin merobohkannya. Jika sudah tidak cinta NKRI, memang tidak sepantutnya tinggal di sini. Tidak ada cara lain selain NU wajib menggelorakan cinta tanah air sebagai bagian dari imam.

Dengan begitu banyaknya serangan yang ditujukan kepada amaliah NU, klaim bahwa NU dianggap arogan dan paling Islami telah gugur dengan sendirinya. Santri-santri NU belajar kitab kuning begitu detail. Kyai dan santri membaca satu persatu kata lalu dimaknai dan dijelaskan i’rabnya. Tidak ada tradisi membaca buku yang pernah dialami oleh umat manusia yang serinci santri pesantren.

Sebenarnya, klaim paling Islam itu masuk akal bila memperhatikan cara belajarnya para santri itu. Tetapi, rasa paling hebat dalam ilmu agama tidak pernah terbetik di hati nahdliyyin. Kyai-kyai kampung itu lebih sering ‘berebut’ tidak mau menjadi imam shalat dan khatib Jum’at. Umumnya mereka merasa tidak ‘alim dan kurang pantas tampil di depan. Mereka yakin, masih ada yang lebih alim dan sepuh yang pantas untuk menjadi panutan di komunitas tersebut.

NU Optimis

Hal-hal di atas hanya sebagian kecil akhlak nahdiyyin yang patut diapresiasi dan disyukuri. Praktik beragama NU yang inklusif dan tasamuh membuat nyaman kebanyakan orang. Yang muslim makin cinta dengan NU dan yang non-muslim makin hormat kepadanya. Yang muslim diayomi dan yang non-muslim dijaga dan dihormati. Kecintaan nahdliyyin pada Islam jangan ditanya lagi.

Penjagaan dan pembelaan NU kepada non-muslim bukan kaleng-kaleng. Dalam Munas Alim Ulama NU 2019, dalam konteks negara bangsa, non-muslim bukanlah orang kafir melainkan warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya. Karena itu, pada peringatan satu abad NU, keadaan demikian patut disyukuri dengan penuh kegembiraan.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *